MATERI TARBIYAH
KETIKA BAHLUL AKAN DIGANTUNG

Indeks KTPDI | Kumpulan Materi Tarbiyah | Konsultasi Islam | Arsip Konsultasi Islam


From     : Nadirsyah Hosen
Subject  : Ketika Bahlul Akan Digantung


Bahlul adalah seorang gila. Begitulah kesan para pedagang 
di pasar Baghdad dan begitu pula yang hinggap dalam pikiran 
anak-anak kecil yang berkeliaran di sekitar pasar itu. 
Betapa tidak, Bahlul memakai pakaian kasar yang sobek 
disana-sini; kadang tersenyum dan tertawa sendirian, rambut 
dan janggutnya dibiarkan tumbuh tak teratur. Walhasil, 
anak-anak sering mempermainkannya dan melemparinya dengan batu.
Bahlul, sebagaimana layaknya orang gila, hanya tersenyum
dan berkata, "Bagaimana mungkin, seseorang yang rida
dan puas dengan Allah mengeluhkan sesuatu?"

Rupanya, akibat ucapannya itu Bahlul kemudian diuji oleh Allah.
Sesudah tubuhnya semakin berdarah dan tak karuan akibat
lemparan batu anak-anak tersebut, Bahlul menyeret tubuhnya
menuju Bashrah, sambil berharap penduduk Bashrah lebih bisa
bersikap ramah terhadap dirinya.

Hari sudah tengah malam ketika Bahlul tiba di pintu gerbang kota.
Bahlul lapar, haus dan lelah, namun pintu gerbang kota
telah ditutup. Dia harus menunggu sampai besok pagi. Udara dingin
semakin menusuk tulangnya. Akhirnya Bahlul memutuskan berbaring
disamping tubuh yang terbungkus selimut di salah satu pintu kota.
"Siapa tahu dengan tidur berdekatan, aku bisa berlindung dari 
dinginnya malam," begitu logika Bahlul.

Sayang, keesokan harinya, logika Bahlul malah mencelakakannya. 
Ternyata tubuh berselimut itu adalah mayat seseorang yang 
berlumuran darah. Tentu saja, keesokan paginya Bahlul dibawa 
ke kantor polisi karena dituduh membunuh orang tersebut. 
Sebagai pendatang baru tentu saja Bahlul tak bisa mencari
saksi yang meringankannya. Bahlul segera dikirim ke tiang 
gantungan.

Esok harinya, di alun-alun kota telah berkumpul rakyat yang 
hendak menyaksikan eksekusi hukuman mati atas diri Bahlul. 
Sebelum eksekusi dilakukan, Bahlul dengan ketenangan yang 
luar biasa meminta ijin untuk berdo'a. Setelah berdo'a, 
tiba-tiba ada seorang manusia dari kerumunan massa yang 
berteriak meminta eksekusi dibatalkan. Orang tersebut 
segera menghadap sipir penjara dan mengaku dialah pembunuh
yang sesungguhnya.

Massa terkejut. Segera meluncur pengakuan dari mulut orang itu; 
tentang siapa dia, siapa korban dan mengapa serta bagaimana dia 
membunuh korban. Bahlul dan orang tersebut dibawa ke Hakim. 
Hakim terpesona dengan kejadian ini. Lalu dia bertanya, 
"Apa yang menyebabkan engkau mengaku?" Si pembunuh ini lalu 
bercerita, "Tiba-tiba hamba serasa terjatuh kedalam mulut seekor 
naga, yang mengancam kalau hamba tidak mengaku saat itu juga, 
maka ia akan menelan hamba."

Terkejut dengan keanehan cerita si pembunuh, sang Hakim menoleh 
pada si Bahlul dan berkata, "Algojo bercerita bahwa kau berdo'a 
sebelum ekesekusi dilakukan dan si pembunuh itu lalu mengaku....
Apa yang membuatmu yakin bahwa engkau tak bakal digantung?" 

Bahlul, masih dengan sikap seperti orang gila, berkata, 
"Ketengangan hamba bukanlah karena merasa yakin bahwa hamba 
tidak akan digantung. Hamba yakin bahwa apa pun yang telah 
ditetapkan Allah adalah yang terbaik, dan memang demikian 
seharusnya. Jadi, hamba benar-benar tunduk dan pasrah pada 
kehendak-Nya. Pada gilirannya, hal ini membuat hamba demikian 
damai dan tenang."

Tentang do'a yang dia panjatkan, inilah penuturan si Bahlul, 
"Wahai Tuhanku, aku tidak bersalah dan hampir saja mati karena 
kejahatan yang tidak kulakukan. Akan tetapi, aku tidak sedih, 
marah atau benci kepada-Mu. Engkau mengetahui siapa yang membunuh 
dan yang terbunuh, Engkau juga mengetahui mengapa segala sesuatu 
terjadi. Kini, aku sadar bahwa Engkaulah yang menuntunku pergi 
meninggalkan Baghdad dan datang ke kota ini. Engkaulah juga 
yang menuntunku tidur disamping mayat itu. Engkaulah yang 
meninggalkanku di sana dan polisi itu pun kemudian menemukanku. 
Karena itu lakukanlah apa yang Engkau kehendaki atas diriku, 
sebab Engkau dan hanya Engkau sajalah di belakang semua ini."

Itulah Bahlul, si gila akan Allah, yang berkata pada sang Hakim, 
"Jika Dia memilih memberi hamba racun pahit dan mematikan, 
maka hamba akan menerimanya sebagai gula yang manis dan 
anugerah dari-Nya."

Fariduddin Athtar, yang menuturkan kisah di atas dalam 
"Mushibatnama", hendak melukislan kepada kita contoh 
akan kepasrahan seorang hamba --sebuah kepasrahan
yang sering dianggap sebagai kegilaan. Literatur sufi menyebut 
bahwa si Bahlul ini bernama Abu Wahib ibn Amr dan wafat 
pada 812 Masehi. 

Begitu melegendanya kisah Bahlul sehingga sejumlah daerah di 
Indonesia pun akrab dengan kata Bahlul ini --sebuah kata yang
bernada negatif. Sayang, tak banyak yang tahu bahwa dibalik 
kata Bahlul terdapat contoh kepasrahan total pada Tuhan, 
terdapat suri tauladan bagaimana kita mengganti ego dan 
kehendak kita dan berjalan di atas kehendak-Nya, juga mengandung
lukisan indah akan keikhlasan menerima segala ketentuan-Nya.

Orang boleh tak setuju akan sikap "cinta-pasrah" (atau "gila") 
yang ditempuh Bahlul. Silahkan saja....bukankah banyak jalan 
mendekati Tuhan ? Dan Bahlul telah memilih satu jalan itu, 
sementara masih tersedia sekian banyak jalan, yang kesemuanya 
itu berujung pada Dzat Allah swt.

salam,
=nadir=


==============================================
Nadirsyah Hosen
mailto : nhosen@metz.une.edu.au
nadirsyah.hosen@isnet.org

URL : http://metz.une.edu.au/~nhosen
Mobile Phone : 041-227-8437
==============================================





Indeks KTPDI | Kumpulan Materi Tarbiyah | Konsultasi Islam | Arsip Konsultasi Islam

Rancangan KTPDI Hak cipta © dicadangkan.