MATERI TARBIYAH
CATATAN PINGGIR UNTUK ZAKAT

Indeks KTPDI | Kumpulan Materi Tarbiyah | Konsultasi Islam | Arsip Konsultasi Islam



From     : Noryamin Aini
Subject  : Catatan Pinggir Untuk Zakat


Istilah zakat profesi muncul di era modern. Kami pernah menelusuri istilah 
tersebut dalam kitab fiqh, tapi memang tidak ditemukan. Ia produk masyarakat
maju. Sebetulnya lembaga zakat profesi sebagai akibat dari differensiasi 
pekerjaan; pergeseran dari pekerjaan tradisional [premodern, bertani-beternak]
ke pola sektor kerja masyarakat teknologi-informasi. Dalam perspektif inilah 
kemudian lembaga zakat profesi harus difahami. Sebetulnya isu zakat profesi
muncul di pertengahan tahun 1980an. Tokohnya terutama pak Amien Rais, 
Jalaluddin  Rahmat, dan para pemikiran kontemporer lain yang sangat kritis 
terhadap kontekstualisasi hukum Islam.

Munculnya masalah zakat profesi sebagai response terhadap ketimpangan distribusi
penghasilan dalam perspektif fiqh "klassik". Coba bayangkan, seorang petani padi 
yang sawahnya menghasilkan ± 100 blik [ukuran orang Banjarmasin, satu blik mungkin
sekarang seharga kurang dari Rp. 10.000] setiap kali panen, wajib mengeluarkan 
zakatnya sebanyak 5 % dari 100 blik atau jika dikonversi seharga 100 x Rp. 10.000 
= Rp. 1.000.000. Sekarang bandingkan dengan gaji karyawan BUMN atau perusahan swasta 
bona fide lainnya yang dapat mencapai Rp. 5.000.000, bahkan lebih. Jika masalah gaji 
ini ditanyakan kepada ustadz yang kuat dengan tradisi kitab kuning, mereka cenderung 
untuk tidak mewajibkan zakat gaji, alasannya sederhana, yaitu masalah tersebut tidak
ada dalam kitab kuning. To be honest, pembaca ISNET dan kami juga melihat adanya 
ketimpangan jika petani wajib bayar zakat sementara, konsultan atau profesional yang 
bergerak di sektor jasa tidak diwajibkan. Akibatnya, ada yang mengklaim bahwa fiqh
kita lebih mencerminkan logika ekonomi kapitalis yang dibenci aliran "marxist", juga 
Islam.


Bagaimana menentukan nisab dan kadar zakat profesi?

Memang masih terjadi khilafiyah tentang masalah ini. Namun demikian, ulama 
kontemporer sepakat bahwa penghasilan dari pekerjaan profesional wajib dizakati. 
Pekerjaan apa saja, bahkan Ustadz jalaluddin Rahmat mewajibkan zakat dari harta 
yang diperoleh dengan cara apapun, termasuk cara yang tidak halal. Ada beberapa 
panduan untuk menjawab masalah di atas. Pertama, coba kita perhatikan persentase 
zakat yang umumnya ditetapkan dalam kitab fiqh, yaitu 21 % untuk perdagangan dan 
emas, 5 % untuk pertanian sawah/kebun irigasi, 10% untuk sawah/ kebun, dan 20 % 
untuk barang temuan [rikaz]. Adalah menarik jika angka di atas kita cermati.
Semuanya merupakan kelipatan dua dari angka sebelumnya; 21 x 2 = 5 x 2 = 10 x 2 = 20.

Kami kira pola urutan tersebut bukan atas kebetulan, tetapi ada pesan khusus. Atau 
keistimewaan ini tentunya secara simbolik mempunyai nilai tersendiri. Kami melihat 
perubahan angka-angka tersebut berkaitan dengan pergeseran tingkat kesulitan yang
dilalui untuk menghasilkan harta yang dizakati tersebut. Secara historis, di zaman 
awal Islam, berdagang bukan pekerjaan yang menjadi tumpuan untuk mendapat kekayaan 
dengan mudah, karena saat itu berdagang penuh dengan resiko, dirampok dalam
perjalanan. Lain hal dengan bertani. Pada zaman nabi, [ingat tradisinya masih cukup 
feodalistik], orang hebat adalah mereka yang mempunyai tanah yang subur; sangat 
menghasilkan tanpa banyak resikio. Pak Masdar F.Mas'ud mengatakan saking bernilainya 
tanah subur pada zaman Nabi, wanita pun dikatakan seperti kebun [hartsun] sebagai 
analog untuk memahami ketinggian nilai wanita dalam Islam [lain maknanya di era
sekarang; petani identik dengan kemiskinan]. Dengan kemudahan cara menghasilkan 
panen tersebut kemudian, zakat pertanian menjadi digandakan menjadi 5 atau 10 %. 
Lalu bagaimana dengan 20 % untuk rikaz [barang temuan]. Semua orang tahu bahwa 
yang namanya rikaz ditemukan secara kebetulan. Karena kebetulan, tentunya tidak 
ada prosedur atau kiat khusus [yang terencana] untuk mendapatkannya. Oleh sebab 
itu, rikaz dapat dikatakan rizki "nomplok". Karena saking mudahnya mendapatkan 
rikaz, lalu zakatnya menjadi 20 %. Walhasil, kami ingin mengatakan bahwa persentasi
zakat profesi sangat berkaitan erat dengan proses mendapatkan gaji tersebut. Kami 
berpendapat, kalau boleh, tetapi mengacu pada logika istinbath hukum di atas, minimal 
5 % persentase untuk zakat profesi dan leih banyak tentunya lebih baik, kalau tidak
dikatakan wajib.

