[Bagian 5] Salam dari Makassar ! Makale dan Rantepao tidak terlalu jauh satu sama lain. Kelak di kemudian hari mungkin akan menyatu menjadi satu kota, seperti Bandung-Cimahi, atau Makassar-Sungguminasa.... Ke luar kota Makale menuju Rantepao, sangat kental suasana "country side" dari Tana Toraja. Rumah-rumah adat Toraja, yang bisa berupa tempat penyemayaman jenazah sementara (mungkin sampai bertahun-tahun, lho....) atau lumbung padi, bertebaran di sepanjang jalan. Kurang lebih di pertengahan jalan antara Makale-Rantepao, ada simpangan jalan ke kiri menuju Bandara Pongtiku, nah, di sebelah kanan ada jalan masuk ke pemakaman Londa. Hampir terlewat, karena petunjuk jalan masuk hanya jelas terlihat dari arah Rantepao, itu pun sudah kusam. Sempat kami bertanya untuk meyakinkan bahwa jalan kecil berliku menanjak ke atas bukit itu memang menuju ke Londa. Akhirnya sampai juga. Tiket masuk dibayar per-orang Rp. 5000,-, parkir mobil free. Yang menyenangkan dari suasana obyek wisata di Tana Toraja ini, tidak terlihat ada peminta-minta....... Padahal seperti di Makassar dan sekitarnya, peminta-minta tidak hanya berkerumun di persimpangan jalan yang ada lampu-merahnya, tapi juga di sekitar mesjid-mesjid besar, di pemakaman umum dan di berbagai obyek wisata ...... Karena kita akan masuk ke dalam gua-gua batu yang gelap, maka ada yang menawari jasa membawakan lampu stormking (patromax) sekaligus menjadi pemandu wisata. Ada dua orang malah, satu di depan dan satu di belakang kami. OK-lah, lain kali kita bawa flashlight sendiri saja...... Londa ini adalah pemakaman keluarga dari marga Toraja tertentu. Jadi tidak sembarang orang bisa dimakamkan di situ. Ada patung-patung (boneka) dari seluruh keluarga besar mereka yang dimakamkan di situ, dibuat persis wajah-wajah mereka sebelom meninggal. Sebagian besar dari generasi terdahulu, yang konon sudah ratusan tahun di-mukim-kan di situ jenazahnya (bukan di-makam-kan, lho!), tinggal tengkorak- tengkoraknya yang tersisa. Semua dipajangkan berderet-deret di sela-sela batu, di luar mau pun di dalam gua-gua, yang penuh stalaktit dan stalagmit itu. Jenazah-jenazah dari generasi yang lebih baru masih ada dalam peti-peti matinya masing-masing, tapi kelak tentu akan tinggal sisa tengkorak pula. Bahkan yang lebih baru lagi, masih utuh kain keranda yang membungkus peti-matinya. Secara rutin kain itu diganti oleh keluarganya. Generasi demi generasi kelak berlalu, akhirnya peti mati itu dilupakan, lapuk, dan tengkorak- tengkorak pun dipasang berjejer sebagaimana para pendahulunya. Saya berbisik pada anak-anak, di yaumil-mashar nanti, semua tengkorak ini akan dibangkitkan kembali dengan tubuhnya masing-masing.... hiiiii! Tapi orang Toraja percaya - kata sang pemandu wisata yang memegang patromax - bahwa roh mereka yang sudah mati itu akan ber-inkarnasi kembali ke dalam kehidupan dunia ini, entah kehidupan yang lebih baik atau pun lebih buruk daripada sebelomnya. Dalam hati saya berbisik, berarti mungkin saja tengkorak-tengkorak itu dulunya adalah tengkorak-tengkorak anda yang hidup sekarang .......hiiiiii! Ada sepasang tengkorak, yang konon menurut kisah sang pemandu wisata pembawa lampu, dulunya ketika hidup adalah sepasang kekasih yang tidak direstui keluarga. Akhirnya dengan tragis keduanya bunuh diri, tetap berdua sampai menjadi tengkorak...... Romantis juga yah! Memang keajaiban dari obyek wisata ini, walau pun dikelilingi jajaran tengkorak dan boneka-boneka seperti di museum lilin, tapi tidak terasa menyeramkan. Kalo' di Amerika, sudah pasti tempat seperti ini akan dijadikan atraksi the "haunted house", yang menyeramkan - sekaligus menyenangkan - khususnya untuk anak-anak. Tentu saja tempat ini tidak bisa semata-mata dijadikan obyek wisata, karena bagi orang Toraja sendiri, terutama dari marga pemilik makam, tempat ini masih digunakan sebagai tempat pemakaman. Masih terlihat sisa- sisa karangan bunga dan ucapan dukacita dari upacara pemakaman yang dilaksanakan pekan sebelomnya ........ Setelah puas berfoto-ria dan melihat-lihat seluruh sudut gua yang penuh tengkorak dan boneka (serta berbagai peninggalan lainnya), kami ke luar, lalu menaiki tangga untuk melihat dari jauh lubang-lubang di tebing batu yang digunakan untuk menyimpan jenazah. Semakin tinggi letak lubang penyimpanan berarti semakin tinggi pula status sosial jenazah orang yang dimukimkan di situ semasa hidupnya. Untuk mengerek peti jenazah sampai setingi itu, diperlukan tangga yang dibuat dari bambu. Dekat pelataran parkir, kami melihat ada seekor kerbau yang diikat hidungnya dan dipertontonkan kepada pengunjung. Boleh di-elus-elus dan difoto. Kerbau ini cantik sekali, seluruh badannya berkulit hitam, tapi sekitar mukanya albino seperti orang bule, ,,,,,, dan matanya pun berwarna biru! Sang kerbau wangi baunya karena baru saja dimandikan dengan sabun wangi, bahkan mungkin pake' deodoran segala ..... hehehe. Konon kerbau ini akan disembelih untuk upacara pemakaman, dan harganya konon setara harga Kijang Innova. Jadi hati-hati menyetir di Tana Toraja, kalo' kita menabrak kerbau, bisa-bisa mobil kita harus ditinggal sebagai ganti rugi...... Itu pun belom tentu cukup, mesti tambah uang lagi. Makanya, sering ada orang yang lebih mencintai kerbaunya daripada anaknya sendiri....... amit-amit deh! Tidak sampai satu jam, kami sudah menyelesaikan kunjugan kami di Londa. Selanjutnya kami cabut menuju Kete Kesu di arah Rantepao ......... Wassalam, Rhiza rhiza@unhas.ac.id http://www.unhas.ac.id/~rhiza/ (bersambung)