Tugas Mata Kuliah     : Filasafat IPTEK

Dosen                            : Dr Ir  Rhiza S. Sadjad, MSc.

 

 

 

BEGITULAH  . . . MANUASIA BERTEMU  BAHASA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ganding Sitepu

P0800305001

 

 

 

 

 

Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Makassar

 

Desember 2005

 

 

 

Resensi Buku

Judul Buku            : So kommt der Mensch zur Sprache

Pengarang             : Dieter E. Zimmer

Penerbit                 : Wilhelm Heyne Verlag, Muenchen

Tahun                    : 1994

ISBN                      : 3-453-07812-8

Jumlah halaman     : vi + 201 halaman

 

Buku filsafat yang ditulis dalam bahasa Jerman ini menjadi menarik perhatian saya karena “pernyataan” Dr Rhiza (dosen Filasafat Iptek) dalam kuliah bahwa belajar bahasa termasuk ilmu pengetahuan yang objeknya ciptaan Tuhan. Secara tegas malah disebutkan (oleh dosen tersebut sebagi ilustrasi) bahwa bahasa Bugis bukan ciptaan atau buatan orang Bugis. Ketika mencari-cari buku untuk dibuatkan resensi sebagai tugas mata kuliah ini tiba-tiba mata saya berbenturan dengan wajah buku ini.

Sebagai “bukan pembaca” buku filsafat sungguh membaca buku ini hanya enak di awalnya, ketika sejumlah pertanyaan diajukan penulis, namun ketika dicoba dijawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kalimat terasa “mumet” dan sulit sekali dicerna. Kalau bukan karena tugas, nampaknya saya sulit menyelesaikan bacaan ini.

Adapun pertanyaan awal yang membangkitkan rasa ingin tahu adalah sebagai berikut: Apakah bahasa merupakan ciptaan dan hadiah Tuhan kepada manusia? Ataukah bahasa itu –sesuai dengan yang diyakini Herder 200 tahun silam- berasal dari kemampuan manusia menirukan suara alam? Dalam perjalanan waktu muncul dan berkembang berbagai teori dan hasil pemikiran, dan beberapa di antaranya bahkan “aneh-aneh”. Dalam buku ini antara lain dibicarakan teori wauwau, teori dingdong dan teori singsang yang menunjukkan betapa manusia penasaran untuk menjawab pertanyaan asal usul bahasa dan perkembangan bahasa.

Dua setengah millennium yang lalu raja Psammetich dari  Mesir melakukan eksperimen (yang menurut ukuran sekarang sungguh keji dan brutal). Sang raja mengambil seorang bayi yang baru lahir dan diasingkan pada padang penggembalaan kambing bersama sang gembala yang bisu tuli. Tidak diperkenankan seorangpun untuk berkomunikasi dengan bayi tersebut kecuali gembala bisu tuli. Tujuannya : menemukan asal usul bahasa.

Setelah dua tahun si anak itu diambil, dan anak itu hanya bisa “bersuara” bek…bek. Kemungkinan dia menirukan bunyi kambing, bunyi satu-satunya yang pernah dan sering ia dengar. Sang raja berkesimpulan: inilah asal bahasa. Diadakanlah “studi pencarian fakta versi 2500 tahun sebelum masehi”, untuk mencari adakah bahasa yang mempunyai kosa kata “bek”. Aneh bin ajaib ditemukanlah kata bek dalam kosakata bahasa kaum Phryger (Phryger dalam bahasa Jerman, dan maaf, saya belum menemukan padanannya dalam bahasa Inggris maupun Indonesia). Dalam bahasa Phyreger “bek” artinya roti atau bahan makanan. Dan sejak itu para psykolinguist kerajaan Psammetich berkesimpulan bahwa bahasa pertama di dunia adalah bahasa Phryger dan bangsa Phryger merupakan bangsa tertua di dunia.