Berapa nisabnya? Masalah ini harus dilacak dari proses pentasyri'an [kelahiran 
hukum] zakat. Mungkin pernah kami singgung secara umum di kesempatan lain, bahwa 
zakat pada awalnya diwajibkan kepada seluruh umat Islam pada periode Mekkah tanpa 
memilah sikaya dan simiskin. Kok begitu? Kalau kita memahaminya secara kontekstual, 
pesoalan tersebut mungkin sedikit akan lebih mudah [terlepas dari pemahaman orang 
lain]. Seperti yang dikenal luas, di Mekkah, jumlah orang Islam relatif  sedikt, 
dan Nabi berserta orang Islam lainnya menghadapi tantangan yang sangat berat; 
dari terror dan agresi orang arab quraisy yang tidak dapat menerima kehadiran 
Islam. Dalam keadaan seperti ini, umat Islam membutuhkan dukungan dari seluruh 
umatnya baik secara moral dan terutama finansial untuk meletakkan flat-form dasar
masyarakat yang kemudian terbentuk dan berkembangan di Medina. Dalam keadaan seperti 
ini kemudian menjadi logis bila semua orang Islam diwajibkan membayar zakat [dalam 
artian] sebatas kemampuannya [seperti yang akan kita temukan pada ayat-ayat makkiah 
yang mewajibkan infak] untuk membantu perjuangan Islam.

Ketika Nabi hijrah ke Medina, banyak perubahan yang terjadi, termasuk perubahan 
struktur sosial dan perubahan status keumuman kewajiban zakat. Mengacu pada ayat
kewajiban zakat yang diturunkan di Medina, zakat hanya diwajibkan kepada mereka yang 
mampu. Logika sosial-ekonominya begini. Ketika hijrah, Nabi menemukan Medina sebagai 
kota yang sudah "mapan", dalam artian sistem sosialnya sudah terpola; ada orang kaya 
dan ada yang miskin. Sementara muhajirin yang berasal dari kalangan kaya atau mereka 
yang dengan semangat kapitalis dengan mudah berkembang terutama ditopang dengan sistem 
sosial dan ekonomi yang sudah stabil. Akibatnya dengan sekejab, kemudian terjadi 
differensiasi sosial; ada rentang atau stratifikasi sosial; lahir varian kaya-miskin.
Maka dalam konteks seperti ini, tidak logis jika simiskin juga masih harus berzakat 
[maal], justru kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Akibatnya mereka lebih pantas 
untuk dibantu. Oleh sebab itu, keumuman kewajiban berzakat ditakhsish, dikhususkan,
untuk mereka yang kaya saja.

Lalu apa makna nisab untuk memahami standard jumlah harta yang wajib dizakati, 
termasuk dalam kasus zakat profesi?

Kami mencoba melihatnya dari sisi lain [mungkin ini tidak lazim]. Kalau kita telusuri 
lebih jauh, akan nampak bahwa batasan [nisab] hasil pertanian senilai dengan jumlah 
kebutuhan dasar [basic needs] pada saat itu, dan 96 gram emas [dalam hadith lain malah
kalau tidak salah hanya 36 gram] jika dikonversi ke nilai tukarnya cukup untuk memenuhi 
kebutuhan dasar dalam setahun. Dari sisi ini, sebetulnya, nisab harta yang wajib 
dizakati berbanding sejajar dengan batas kemiskinan. Artinya, zakat identik dengan 
harta orang yang tidak miskin. Walhasil, dengan kelebihan kekayaan tersebut adalah 
logis dan bermoral jika diwajibkan zakat kepada mereka.


Apakah boleh mengeuarkan zakat emas dengan nilai harganya?

Dalam fiqh permasalahan ini dihahas dalam pertanyaan "apakah zakat harus dikeluarkan 
dari benda yang sejenis, atau boleh diganti dengan jumlah uang yang seharga dengannya. 
Terlepas dari khilafiah, kebanyakan ulama menerika jika zakat benda termasuk emas, 
boleh dikeluarkan berdasarkan nilai harganya. Artinya untuk zakat emas, kita tidak 
perlu mempreteli [memotong] emas yang kita miliki untuk dizakati. Jika kita punya uang 
seharga dengan nilai [rupiah] zakat emas yang akan dikeluarkan, kita boleh membayarkan 
zakatnya dengan uang. Jika di antara emas yang dimilik [atau harta lainnya] kadarnya 
cukup bervariasi dari 18 karat sampai emas murni, maka sebaiknya dikeluarkan zakat 
dengan nilai emas yang terbaik, karena Allah "mengancam" orang yang hanya mau 
mengeluarkan zakat dari bagian harta mereka yang terjelek [saking jeleknya menurut 
bahasa al-Qur'an, orang yang bersangkutan tidak akan mau menerimanya kecuali jika dia 
merem, atau memicingkan matanya].


Sekian terima kasih.


Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

Noryamin Aini



Indeks KTPDI | Kumpulan Materi Tarbiyah | Konsultasi Islam | Arsip Konsultasi Islam

Rancangan KTPDI Hak cipta © dicadangkan.