[Bagian 8] Salam dari Makassar ! Jalan berliku dari Rantepao berakhir di kota Palopo yang cantik pada sebuah pertigaan. Penunjuk jalan menginformasikan bahwa ke kiri adalah jalan menuju Palu, sedang ke kanan ke Makassar. Dari pertigaan ini kita tahu fungsi utama kota Palopo sebagai kota transito untuk perjalanan antar- provinsi. Kota terbesar ketiga di Sulsel setelah Makassar dan Pare-Pare ini dulunya merupakan ibukota kabupaten Luwu yang membentang sampai Malili dan Sorowako di timur, Mangkutanah dan Massamba di utara. Tapi karena ada ambisi untuk menjadikan kabupaten Luwu menjadi provinsi Luwu Raya, maka kabupaten Luwu lama itu dipecah menjadi 4 (empat) daerah tingkat II, yaitu Luwu Timur, Luwu Utara, kota Palopo dan kabupaten Luwu baru yang ibukotanya pindah ke selatan, ke daerah Belawa (?). Berbeda dengan Sulawesi Barat yang sudah lebih dahulu memisahkan diri dari Sulsel, cita-cita terbentuknya provinsi Luwu Raya belom kesampaian sampai sekarang. Saya tidak berniat singgah di Palopo, karena sudah cukup sering ke sana, lagipula saya tidak mau terlalu malam sampai di Sengkang. Kalo' di Amrik dulu ada AAA yang menyediakan "Trip-tik" untuk perjalanan seperti ini, sehingga hampir pasti kita bisa memperhitungkan lama perjalanan, di mana menginap, di mana makan, di mana beli bensin, obyek wisata dll. Rekor yang kami pernah capai di Amrik dulu adalah jalan sepanjang 14000 miles (kurang lebih 20 ribu km, 20 kali perjalanan di Sulsel ini) dalam 20 hari! Dalam perjalanan keliling Sulsel ini modal kami hanya Atlas Sekolah SD punya anak saya, dan batu-batu petunjuk km (milestones) sepanjang jalan. Hitungannya, 1 km ditempuh dalam 1 menit. Jadi kalo' menurut batu petunjuk masih 60 km sampai suatu kota, Insya Allah paling cepat sejam lagi sampai ...... Juga sepanjang jalan hampir tidak pernah ada "blank-spot" dari telpon selular, bisa terus kirim-kiriman SMS dengan teman-teman yang lebih tahu daerah yang dilalui ...... Dan harus rajin bertanya=tanya, malu bertanya, sesat di jalan. Saya hanya bangunkan saja semua di mobil yang sejak dari makan siang tadi pada tidur nyenyak, untuk selintas melihat-lihat kota Palopo yang apik dan rapih, tapi sungguh sepi, karena masih lebaran kedua. Di Palopo ini ada mesjid kuno yang konon merupakan mesjid tertua di Sulsel. Rasanya lokasinya dekat alun-alun, tapi kami tidak melewatinya. Tidak lama kami sudah meluncur di jalan poros Palopo-Siwa menuju kabupaten Wajo. Kalo' jalan antara Kuandang (di Gorontalo) ke Manado yang menyusuri pantai Pasifik biasa saya bandingkan dengan State Highway California 1 antara Los Angeles ke San Fransisco (juga menyusuri pantai Pasifik), maka jalan poros Palopo-Siwa ini bolehlah dibandingkan dengan Freeway Interstate 5, yang membentang dari San Diego, CA di selatan sampai Seattle, WA di utara, dari perbatasan dengan Mexico sampai perbatasan dengan Canada. Mulus dan lebar. Saya bisa bikin Kijang tua-ku lari menjerit-jerit sampai 120 km/jam (sekitar 70 mph, batas ditangkap polisi kalo' di Interstate umumnya di Amrik, kecuali di Pennsylvania, hati-hati, 60 mph saja sudah ditilang) dari maksimum 140 km/jam di speedometer. Tapi ndak bisa juga ngebut-ngebut amat, karena banyak sekali rombongan sepeda motor memenuhi jalan. Yaitu mereka yang ber-ziarah dari kampung ke kampung, lantas ke luar ke jalan poros.'Kan memang masih lebaran kedua, tauwwa........ Kata Prof. Rafii keesokan harinya, ketika kami cerita soal pengendara motor ini, beliau menjelaskan bahwa orang Bugis tidak bisa naik motor beriringan, sebab tidak ada yang mau mengekor di belakang, semua mau di depan. Berbeda dengan pengendara sepeda di jalan poros Jogya-Solo tempo doeloe, mereka beriringan dalam satu garis lurus sehingga tidak terlalu mengganggu lalu-lintas jalan poros..... Alhamdulillah, kami berhasil memasuki wilayah kabupaten Wajo menjelang maghrib. Untuk keperluan kecil-kecil kami dari tadi hanya berhenti di pompa-pompa bensin besar yang sudah lumayan lengkap fasilitas-nya. Di kota Siwa yang merupakan pelabuhan ferry penyebrangan ke Sulawesi Tenggara, jalan poros membelok ke kanan menjauhi pantai menuju Pangkajene di kabupaten Sidrap. Tapi di tengah jalan kami memyimpang ke kiri ke arah Sengkang, melalui Attapange. Jalannya lebih kecil daripada jalan poros, tapi kami santai saja, tokh Sengkang sudah di depan mata. Lewat waktu 'Isya kami memasuki kota Sengkang, kota sutera dan kota santri juga. Sebetulnya kain sutera itu dibuatnya di Soppeng, tapi karena perniagaannya di Sengkang, maka dikenallah kain sutera dari Sengkang. Harimau yang punya belang, gajah yang dapat nama....hehehe! Sedangkan julukan kota santri pada kota Sengkang mengacu ke satu pondok pesantren besar di sana, yaitu Pesantren Assadiyah, yang teman kami Prof. Rafii Yunus jadi "boss besar"-nya.... Terakhir saya ke Sengkang kurang-lebih 10 tahun lalu, tidak ada bekas-bekas ingatan sedikit pun tentang "lay-out" kota, apalagi malam hari seperti itu. Setelah berputar-putar tak tentu arah, ahirnya kami bertanya di mana pasar sentral. Menurut informasi, ada hotel yang lumayan di sekitar pasar sentral. Ya, betul, anak saya yang bungsu melihatnya di lorong depan pasar sentral: hotel Al-Salam II. Kami check-in dulu, ternyata hanya ada satu kamar VIP yang pake' AC, air panas dan HBO. Biar buat ketiga anak kami, sedangkan saya dan mamanya mengambil kamar standar saja, pokoknya pake' AC, ada kamar mandi di dalam kamar pake' gayung (timba) juga ndak apa-apa dan ....... tentu saja asal ada tempat tidurnya, hehehe. Tujuannya 'kan memang cuma mau tidur (kalo' anak-anak sih nginep di hotel suka punya tujuan lain, misalnya mau berendam air hangat di bath-tub, atau nonton HBO/Cinemax sampai pagi.....). Setelah dapat kamar kami ke luar cari makan malam. Wah, ternyata Sengkang jam 09:00 malam sudah sepi. Kalo' di Amrik selalu di mana-mana ada McD, Burger King, Pizza Hut, KFC, Denny's, TCBY, Dunkin Donat, Int'l House of Pancake untuk sarapan, Country Kitchen, Fast Wok Chinese Restaurant kalo' sesekali mau makan nasi goreng, Red Lobster kalo' mau makan seafood. dll. yang tersebar sampai ke pelosok-pelosok Amrik dan buka 24 jam, maka tentu jangan harap yang semacam itu ada di Sengkang ....... tapi hei, tunggu dulu! Itu ada warung makan masih buka di depan pasar sentral dekat dengan hotel. Ternyata orang Jawa lagi, hehehe, orang Jawa memang "menjajah" ke mana-mana. Jual masakan Jawa, tapi udah pada abis, tinggal mie-baso saja yang ada. Ya, udah, pokoknya ada yang menghangatkan perut sebelom tidur....... Pulang ke hotel, istirohat, besok mulai Ettappe ke IV, dari Sengkang menuju Tanjung Bira di Kabupaten Bulukumba, Insya Allah. Wassalam, Rhiza rhiza@unhas.ac.id http://www.unhas.ac.id/~rhiza/ (bersambung)