MATERI TARBIYAH
PROBLEMA STRUKTURAL DALAM KEBANGKITAN ISLAM



Bismillah Walhamdulillah Was Salaatu Was Salaam 'ala Rasulillah
Number: isnet/115; Att: is-mod, is-lam

Nomor: tarbiyah/28jun94/116
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Semoga artikel ini menjumpai sahabat-sahabat sekalian dalam keadaan sehat dan
penuh semangat dalam mengabdi kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Berikut ini adalah kata pengantar oleh Dr. Salim Segaf Aljufri terhadap  buku
"Menuju Jama'atul Muslimin" karangan Sheikh Hussain bin Muhammad bin Ali
Jabir, MA.
Semoga ada manfaatnya bagi kita sekalian.
------------------------------------------------------------------------------
PROBLEMA STRUKTURAL DALAM KEBANGKITAN ISLAM
------------------------------------------------------------------------------

Tetapi, mungkinkah kejayaan dan peradaban Islam akan tampil
jika tidak didukung oleh kerangka struktur yang kokoh?

Tidak pernah ada peradaban yang berkembang tanpa dukungan struktural
yang kokoh. Setiap peradaban hampir selalu melalui tiga fase besar untuk
berkembang. Pertama, fase perumusan ideologi dan pemikiran; kedua, fase
strukturalisasi; dan ketiga, fase perluasan (ekspansi). Ideologi-ideologi
besar semuanya mengalami tiga fase tersebut. Lihatlah Komunisme, Kapitalisme
Barat, dan tak boleh dilupakan: Zionisme Internasional.

Jika kebangunan (peradaban) Islam modern telah dimulai secara
individu oleh para tokoh dan pemikir seperti Sayyid Jamaluddin al-Afghani,
Dr. Muh. Iqbal, Muh. Abduh, Muh. Rasyid Ridla, dan seterusnya, maka
rintisan pemikiran yang bersifat individual itu disambut secara lebih ter-
tata, diantaranya dua tokoh pemuka da'wah yang tidak bisa dilupakan
jika berbicara tentang kebangkitan Islam, yaitu Abul A'la Maududi dengan
Jama'at Islaminya, dan asy-Syahid Hasan al Banna dengan Ikhwanul Musliminnya.
Dua pemuka inilah yang meletakkan dasar-dasar struktural gerakan kebangkitan
Islam. Keduanya memiliki gagasan dasar yang sama. Bahwa kejayaan Islam dan
mengembalikan Kekhilafahan Islam harus dimulai dari bawah, artinya persoalan
aqidah yang kokoh, pemahaman syariah yang menyeluruh, dan pembenahan akhlaq
yang benar. Pembenahannya harus dimulai dari tingkat individu, keluarga,
masyarakat, negeri, dan barulah khilafah Islamiyah. Kedua tokoh itu pun punya
perbedaan sedikit. Maududi dengan Jama'at Islaminya banyak menunjukkan
figurisme Maududi dan lemah dalam kaderisasi. Maududi lebih banyak berceramah
dan menulis buku daripada 'mencetak' kader. Begitu pula pergerakannya yang
terbatas di anak benua India-Pakistan. Sedangkan pada Ikhwanul Muslimin,
meski asy-Sahid Hassan al Banna adalah tokok utama, tetapi tidak menyebabkan
munculnya figurisme. Wibawa Ikhwanul Muslimin tidak berkurang dengan
meninggalnya Hassan al-Banna. Pergerakannya meluas ke hampir seluruh dunia.
Sekurang-kurangnya pengaruh pemikirannya. Beliau lebih 'mencetak' orang
daripada menulis buku. Dari para muridnya, muncullah pemikiran-pemikiran
yang luar biasa. Bisa diambil contoh, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Hassan
al-Hudaibi, Umar Tilmisani, Dr. Yusuf Qordhowi, Musthafa Masyhur, Dr. Ali
Juraishah, Syeikh Ahmad Qaththan, Dr. Musthafa as-Siba'io, dan lain-
lainnya. Hassan al Banna dalam usianya yang pendek yaitu 43 tahun, memang
terlalu singkat untuk sampai pada figurisme. Beliau seolah-olah hidup dan
dilahirkan di bumi ini untuk memulai dan meletakkan dasar-dasar pergerakan
dan da'wah Islam yang asli yang telah hilang di kalangan kaum Muslimin
pada abad modern. Metode pergerakannya terus dikembangkan oleh para
muridnya tanpa rasa khawatir akan kehilangan originalitas itu sendiri.

Sementara itu, gelombang kebangkitan Islam terus bergerak
dengan tantangan-tantangan yang semakin berat. Fenomena kebangkitan
Islam muncul di seluruh dunia. Palestina, tanah waqaf Islam, dari
sanalah semangat jihad ditiupkan sampai hari kiamat. Tiupan itu
menumbuhkan Gerakan Intifadhah, gerakan yang sulit ditumpas oleh
Israel dibanding perlawanan negara-negara Arab, Islamic Trend Movement
di Tunisia, Front Keselamatan Islam di Aljazair, Ikhwanul Muslimin di
Jordan, dan perjuangan Mujahidin Afghanistan yang berjuang mengusir
tentara Sovyet. Kebangkitan Islam juga diwarnai dengan berbagai pusat-
pusat studi Islam di Barat dan penerbitan buku-buku Islam yang terus
membanjir. Kenyataan ini tentu membangkitkan optimisme, meski tidak
menutup mata terhadap meningkatnya sekularisme dalam berbagai aspek
kehidupan.

