MATERI TARBIYAH
HAJI SOSIAL

Indeks KTPDI | Kumpulan Materi Tarbiyah | Konsultasi Islam | Arsip Konsultasi Islam



From     : M. Syamsi Ali
Subject  : HAJI SOSIAL


Bagi orang Islam, menunaikan ibadah haji adalah karunia khusus, keni'matan,
dan bahkan kebanggaan tersendiri. Berangkat ke tanah suci, ibaratnya
berangkat menemui seseorang yang telah lama dirindukan. Luapan kerinduan
yang mendalam diiringi bara iman yang menggejolak, meringankan langkah
seorang Muslim menuju keridhaan Ilahi yang Rahman.

Betapa tidak, haji merupakan kewajiban yang memiliki konotasi sbb:

1. Memenuhi panggilan Ilahi. Melaksanakan suatu ajaran agama, apa saja
wujudnya, adalah realita pemenuhan terhadap panggilan Allah. Namun ibadah
haji memiliki konotasi khusus dengan panggilan ini. Oleh sebab itu, di saat
seorang memulai niatnya untuk beribadah (ihram), ia diharuskan untuk
mengucapkan "Labbaik Allahumma Labbaik" (Aku datang memenuhi panggilanMu ya
Allah).

2. Ibadah haji adalah merupakan rukun Islam yang kelima (terakhir).
Sehingga dengan menunaikannya dapat diartikan sebagai pemenuhan terhadap
keseluruhan ajaran Islam. Atau dengan kata lain, melakukan ibadah haji
berarti pula seorang Muslim menyempurnakan keislamannya

3. Masdar (asal) kata haji, dapat juga melahirkan makna lain selain dari
"hajjun atau hijjun" yang berarti haji. Makna tersebut adalah "hujjatun"
yang berarti "tanda, bukti, alasan. Dengan demikian, haji dapat menjadi
tanda kesempurnaan Islam, menjadi bukti akan keislaman, serta menjadi
alasan bagi keselamatan seorang Muslim, dunia Akhirat.

4. Dari segi material, pelaku haji juga memiliki konotasi "kemampuan", yang
pada umumnya ditafsirkan sebagai kemampuan material. Sehingga dapat
ditafsirkan bahwa pelaku haji termasuk ke dalam golongan orang-orang yang
berpunya (the haves).

5.Dengan predikat hajinya, seorang haji akan semakin termotivasi untuk
mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Allah, sebab alangkah ganjilnya
bila seseorang bergelar haji tapi keislamannya semakin semrawut. Shalat lima
waktu tidak terjaga, zakat tidak terperhatikan, prilaku terhadap sesama
semakin jauh dari norma-norma kislaman, dll.

kelima hal tersebut di atas, antara lain, yang menjadikan seseorang bangga
dengan predikat haji yang dimilikinya. Sebab memang wajar jika saat ini
berhaji begitu terndy, serta cenderung dijadikna sebagai ukuran kesalehan,
disamping merupakan prestise sosial bagi pemiliknya. Tentu disayangkan jika
kemudian prediket "haji" dijadikan "taqiyah" alias pelindung pelakunya dari
berbagai penyelewengan dan dosa yang dilakukannya. Artinya, terkadang
seseorang semakin merasa aman untuk berbuat jahat, hanya karena bersembunyi
di balik gelar haji yang dimilikinya.

Al Qur'an secara gamblang menyebutkan bahwa menunaikan ibadah haji dapat
menghasilkan dua macam kebanggaan; dunia semata, dan ini yang sia-sia karena
di Akhirat kelak pelakunya tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Atau
dunia-Akhirat, dan pelakunya kelak dapat terjaga dari kobaran api neraka
(lihat S. AL Baqarah: 200-201, dan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya yang
semuanya berhubungan dengan masalah-masalah haji). Dengan kata lain,
bukanlah sesuatu yang keliru jika seseorang berhaji, disamping dalam rangka
mencari nilai akhiratnya, sekaligus mencaru nilai duniawinya Hal ini
digambarkan oleh Allah: "Tidaklah dilarang bagi kamu untuk mencari fadhilat
Tuhanmu, maka jika kamu telah keluar dari Arafah maka ingatlah Tuhanmu di
sisi Masy'aril haram" (Ayat). Yang keliru memang adalah jika haji dijadikan
justifikasi atau pembenaran terhadap kecenderungan untuk menyeleweng.

