MATERI TARBIYAH
KEKAFIRAN

Indeks KTPDI | Kumpulan Materi Tarbiyah | Konsultasi Islam | Arsip Konsultasi Islam


From     : M. Syamsi Ali
Subject  : KEKAFIRAN


BERHATI-HATI DENGAN PENGKAFIRAN

Deringan suara pedang demikian deras. Tiba-tiba seorang sahabat menjatuhkan
lawannya dari kubu kafir ke atas tanah Tanpa sangka-sangka, tiba-tiba saja 
sang kafir berucap "Laa ilaaha illallah-Muhammadan Rasulullah". Sang sahabat
berfikir, apa yang diucapkannya itu adalah kebohongan semata. Maka pedangnya
pun melebat menebas leher musuhnya tadi. Ia pun meninggal dengan ucapan 
terakhir "Kalimah Laa ilaaha illallah-Muhammadan Rasulullah". 

Mendengar kejadian tersebut, Rasulullah SAW memanggil sahabat yang mulia 
itu. Seorang sahabat yang dikenal kekentalan iman dan loyalitasnya terhadap 
kebenaran dan pembawanya (Rasulullah SAW). Begitu mendekat, beliau 
menanyakan: "Apa gerangan yang menjadikan kamu membunuhnya?" Dengan hati
yang mantap dijawabnya: "Ia mengucapkan itu karena ketakutan ya Raulullah".
Namun Rasulullah kembali menanyakan dengan suatu ungkapan yang tak perlu 
dijawab karena sekaligus merupakan jawaban (Suaal istifhami): "Hal syaqaqta 
min qalbih?" (Apakah anda telah membuka hatinya?). Mendengar itu, sang 
sahabat agung terdiam seribu bahasa. Serentak ia berkata kepada 
rekan-rekannya: "Rasanya saya baru saja masuk Islam".

Kata kafir dalam bahasa Arab berasala dari "kafara-yakfuru-kufran" yang 
berarti "menutupi". Peribadatan yang dilakukan karena suatu pelanggaran 
dalam peribadatan itu sendiri disebut kaffarat. Misalnya "Puasa kaffarah" 
dll. Sementara itu, dalam bahasa Arab para petani, selain kata "fallah" 
juga disebut dengan istilah "kuffar" sebagaimana dalam S. Muhammad 
(Yu'jibuzzurra' al kuffar), karena mereka dikenal menutupi benih tanaman 
yang diharapkan tumbuh dan memberikan buah-buah segar bagi kelangsungan 
manusia. Dan banyak lagi contoh-contoh yang lain.

Dengan demikian, pengingkar kebenaran dinamakan kafir, karena secara 
prinsip mereka menutupi kebenaran yang seharusnya tumbuh subur dan 
memberikan buah-buah segar dalam kehiduapn manusia. Benih kebenaran ini 
dikebal dengan istilah "Syajarah Thayyibah" dalam S. Ibrahim. "Wa matsalu 
kalimatin thayyibatin ka syajaratin thayyibatin ashluha tsaabitun wa 
far'uha fissama tu'ti ukulaha kulla hiinin biidzni Rabbiha". (Perumpamaan 
kalimah thayyibah seperti pohon yang bagus. Akarnya menghunjam ke dalam 
tanah dan cabang-cabangnya mencakar langit. Memberikan buahnya setiap saat 
dengan izin Tuhannya". 

Dengan demikian, keimanan atau fitrah manusia seharusnya tumbuh subur, 
yang setiap saat buahnya dirasakan oleh manusia. Buah keimanan ini akan 
dirasakan oleh semua pihak, tidak mengenal batas dan lintas golongan maupun 
teritorial dalam hubungan internasional "Laa syarqiyah wa laa gharbiyyah" 
(tidak hanya timur, dan hanya pula barat). Semua kalangan, tan discriminasi
kulit, suku, bangsa, dan bahkan agama sekalipun. Konsep ini tentunya membawa
pula kita kepada konsep-konsep manusia yang lain, apakah sosialisme, 
kapitalisme, dst.