Fenomena kebangkitan Islam di Indonesia juga ditandai dengan beberapa
hal yang menarik dikaji. Di kota-kota besar, di kampus-kampus, di sebagian
kelas menengah, mereka mulai 'belajar' Islam. Isu pembangunan yang dimulai
tahun 70-an dan membawa dampak medernisasi dan sekularisme membuat terjadinya
arus balik pada tahun 80-an. Mungkin ekses pembangunan yang mengandalkan per-
tumbuhan ekonomi menyebabkan manusia kekeringan spiritual. Ini yang menyebab-
kan munculnya berbagai kajian tentang Islam dengan berbagai modelnya. Fenomena
lain sebelum tahun 80-an, jika berbicara tentang Islam dan gerakannya maka
orang akan menoleh ke organisasi-organisasi Islam atau partai politik Islam
seperti PPP, NU, Muhammadiyah, HMI, PII, dan seterusnya. Seolah-olah yang
punya Islam dan dakwahnya hanyalah mereka. Gejala ini mulai mencair menjelang
tahun 80-an. Memang nasib dakwah Islam tidak bisa diserahkan hanya pada
organisasi atau partai politik Islam. Di sisi lain muncul kenyataan: organi-
sasi-organisasi itu semakin kurang cekatan dalam merespons aspirasi-aspirasi
Islam. Dalam beberapa segi terjadi beberapa 'keletihan' (fatigue) karena
kurangnya terobosan-terobosan pemikiran yang strategis. Organisasi-organisasi
itu mulai digugat oleh sebagian pendukungnya karena semakin kabur dalam
menentukan tujuan akhir yang hendak dicapai. Bahkan di kalangan kampus,
HMI kurang mendapatkan pasaran bagi mahasiswa yang mau aktif dan mendalami
Islam. Juga tidak menutup mata tentang gerak organisasi-organisasi tersebut
semakin terbatas. Oleh karenanya muncul kesadaran baru bahwa dakwah Islam
bukanlah monopoli ormas dan orpol Islam, tetapi menjadi kewajiban  setiap
individu Muslim. Apakah ia bergabung atau tidak dalam organisasi tersebut
sementara dakwah yang dilakukan secara bebas dalam kelompok-kelompok
kecil, yayasan-yayasan terasa lebih lincah. Kritik lain terhadap ormas-orpol
Islam itu antara lain: gaya kerja dan manajemen yang 'agak kebarat-baratan'
yang melonggarkan nilai-nilai agama yang mereka canangkan sendiri sebagai
doktrin. Misalnya, pemahamannya tentang demokrasi yang cenderung liberal.

Gejala ini memunculkan kecendurungan baru, munculnya isu 'jama'ah'.
Terdapat dua kecendurungan yang saling bertentangan. Satu pihak, mereka yang
alergi dengan isu 'jama'ah'. Biasanya mereka yang sudah mapan aktifitas
dalam ormas-ormas Islam, atau karena kepentingan politiknya sehingga
menganggap isu 'jama'ah' itu adalah isu politik. Atau mereka yang sudah
merasa cukup dengan mengartikan bahwa perintah berjama'ah itu sudah
dilaksanakan dengan melalui ormas-ormas itu. Di pihak lain, mereka
menganggap ormas-ormas itu 'bukanlah jama'ah' sebagaimana yang dimaksudkan
oleh Rasulullah saw., baik karena kelakuan, cara berfikir anggota
pendukungnya, ataupun karena mekanisme yang tidak sesuai dengan sunnah
Rasulullah. Mereka inilah yang obsesi dengan 'jama'ah'. Mereka yang
tidak ikut berjama'ah dianggapnya tidak konsekwen dengan al-Qur'an dan
as-Sunnah, bahkan jika mereka meninggal, mereka meninggal dalam kondisi
jahiliyah.

Gejala lain adalah munculnya fenomena sempalan. Sebab utamanya
bisa diduga karena tersumbatnya aspirasi utama kaum Muslimin. Aspirasi
utama (mainstream) - karena halangan politis dan birokratis - menyebab-
kan aspirasi-aspirasi murni Islam tidak tertampung sehingga muncullah
gerakan sempalan, baik di bidang ideologi, pemikiran syari'ah, maupun
pola-pola pergerakan.

Melihat kecendurungan di atas, maka harus ada kajian secara
mendalam dan dewasa. Dan, untuk itulah buku ini ("Menuju Jama'atul
Muslimin" oleh Ustadz Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, MA)
ditulis.
-------------------------------------------------------------------


------------
tarbiyah@isnet.org



Rancangan KTPDI. Hak cipta © dicadangkan.