[Bagian 7] Salam dari Makassar ! Di pasar sentral Rantepao saya parkir mobil dekat mesjid. Anak-anak dan mama-nya pergi belanja, cari T-Shirt dan souvenirs untuk oleh-oleh. Saya menunggu di seberang jalan, di teras sebuah toko yang teduh, tidak kena sinar matahari yang terik dan panas di Rantepao ini. Walau pun sama-sama terletak di dataran tinggi, Rantepao jauh lebih panas daripada Makale. Sepertinya Rantepao berkembang sebagai kota bisnis, sedangkan Makale jadi kota pemerintahan dan kota turis. Sambil menunggu yang pada belanja, saya menghabiskan waktu SMS-an ngebalesin SMS Selamat 'Iedul Fithr yang membanjiri HP saya Siemens C-45 yang sudah out-of-date....... Eh, tiba-tiba, ada orang lewat yang menegur saya: "Pak Rhiza, 'kan?" Nah, lho, ternyata ada juga yang mengenali saya..... Saya mengangguk, lalu dia tanya lagi: "Mau menghadiri acara Toraya Mamali, pak?". "Ah, nggak, ...... cuma kebetulan lewat saja, kalo' kita'?" (Di Sulsel "kita'" berarti "anda" yang lebih sopan daripada "kau" atau "kamu"). "Saya kebetulan mengantar artis-artis untuk acara Toraya Mamali itu, pak .....". Lalu kami bertukar chatting sebentar, dan anak muda pengantar artis itu pun segera berlalu........ Saya lupa menanyakan namanya dan di mana dia pernah ketemu saya...... Ah, susah juga jadi orang "terkenal", yah ...... hehehehe, Ge-eR juga, nih. Sebelom meninggalkan Rantepao, kami salat dulu Dzuhur-Asar dijama'-qashar di Mesjid Rantepao yang bakalan jadi mesjid yang indah dalam waktu tak lama lagi (sementara dikerja, belom selesai finishingnya). Orang Toraja juga terkenal trampil tangannya dalam berbagai pekerjaan pertukangan ...... Mungkin kalo' di Sulsel cuma kalah oleh orang Selayar. Sekitar jam 13-an, kami meluncur meninggalkan kota Rantepao menuju Palopo. Makan siang kami tunda saja dulu sampai ke Palopo. Masih terbayang-bayang mayat kerbau dan babi yang bergelimpangan berlumuran darah tanpa kulit yang kami lihat di Kete Kesu tadi .........! Jalan Rantepao-Palopo adalah jalan terindah yang kami temui di sepanjang perjalanan ini. Berliku-liku, berkelok-kelok, naik dan turun, pokoknya tangan dan kaki saya tidak berhenti bergerak. Betul-betul test ketrampilan menyetir di sini. Untung kami jalan siang, kalo' malam sudah pasti saya menyerah, kecuali kalo' ada mobil di depan yang bisa diikuti. "Trik" saya kalo' menyetir malam, lebih baik jadi "makmum" ikut mobil di depan. Kalo' tidak ada mobil di depan, yah pelan-pelan aja sambil menunggu sampai ada yang menyusul, baru diikuti ..... Betul-betul beruntung poros Rantepao-Palopo ini kami lalui siang hari. Rumah-rumah adat Toraja masih banyak di sepanjang jalan, makin lama makin berkurang karena semakin mendekati Palopo, berganti dengan kawasan wisata alam dan hutan lindung. Secara etnis, orang Luwu yang bermukim di Palopo sampai Sorowako dan Pendolo, berbeda dengan orang Toraja. Orang Luwu pada dasarnya orang "laut", sedangkan orang Toraja orang "gunung". Salah seorang raja Luwu pada jaman baheula ada yang pernah melanglang-buana sampai ke Thailand dan Cina, namanya Sawunggaling...... Menjelang masuk kota Palopo, jalan mulai menukik turun dan berkelok-kelok semakin tajam. Di kejauhan mulai terbayang garis pantai dan kota Palopo, jalan di bawah berkelok-kelok tampak jelas dari atas..... orang menyebutnya "Leko' Pitu" atau tujuh kelokan. Saya tidak sempat menghitung, tapi rasanya sih lebih dari tujuh. Tiba-tiba di sebelah kiri jalan, ...... ada terbaca tulisan "Rumah Makan Jogya"....., lho? Hampir tidak mempercayai mata kami, segera kami parkir ...... wah, makan siang tidak perlu menunggu sampai Palopo nih.....! Iseng saya tanya sama bu Haji pemilik rumah makan, apa ada gudeg? Bu Haji dengan serius menjawab, bahwa mereka cuma bikin gudeg seminggu sekali, sekarang ini sedang libur karena menantunya (yang orang Jogya asli) sementara pulang kampung ke Jogya. Rumah makan ini memang beliau kelola bersama besannya yang transmigran dari Jogya. Bu Haji sendiri asli dari Palopo.......... Yah, ndak apa-apa ndak ada gudeg juga, sediakan saja makan siang untuk kami berlima, apa saja yang ada. Ternyata ke luar goreng ayam, ikan bakar, sayur, sop saudara ...... Wah, lumayan nih. Ada sayur yang agak "aneh", kami pikir dibuat dari jantung pisang ....... ternyata dari batang pisang! Jadi inti batang pisang dirajang halus lalu dimasak dengan potongan opor ayam dan kelapa, dimasaknya katanya dalam buluh bambu. Katanya ini resep orang Enrekang yang sangat disukai oleh orang Toraja. Memang banyak makanan enak (dan aneh) di Enrekang. Waktu makan sore kemarin di rumah ibu Andani di Enrekang, ada nasi yang harum sekali. Padi yang menghasilkan beras yang wangi ini di seluruh dunia cuma ada di Enrekang. Jadi kalo' bibitnya ditanam di tempat lain, hasilnya tidak akan wangi seperti di Enrekang, karena tanahnya lain. Begitu juga itu batang pisang, kalo' batang pisang dari tempat lain mungkin tidak bisa dimakan........., hanya batang pisang dari Enrekang yang bisa dimasak jadi enak.... Di Enrekang juga ada keju tradisonal yang dibuat dari susu kerbau yang di-fermentasi pake' daun pepaya, namanya "dangke", enak sekali diiris tipis-tipis dan digoreng..... Setelah kami kenyang makan, saya minta dibuatkan kopi supaya tidak ngantuk, lalu ibu Haji menghitung berapa semuanya ......... ternyata hanya Rp. 25 ribu rupiah! Bayangin, makan kenyang berlima, tambah minum kopi, cuma 25 ribu? Saya jadi ingat di Jogya, di kawasan sekitar kampus Bulaksumur UGM, makanan serba murah-meriah..... Bandingkan dengan tawaran restoran Marannu di Makale, nasi goreng satu porsi 24 ribu, kopi 11 ribu ......... Wah, kontras sekali! Selesai makan, kami menghabiskan sisa jalan berkelok-kelok dan berliku-liku menurun tajam ke Palopo. Semua di mobil tidur nyenyak kekenyangan, tinggal saya sibuk menyetir sendiri, dengan kemudi yang tidak henti berputar ke kiri dan kanan ........... sampai kota Palopo sudah menjelang sore hari .......... Wassalam, Rhiza rhiza@unhas.ac.id http://www.unhas.ac.id/~rhiza/ (bersambung)