Hanya saja, bahwa dalam kenyataannya banyak manusia yang menutupi keberadaan
 benih-benih kebenaran tersebut. Mereka ingkar, mereka mendustai, mereka 
mengaburkan, serta melakukan berbagai upaya sehingga kebenaran tersebut 
tidak nampak ke permukaan bumi ini. Manusia yang melakukan inilah disebut 
sebagai manusia yang kafir atau penimbung kebenaran. Dengan kata lain, 
kaum kafir sesungguhnya bukan tidak memiliki kebenaran dalam dirinya, 
karena kebenaran atau fitrah dalam diri setiap insan itu abadi sifatnya 
"Fitratallah al ladzi fatarannasa 'alaeha, laa tabdiila likhalqillah" 
(Itulah fitrah, yang di aatasnya diciptakan setiap insan. Fitrah itu tidak 
mungkin terubah) (Rum:30). Yang terjadi kemudian adalah "kufrun" atau 
upaya-upaya untuk menutupi kebenaran Ilahi agar tidak tampil ke atas 
permukaan bumi. 

MACAM-MACAM KEKAFIRAN

Merujuk ke berbagai ayat maupun hadits, disimpulkan bahwa kekafiran terbagi 
kepada dua bagian, yaitu kufrun I'tiqaadi dan kufrun 'amali. 

Pertama, "kurfrun I'tikaadi" adalah penyembunyian atau pengingkaran dalam 
hal keimanan (akidah) terhadapa kebenaran yang datang dari Allah. Inilah 
yang diungkapkan misalnya oleh Allah di S. Albaqarah: "Sesungguhnya 
orang-orang yang kafir adalah sama bagi mereka, apakah kamu memberikan 
petunjuk kepada mereka atau tidak, mereka tidak akan beriman" (Al Baqarah:6).
Mereka memang secara imani atau I'tikadi menyembunyikan apa yang 
sesungguhnya sesuai dengan fitrah atau nurani (mungkin diistilahkan hati 
kecil)nya itu sendiri. 

Pengingkaran tersebut dapat dirasakan oleh mereka sendiri, atau memang tidak
dirasakan sebagai suatu pengingkaran. Para pembesar qurays ketika itu sadar 
dan bahkan dalam hati kecilnya insaf (mengakui kebenaran) yang dibawa 
Muhammad SAW. Namun karena "gengsi" yang disebabkan oleh "kesombongan" 
mereka terpaksan mengatakan "tidak". Sebaliknya, Fir'aun betul-betul tidak 
menyadari lagi "nurani"nya saat itu. Ini disebabkan karena "fitrah" yang 
bersemayam dalam hatinya itu telah terkungkung oleh jiwa keangkuhan yang 
berlebihan. Sehingga ketika Musa dan harun datang kepadanya, mengajaknya 
kepada penyembahan Ilahi, ia berkata: "Wa maa rabbukuma ya muusa wa haaruun" 
(Siapa sih Tuhanmu wahai Musa dan harun?"

Namun ketidak sadaran Fir'aun itu menjadi alam kesadaran pada saat jiwa 
kesombongannya mencair oleh situasi alam sekitarnya. Pada saat ia tenggelam 
di laut merah, tak seorang pun yang mampu menolongnya, termasuk dirinya 
sendiri walau mengaku tuhan, ia pun menjerit dan berucap: "Al aana amantu 
birabbil 'alamiin, Rabbi Musa wa harun" (Sekarang saya beriman kepada Tuhan 
semesta alam, Tuhannya Musa dan harun". Ia mengakui Allah, walaupun masih 
dengan ungkapan kesombongan, seolah Allah hanya Tuhannya Musa dan Harun saja.

Kelompok lain dari kategori kufur pertama ini adalah mereka yang hipokrit 
(munafik). Mereka, kendati memperlihatkan amalan-amalan imani dan islami, 
namun secara imani atau I'tikadi menolak kebenaran tersebut. Kelompok 
manusia seperti ini, jika ditinjau dari sudut pandang strategi perjuangan 
justeru lebih berbahaya. Oleh sebab itu, wajar saja jika S. Albaqarah yang 
turun dalam konteks perjuangan Rasulullah SAW menegakkan "Islamic Society" 
secara panjang lebar menceritakan kriteri mereka ini.

