[Bagian 10] Salam dari Makassar ! ETAPPE IV Sengkang - Tanjung Bira di Kab. Bulukumba Dari rumah dinas Anre Gurutta Prof. Rafii Yunus, kami langsung mengambil arah selatan ke luar kota Sengkang. Begitu melewati gerbang batas kota, jalan pun terpecah dua. Tidak ada petunjuk, tapi dari keterangan ustadz Muhaymin, kami harus mengambil arah ke kiri ke Watampone. Kebetulan di pertigaan ada toko-toko, kami pun berhenti sejenak mengisi stok perbekalan, minuman dingin di cooler dan snacks untuk di perjalanan. Kebetulan ada pos polisi, maka untuk meyakinkan kami bertanya apakah betul jalan yang lebih kecil ke kiri itu menuju ke Watampone melalui Pampanua dan Uloe, sedangkan yang terus akan berlanjut sampai Soppeng dan Makassar melalui Ca'benge? Ternyata betul demikian. Walau pun lebih kecil dan bergelombang, kata pak polisi, jalanan diaspal mulus sampai Watampone. Siiip, lah. Persis di kelokan juga ada pompa bensin besar. Kami isi full-tank untuk ketiga kalinya dalam perjalanan ini. Pertama di Langnga, Pinrang dan kedua di Rantepao sebelom masuk kota. Jalan poros dari Sengkang ke Watampone, ibukota kabupaten Bone, cukup mulus, walau pun kadang seperti naik perahu yang sesekali diterjang ombak, karena ada bagian-bagian jalan yang membuat mobil oleng. Masih bisa ngebut sampai 80-an km/jam, sebetulnya bagi saya ini adalah perjalanan "napak tilas". Kurang lebih 10 tahun lalu, bersama Andi Nurrachmat, alumni-ta' juga, saya lewati jalan ini dalam keadaan rusak berat. waktu itu kami dapat bagian survey ke wilayah ini untuk proyek kelistrikan dari almarhum Prof. Cambari Saka, kerjasama dengan PLN. Wilayah Pampanua-Uloe, yaitu Bone bagian utara, terkenal karena merupakan salah satu wilayah operasi pemberontakan Abdul Qahhar Muzakkar, tokoh legendaris Sulsel. Menurut laporan resmi, beliau tertembak mati di wilayah sekitar sini. Tapi banyak masyarakat Sulsel yang percaya beliau masih hidup sampai sekarang, karena mustahil beliau bisa tertembak. Konon kulitnya "bullet proof", tidak mempan ditembak ...... Juga karena Golkar tidak pernah menang di wilayah ini, maka di jaman Orde Baru jalan poros ini tidak pernah diperbaiki. Alhamdulillah sekarang sudah jaman reformasi, lumayan-lah jalannya agak mulus, walau pun kualitasnya masih belom masuk kategori jalan poros. Di antara Pampanua danUloe untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan ini kami ketemu hujan. Rasanya segar sekali, walau pun tidak terlalu deras. Lumayan, mengobati kerinduan kami pada bau tanah yang tersiram air hujan. Mudah-mudahan hujan ini bisa kami "bawa" untuk oleh-oleh ke Makassar yang sungguh kering-kerontang (di Makassar hujan rintik pertama baru muncul sepekan setelah kami tiba, setelah itu kering kembali sampai sekarang). Tidak ada yang istimewa sepanjang perjalanan. Kota Watampone, karena sudah agak sering saya kunjungi, hanya kami lewati saja. Dulu Watampone dan Palopo sama-sama berstatus kota administratif, tapi rupanya orang Luwu lebih getol memajukan daerahnya sendiri dibanding orang Bone, sehingga sekarang Watampone ketinggalan jauh dari Palopo. Palopo sudah jadi kota sendiri, Luwu sudah jadi 3 kabupaten, sementara Watampone masih berstatus kota kabupaten, dan Bone masih bersatu. Ada sebagian orang Bone yang ingin memekarkan Bone jadi minimal dua daerah tingkat 2, dengan membentuk kabupaten Bone Selatan, ....... tapi kandas terus dihalangi orang Bone sendiri yang masih ingin bersatu saja. Orang Bone memang banyak yang jadi "besar" dan terkenal di luar. Raja Bone yang terkenal dalam sejarah adalah Arung Palakka. Sebetulnya beliau orang yang gagah perkasa, tapi karena beliau berperang melawan Sultan Hasanuddin (yang pahlawan nasional) dengan dibantu oleh Belanda, maka statusnya jadi kurang baik dalam sejarah nasional. Padahal kata orang Bone, Arung Palakka itu orang yang "didzalimi" oleh Sultan Hasanuddin, makanya melawan untuk membela hak dan harga diri beliau. Sayangnya yang dilawan adalah pahlawan nasional, makanya jadi tidak bagus deh citranya ........ Padahal waktu kejadiannya, mana Arung Palakka tahu bahwa Sultan Hasanuddin nantinya dijadikan pahlawan. Jadi kita terus menelusur ke selatan, ...... o, ya, di sekitar Watampone ada kawasan "internasional", karena ada kecamatan bernama Usa dan Cina. Aneh juga kenapa namanya demikian. Setelah itu kita melewati Mare, biasanya sekitar jalan poros banyak ladang tebu, tapi saat ini tidak kelihatan, karena lama mungkin tidak hujan. Beberapa kilometer menjelang kota kabupaten Sinjai, wilayah Kajuara adalah daerah Bone terakhir sebelum mencapai perbatasan Sinjai. Kajuara adalah tempat kelahiran almarhum Jenderal M. Jusuf, yang pasukannya meng-klaim telah menembak mati Abdul Qahhar Mudzakar di Bone utara. Jenderal M. Jusuf sampai wafatnya memang menyimpan banyak misteri. Selain misteri kematian Abdul Qahhar Mudzakar, Jenderal M. Jusuf juga menyimpan misteri Supersemar. Kalo' mau cari contoh orang yang sangat anti-nepotisme, maka Jenderal M. Jusuf-lah orangnya. Beliau pernah menangkap adik kandungnya sendiri yang jadi bupati Bone (???), ditahannya sendiri dan dibawa sendiri pake' jeep ke Makassar....... Secara etnis, Sinjai adalah batas akhir kabupaten yang penduduknya mayoritas orang Bugis. Selanjutnya sudah campur-campur dengan etnis Makassar. Dari jumlah populasinya, perbandingan antara orang Bugis dan Makassar kira-kira sama dengan antara Jawa dan Sunda. Bahasa mereka juga berbeda seperti bahasa Jawa dan Sunda. Jadi Sinjai ini kalo' diumpamakan ada di jalur Pantura dari Semarang ke arah barat, kira-kira sudah sampai Pekalongan-lah, sehingga Bulukumba dan Bantaeng itu seperti Pemalang-Brebes- Tegal-Cirebon-Inderamayu-nya ......., maksudnya secara etnologi kependudukannya. (Hehehe, mestinya saya jadi guru Geografi di SMA aja yah ......). Bupati Sinjai 'kan dari PDIP tadinya, tapi terus mbalelo karena pengen jadi Ketua DPW Sulsel nggak direstui oleh mBak Mega. Kasihan juga, padahal mungkin dia cukup potensial untuk maju jadi calon gubernur lho, ...... Yah, namanya juga politik. Di kota Sinjai kami cuma singgah untuk salat, karena pas waktunya salat Dzuhur. Kami berniat untuk menunda makan siang sampai ke Tanjung Bira nanti...... Lepas dari kota Sinjai, jalan agak berliku, tapi tidak seseru di antara Rantepao dan Palopo. Ada salah satu jembatan berupa jembatan darurat dari kayu, hanya bisa dilalui satu arah bergantian. Itulah rupanya lokasi musibah banjir bandang pasca gempa di Jogya dan sebelum bencana tsunami di Pangandaran. Air dari hulu sungai tiba-tiba pada saat pagi hari tercurah ke hilir sampai menghanyutkan jembatan! Tidak ada dalam riwayat yang diingat orang, pernah terjadi yang seperti itu sebelomnya. Yah,..... namanya musibah atau adzab, atau apa......? Memasuki wilayah Bulukumba, kok rasanya tidak mungkin lagi menahan lapar sampai Tanjung Bira. Mata mulai melirik ke kiri dan ke kanan, mencari- cari siapa tahu ada rumah makan yang ........ eh, tak disangka-sangka, di tepi jalan sebelah kiri dari arah Sinjai, ternyata ada rumah-makan "Soponyono"! Sudah pasti rumah makan Jawa, sebab "soponyono" dalam bahasa Jawa artinya memang "siapa sangka", hehehe, siapa sangka di Bulukumba ada restoran Jawa...... Orang Jawa memang pintar belajar menjajah dari orang Belanda, hehehe..... Kami pun berhenti.......... Check, rumah makan tetap buka, walau pun tidak full-operational. Semua yang masak dan yang melayani orang Jawa, ada nasi, ayam goreng, dan sop.... Cukup-lah. Di dalam garasi terparkir Kijang Innova baru, wah, rupanya pemilik rumah makan "Soponyono" ini cukup berada juga. Betul-betul soponyono buka warung Jawa di Bulukumba bisa untung sampai bisa beli Kijang Innova......? Wassalam, Rhiza rhiza@unhas.ac.id http://www.unhas.ac.id/~rhiza/ (bersambung)