Haji Sosial

Istilah haji sosial sesungguhnya bukanlah hal baru dalam pembahasan ibadah
dalam Islam. Karena pada hakekatnya, keseluruhan ibadah ritual dalam agama
Islam memiliki konsekwensi sosial, baik langsung maupun tidak langsung.
Bahkan lebih tegas, seolah-olah ibadah ritual yang tidak menghasilkan buah
"kepedulian sosial" ibaratnya pohon yang tidak berbuah (lihat misalnya S. Al
Ma'uun).

Shalat, yang dimulai dengan takbir "Allahu Akbar" menunjukkan bahwa hidup
seorang Muslim itu didasarkan kepada relasi "Uluhiyah" yang kokoh atau
pengabdian kepada Allah Yang Maha Besar (Al Akbar), dan memberikan efek
sosial yang tinggi, menyebarkan perdamaian dan keselamatan (Salaam) bagi
semua pihak, baik yang di kiri maupun yang di kanan.

Puasa adalah ibadah yang khusus hanya antara Allah dan hambaNya. "Puasa
adalah bagiKu dan hanya saya yang membalasnya". Namun implikasi sosialnya
jelas, diharapkan dengan menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi itu
(makan, minum dan hubngan seksual), seseorang akan mampu merasakan perasaan
metreka yang kurang beruntung. Sehingga wajar sekali jika seseorang, karane
satu dan lain hal, tidak mampu melakukan ibadah puasa tersebut, harus
menggantinya dengan "fidyah" (memberi makan kepada orang miskin).

Demikian halnya dengan dzikir, menyebut Asma Allah. Tanpa melahirkan
bukti-bukti sosial, sia-sia jadinya, bahkan dapat membawa kemurkaan Ilahi.
Ibnu Umar mengatakan "Mengagumkan Asma Allah tanpa memuliakan
hamba-hambaNya, mendatangkan laknat bagi pelakunya".

Ibadah haji, sebagai rukun Islam yang kelima, di samping menekankan nilai
ritualnya, juga sarat dengan pesan-pesan sosial kemanusiaan, politik,
hubungan internasional, perekonomian, dll. Sehingga wajar, sebagaimana
disebut terdahulu, bahwa ayat-ayat yang berbicara mengenai ibadah haji dalam
al Qur'an berhubungan erat dengan pembicaraan mengenaim kehidupan manusia
secara luas.

Ibadah haji yang ditunaikan atas dasar "istitha'ah" (kemampuan) pada masa
sekarang memiliki makna tersendiri. Jumlah penduduk miskin semakin
bertambah, yang konsekwensinya semakin menambah kepedulian kita untuk
membantu mereka. Sehingga sangat diharapkan bahwa ibadah haji tidak lagi
dilakukan oleh jutaan manusia hanya sekadar tradisi ritual keagamaan semata,
tapi hendaknya melahirkan sifat kepedualiaan sosial yang solid bagi
pelakunya. Dengan kata lain, ibadah haji diharapkan tidak saja menumbuhkan
kesalehan infiradi (individu), melainkan juga menyuburkan kesalehan jama'i
(kesalehan sosial).


Haji Mabrur Tanpa Haji

Tersebutlah dalam suatu kisah sufi bahwa seseorang yang menunaikan ibadah
haji tertidur lelap ketika wukuf di tengah teriknya matahari di padang
Arafah. Dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW.

Perasaan berjumpa dengan Rasulullah ini memberikan harapan dalam dirinya
bahwa hajinya telah menjadi haji mabrur. Namun untuk kepastian, ia
memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW: "Siapakah di antara mereka
yang diterima hajinya sebagai haji mabrur wahai Rasulullah?" Rasulullah SAW
seraya menarik napas dalam-dalam, menjawab: "Tak seorangpun dari mereka yang
diterima hajinya, kecuali seorang tukang cukur tetanggamu".

Serta merta sang haji tersebut kagum dan terkejut. Betapa tidak, ia tahu
persis bahwa tetangganya itu adalah orang miskin, dan terlebih lagi bahwa
tahun ini ia tidak menunaikan ibadah haji.