Kedua, "kufrun 'amali" adalah menyembunyikan kebenaran dalam perbuatan, tapi
secara imani menerimanya sebagai kebenaran. Oleh para ulama, disimpulkan 
bahwa siapa saja yang pernah mengucapkan "kalimah Thayyibah" (Laa ilaaha 
Illallah-Muhammadan rasulullah) dengan ikhlas, sungguh-sungguh dalam 
pengucapannya, lalu kemudian terjerumus dalam perilaku yang bertentangan 
dengan ucapannya itu, maka ia masuk dalam kategori "Kufrun 'amali". Namun 
dengan satu catatan bahwa keterjerumusannya dalam suatu tindakan yang 
bertentangan dengan islam tidaklah menyentuh daerah keyakinannya. 

Sebagai misal, di dalam ayat disebutkan bahwa: "Waman yaqtul Mu'minan 
muta'ammidan, fajazaauhu jahannam khaalidan.dst" (An Nisa: 93) Artinya: 
"Barangsiapa yang membunuh mu'min dengan sengaja maka balasannya adalah 
jahannam, kekal di dalamnya dst.". 

Konteks ayat di atas adalah pembicaraan mengenai hukum-hukum hubungan antar 
Muslim. Dengan demikian, yang dimaksud pembunuh pada ayat itu adalah Muslim.
Masalahnya adalah apakah makna dari kekal dalam jahannam? Bukankah dalam 
haditsnya, Rasulullah SAW pernah mensabdakan: "Man Qaala Laa ilaah illaLLah 
Mukhlisan min qalbih dakhalal Jannah" (Siapa yang mengucapkan Laa ilaah 
illallah ikhlas dari hatinya, akan masuk ke dalam Syurga). Lalu bagaimana 
seorang yang membunuh sesama Muslim tapi pernah mengucapkannya dengan ikhlas?
Apakah arti mengucapkan Laa ilaah illallah dengan ikhlas menytransfer manusia
menjadi malaikat sehingga tidak lagi berbuat salah? 

Para Ulama menyimpulkan bahwa hadits tidak dimaksudkan bahwa jika seseorang 
mengucapkannya dengan ikhlas lalu tidak akan lagi terjerumus ke dalam 
kesalahan-kesalahan. Bukankah kesalahan itu sendiri adalah ciri khusus yang 
tidak terpisahkan dari hidup manusia? Bakan terkadang menjadi ciri ketakwaan,
asal saja diikuti dengan "pengakuan dan permohonan ampun" (Dan orang-orang 
yang jika melakukan kekejian atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka 
ingat Allah dan mereka beristghfar memohon ampunan untuk dosa-dosa mereka). 

Pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman terhadap sesama 
Mu'min, selama tidak diyakini bahwa membunuh itu adalah "halal" dianggap 
sebagai "kabirah" atau dosa besar. Jika dalam kehidupannya tidak segera 
disusuli dengan "Taubat" maka jelas kata Allah, akibatnya adalah Jahannam 
kekal di dalamnya. Kekal di sini adalah kekal dalam arti waktu yang cukup 
lama. Sebagaimana Allah berfirman: "Khaalidiina fiiha ahqaaba" (mereka 
kekal di dalamnya dalam beberapa fase yang lama) (An Naba). Artinya kekalnya
seorang pendosa Muslim pasti berbeda dengan kekalnya seorang yang memang 
secara "I'tiqaad" tidak beriman. Sebab jika sama, lalu di mana kita dudukkan
sifat Allah yang Maha Adil?

Tentu banyak contoh yang dapat kita ajukan. Namun kesimpulan yang akan 
diambil adalah bahwa kekafiran itu ada dua macamnya. Justeru kita harus 
berhati-hati melabelkan kekafiran kepada sesama Muslim, terlepas dari 
perilaku yang dialkukannya. Karena sesungguhnya hati dan nuraninya hanya 
dia dan Allah yang tahu. Maka kalau kita kembali kepada cerita di awal 
tulisan ini, memang seharusnya kita berhati-hati. Jangan-jangan kita 
mengkafirkan seseorang, padahal dalam dirinya masih terbersit serpihan 
iman sekecil apapun. Jika ini terjadi, maka sesungguhnya kita sudah 
melakukan pelanggaran ketuhanan, sebab hak menilai iman dan kafirnya 
seseorang hanyalah hak Allah Yang Maha Tahu. Wallahu a'lam!

M. Syamsi Ali
New York.




Indeks KTPDI | Kumpulan Materi Tarbiyah | Konsultasi Islam | Arsip Konsultasi Islam

Rancangan KTPDI Hak cipta © dicadangkan.