[Bagian 11] Salam dari Makassar ! Setelah perut kenyang, maka hati pun tenang. Kami melanjutkan perjalanan, mestinya sudah dekat. Ketika di Tana Toraja, satu-satunya dalam mobil yang pernah berkunjung ke sana cuma anak saya yang sulung. Kami mengandalkan dia sebagai penunjuk jalan walau pun hanya secara "garis besar". Di Tanjung Bira ini pun hanya anak saya kedua yang pernah berkunjung, bahkan dua kali. Pertama ketika acara perpisahan teman-teman SMU-nya, dan kedua ketika ikut jadi tim penterjemah dalam rombongan Presiden Bank Dunia Paul Wolfowitch (spell?) yang secara incognito meninjau proyek-proyek Bank Dunia di Bulukumba. Tapi anak saya yang kedua ini sangat "cuek" dalam perjalanan, sehingga dia tidak punya "clue" sama sekali masih berapa jauh-kah kita ke tujuan. Lebih-lebih dalam kedua perjalanannya ke Tanjung Bira itu, ia datang dari arah Makassar (arah barat), sedangkan kami datang dari arah kebalikannya. Well, akhirnya ketemu juga belokan ke kiri ke arah Tanjung Bira, yaitu dekat pompa bensin menjelang masuk kota Bulukumba. Padahal Tanjung Bira 'kan termasuk obyek wisata internasional di Sulsel, tapi petunjuk ke sana sama sekali tidak "heboh", bahkan hampir-hampir tidak kentara. Dari milestones di pinggir jalan diketahui bahwa masih sekitar 40-an km dari Bulukumba jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke sana. Mana jalannya kecil dan "keriting", sehingga Kijang tua saya bergetar hebat kalo' kecepatannya ditarik sampai hampir 80 km/jam. Jalan "keriting" begini hanya bisa nyaman untuk kecepatan maximum 60 km/jam saja. Berarti masih sekitar satu jam lagi baru sampai ............ Untung pemandangan di perjalanan cukup cantik. Menyusuri pantai, di sebelah kanan ada pelabuhan nelayan Bulukumba. Matahari yang sudah condong ke barat menjanjikan "sunset" yang indah ...... Untung juga ketemu restoran Soponyono tadi, seandainya menunggu sampai tiba di Tanjung Bira baru mau makan, mungkin keburu pada masuk angin, deh. Sebenarnya dari Sinjai tidak perlu ke Bulukumba dulu untuk sampai ke Bira, ada jalan tembus langsung, tapi menurut informasi jalan tersebut lebih jelek lagi keadaannya...... Lebih baik lewat jalan "resmi" saja, itu pun kualitasnya sangat payah. Di sepanjang jalan kami melalui kawasan industri rakyat yang mem-produksi perahu pinisi yang terkenal. Kalo' ada yang mau pesan perahu kayu, bisa datang ke sini. Entah satu perahu bisa dibikin dalam berapa bulan, atau mungkin berapa tahun? Konon perahu yang diproduksi di sini bisa digunakan untuk menjelajah samudera keliling dunia ..... Pantai selatan di sini memang sepertinya ideal untuk industri perahu, karena hampir tidak terlihat ada ombak di lepas pantai. Mungkin karena musim kemarau, dan juga awal bulan. Kalo' musim hujan atau musim pasang purnama mungkin lautnya bergelombang besar juga. Rasanya jauh sekali sampai di Bira, karena pertama kali dan dinanti-nanti. Akhirnya menjelang sore hari, sampailah di pelabuhan ferry Bira, yang digunakan orang untuk pergi menyebrang ke kabupaten Pulau Selayar. Ferry penyebrangan ke Selayar ini pernah menjatuhkan seorang bupati, akibat proses pembeliannya yang kurang beres. Padahal bupati itu terkenal orang yang relatif bersih dan sangat memperhatikan rakyatnya. Banyak orang yang tidak percaya ketika beliau harus duduk di kursi terdakwa...... Sampai di Bira, bukan berarti sudah sampai di kawasan wisata Tanjung Bira. Masih beberapa km lagi, barulah kami sampai ke tempat yang dikenali oleh anak saya kedua sebagai tempat wisata. Ternyata memang kawasan wisatanya cukup luas dan cukup ramai. Ada cottages, beberapa di antaranya dilengkapi dengan tangga menuruni tebing langsung ke laut. Bagusnya sih bisa menginap di sini, tapi jatah 3 (tiga) hari perjalanan sudah habis, kami sudah tidak punya pakaian bersih. Kasihan juga kucing-kucing di rumah yang pasti berlebaran dengan kelaparan (mudah-mudahan ada tetangga yang cukup baik hati memberi mereka makan ........). Anak saya kedua menyarankan untuk menyewa perahu ketinting untuk keliling-keliling di kawasan pantai. Ternyata tidak terlalu mahal. Lumayan juga selama kurang lebih seperempat jam dapat dua kali keliling kawasan sekitar pantai. Di lihat dari arah laut lepas, memang cukup indah pemandangan Tanjung Bira. Kalo' tidak salah, agak ke tengah lagi ada kawasan untuk menyelam, dengan terumbu karang yang bisa dilihat dari permukaan laut seperti di Bunaken, Manado. Tapi kami tidak sempat ke sana. Beberapa tahun lalu konon pernah ada serombongan turis Perancis yang hilang karena perahu mereka terseret arus entah ke mana. Mungkin tidak ada ombak besar, tapi sering ada arus "misterius"...... Selesai melihat-lihat kawasan pantai berpasir putih (tidak terlalu putih, sih, ..... anggap saja demikian), anak-anak terus mandi-mandi di pantai. Saya duduk-duduk saja di "saung" sambil SMS-an ke sana ke mari. Sinyal kurang bagus di Tanjung Bira ini, mungkin karena efek "scattering" dari dataran laut lepas (?). Kalo' jalan sedikit ke daratan, baru bisa lebih bagus. Waktu jalan-jalan cari sinyal yang lebih kuat, saya dapat parking-spot yang lebih baik dari posisi mobil sebelomnya, ..... maka saya pindahkan mobil ke situ. Eh, ternyata bayar parkir Rp. 5000. Kami terus di Tanjung Bira sampai matahari terbenam. Cantik sekali sunset-nya! Sebelomnya anak-anak yang lagi asyik mandi di laut dipanggil supaya segera ke kamar mandi membersihkan diri sebelom gelap. Fasilitas tempat mandinya lumayan, ada air tawarnya untuk membersihkan pasir dan air laut yang lengket ke badan. Begitu gelap datang, kawasan pantai pun langsung jadi sepi ....... Kami cepat-cepat berkemas-kemas, dan segera pergi angkat kaki dari situ........ ! Pulang! Wassalam, Rhiza rhiza@unhas.ac.id http://www.unhas.ac.id/~rhiza/ (bersambung)