Dengan digeluti perasaan sedih, dadanya serasa sesak, ia terbangun dari
tidurnya. Sepanjang melakukan wukuf sang haji tersebut mengintrospeksi diri,
memikirkan dalam-dalam apa arti di balik mimpi tersebut.

Sekembali dari Mekah, ia segera menemui tetangganya si tukang cukur. Ia
menceritakan segala pengalamannya selama menunaikan ibadah haji. Tapi cerita
yang paling ingin disampaikan adalah perihal diri si tukang cukur itu
sendiri Dengan sikap keheranan, ia pun bertanya: "amalan apakah yang anda
telah lakukan sehingga anda dianggap telah melakukan haji mabrur?"

Tetangganya pun dengan tenang bercampur haru bercerita: "bahwa sebenarnya,
ia telah lama bercita-cita untuk dapat menunaikan ibadah haji. Dan telah
bertahun-tahun pula ia mengumpulkan biaya. Namun ketika biaya telah cukup,
dan tibalah pula masa untuk berhaji, tiba-tiba seorang anak yatim
tetangganya ditimpa musibah yang hampir merenggut jiwanya. Maka si tukang
cukur termaksud menyumbangkan hampir keseluruhan biaya yang telah
bertahun-tahun dikumpulkan itu untuk membiayai anak yatim tersebut, sehingga
ia gagal menunaikan ibadah haji".

Sejak itu, pak haji baru sadar, bahwa ternyata kita sering salah langkah
dalam upaya mencari ridha Allah. RidhaNya terkadang diburu dengan semangat
egoisme yang berlebihan dan tanpa disadari justeru bertolak belakang dengan
keridhaanNya. Dengan kata lain, betapa ibadah-ibadah kita sering ternoda
oleh lumpur kepicikan egoisme pelakunya, jauh dari nilai-nilai "kasih
sayang" (rahmatan lil'alamin).

Tidakkah terpikirkan oleh mereka yang berhaji, khususnya yang berhaji sunnah
(berhaji lebih dari satu kali), akan nasib berjuta-juta anak yatim akibat
"musibah" perekonomian saat ini? Akibat krisis ini telah berjuta manusia
yang kehilangan "induk" (pegangan) dalam hidupnya. Atau belumkah masanya
kaum Muslimin untuk meletakkan prioritas-prioritas dalam kehidupannya
sebagai ummat? Kalaulah misalnya, dari sekian ribu Muslim yang berhaji
sunnah (lebih dari sekali) ditunda melakukannya, dan uang ongkos haji
tersebut dimanfaatkan untuk biaya sekolah anak-anak ummat ini, batapa
cerahnya masa depan kita.

Masalahnya, sekali lagi, sampai di mana pengaruh ibadah-ibadah yang kita
lakukan dalam kehidupan sosial kita? Mungkin para penda'i perlu kembali
mensosialisasikan S. Al Maa'uun kepada ummat ini. Abu Bakar ditanya tentang
haji mabrur, beliau menjawab: "Lihatlah jikalau anda telah kembali ke
Madinah". Jawaban ini membuktikan bahwa haji mabrur hanya dapat
diidentifikasi pada saat pelaku haji berada di kampung halaman
masing-masing. Sampai di mana "predikat haji" tersebut mampu mendongkrak
kesalehan, baik dalah kehidupan fardi maupun kehidupan jama'inya.

Akhirnya, kepadaNya semata kita berserah diri. Semoga haji kita dapat
merubah moralitas kita menuju pada tingkatan yang lebih ilahiyah sifatnya
tanpa mengurangi rasa kepedulian terhadap "mas'uliyah ijtima'iyah" (tanggung
jawab sosial) kita terhadap sesama. Dengan kata lain, semoga ibadah haji
dapat mengantar pelakunya menjadi insan-insan taqi (bertakwa), tidak saja
pada tataran individual namun juga pada tataran sosialnya.

M. SYamsi Ali




Indeks KTPDI | Kumpulan Materi Tarbiyah | Konsultasi Islam | Arsip Konsultasi Islam

Rancangan KTPDI Hak cipta © dicadangkan.