PBNU:
Gerakan Politik Transnasional Ganggu Hubungan
Antar-Negara Kamis, 26
Juli 2007 18:29
Jakarta,
NU Online Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim
Muzadi meminta kepada semua komponen bangsa untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap munculnya
gerakan politik berbasis agama yang berhaluan
transnasional. Pasalnya, bahaya gerakan tersebut
akan berakibat pada banyak hal, termasuk
terganggunya hubungan
antar-negara.
“Gerakan transnasional ini
akan menjadi eksesif (berdampak buruk pada banyak
hal, Red), tidak hanya pada gerakan transnasional
itu sendiri, tetapi juga ekonomi, budaya, sosial,
dan sebagainya, termasuk politik internasional,
yakni terganggunya hubungan antar-negara,”
terangnya pada Dialog Islam dan Negara di Gedung
PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis
(26/7).
Dialog bertajuk “Spirit Keagamaan
dalam Politik Kebangsaan” tersebut dihadiri Rais
Syuriah KH Ma’ruf Amin, Ketua Pengurus Pusat
Muhammadiyah Yunahar Ilyas, Wakil Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali, pimpinan
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Pdt Andreas A
Yewangoe (Ketua Umum) dan Pdt Richard M Daulay
Sekretaris Umum) dan Sekretaris Eksekutif Komisi
Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi
Wali Gereja Indonesia (KWI) Rm Benny
Susetyo.
Hasyim menjelaskan, potensi
gerakan transnasional yang dapat mengganggu
hubungan antar-negara itu terjadi karena mereka
kerap kali berupaya ‘mengganggu’ kedaulatan negara
bersangkutan. Mereka berupaya mengganti bentuk
negara yang sah dan disepakati rakyatnya dengan
konsep Pemerintahan Islam (Khilafah
Islamiyah).
Jika sebuah negara tak dapat
mencegah semakin meluasnya gerakan tersebut, tegas
Presiden World Conference on Religions for Peace
itu, keutuhan negara yang bersangkutan dalam
keadaan terancam. Dengan demikian, hubungan dengan
negara lain pun akan terganggu.
Menurut
Hasyim, seharusnya visi keagamaan dapat
disinergikan dengan kepentingan politik nasional,
bukan dipertentangkan. Dengan demikian, agama
dapat hidup dengan baik di dalam sebuah negara,
pun kepentingan negara tidak
terganggu.
“Belakangan, kemunculan gerakan
politik transnasional itu justru berperan
menjadikan agama potensi konflik, bukannya agama
menjadi potensi untuk membangun politik
kebangsaan, politik keumatan,” terang Sekretaris
Jenderal International Conference of Islamic
Scholars itu.
Senada dengan Hasyim, Yunahar
mengatakan, Muhammadiyah merupakan salah satu
kekuatan yang hingga saat ini masih setia dengan
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Seperti halnya NU, katanya, Muhammadiyah tak ingin
Indonesia terpecah-belah.
Menurutnya,
Muhammadiyah sejak awal tak lagi menganggap ada
masalah dengan NKRI, dasar negara Pancasila dan
Undang-undang Dasar (UUD) 1945. “Muhammadiyah
tidak melihat ada masalah dengan NKRI, Pancasila
dan UUD 1945. Dan tidak perlu dipermasalahkan
lagi,”
Ia menjelaskan, pada Sidang Tanwir
Muhammadiyah di Yogyakarta 26 April 2007 lalu
kembali ditegaskan bahwa Muhammadiyah wajib
menjaga keutuhan NKRI. “Juga menjaga aset-aset
negara dari pihak asing, dan lain-lain,”
pungkasnya. (rif)
« Kembali ke arsip Warta
Berita Terkait:
Komentar:
Belum ada komentar.
|