Tahun 1769 Herder memenangkan sayembara ilmiah melalui buku karangannya, yang di dalamnya dinyatakan bahwa bahasa bukanlah hadia dari Tuhan untuk manusia. Bahasa adalah “hasil” jerih payah manusia. Mulai di sini buku yang dulis Zimmer ini agak sulit dicerna, perlu dibaca berulang.

Bagaimana pun setelah muncul pendapat Herder tersebut upaya manusia mencari jawaban tentang asal usul bahasa dan bagaimana bahasa berkembang, misalnya perkembangan kosa kata dan pembentukan gramatika, akhirnya semakin mengarah ke rasionalisme. Berkembanlah banyak teori. Herder sendiri berkeyakinan bahwa bahasa berasal dari tiruan bunyi alamiah yang dilafalkan manusia dan diberi makna.

Lalu bagaimana dengan bahasa hewan, rupanya itu pun dikaji sebagai bahan pembanding. Diyakini bahwa hewan pun mempunyai bahasa namun sangat simple. Bahasa hewan selalu bermakna “sesuatu di sini dan saat ini”. Apakah bahasa manusia pada awalnya juga begitu?

Selanjutnya pertanyaan menarik (nampaknya memang filsafat berarti bertanya… bertanya… dan menjawab): bagaimana anak-anak belajar bahasa? Sekilas pertanyaan ini sepele dan pasti kebanyakan orang menjawab: anak mendengar ucapan orang tua, lalu ditirukan apa yang ia dengar, awalnya bayak kesalahan dan akhirnya tohh….bahasa anak sama (benar) dengan bahasa orang tua. Namun pertanyaan sepele itu tidak sepele bagi filsuf. Bahkan argument jawabannya membuat kita jadi ragu akan jawaban logis tadi.

Ternyata kalau hanya melafalkan asosiasi, imitasi suara, burung beo dan bebera hewan lainnya juga bisa. Lalu apa beda manusia dengan hewan dalam berbahasa (bunyi)?. Bila bahasa bukan merupakan asosiasi bunyi, imitasi bunyi dan perubahan volume dan intonasi, lalu bagaimana bahasa dicari?

Sebenarnya seorang anak tidak belajar berbahasa dari orang tua dan orang tua juga tidak mengajari anak berbahasa. Bahasa anak-anak juga tidak pernah salah, yang terjadi sebenarnya adalah “peraturan” bahasa anak berbeda dengan “peraturan” bahasa orang tua. Jadi bahasa anak jadi salah ketika “peraturan” bahasa orang tua yang dijadikan ukuran. Pertumbuhan bahasa anak sejalan dengan pertumbuhan badannya. Orang tua tidak pernah (dan tidak akan mampu) mengajari anak bagaimana caranya menjadi besar (tumbuh). Yang dilakukan orang tua hanya memberi asupan makanan dan tahu-tahu si anak tumbuh semakin besar dan akhirnya dewasa. Si anak pun tidak pernah belajar caranya tumbuh. Oleh karena itu ketika anak berhenti tumbuh (telah dewasa berumur 20-an), tidak ada cara untuk melanjutkan pertumbuhan. Rupanya bahasa pun demikian. Bahasa anak tumbuh dengan sendirinya, orang tua hanya memberi “asupan”. Bahasa anak akan tumbuh dengan kecepatan dan akselerasi tertentu. Dan setelah periode tertentu bahasa anak akan berhenti tumbuh(!). Inikah yang menyebabkan orang dewasa sulit belajar bahasa ?

Pertanyaan seputar bahasa rupanya tidak berhenti di sini. Benarkah bahwa berpikir itu sama dengan berbahasa (berbicara) tanpa bunyi? Bisakah manusia berpikir tanpa bahasa?  Bahkan sampai sekarang belum terjawab pertanyaan : apakah yang dimaksud berpikir?

Dalam buku ini dibahas beberapa eksperimen yang melibatkan hewan primata seperti simpanse dan juga hewan lainnya. Seperti telah disebut di awal tulisan ini, pertanyaan filosofis sering menggugat “keyakinan” kita dan dalam bertualang dengan pikiran kita bisa tiba pada simpulan lain. Akan tetapi dengan membaca buku ini, mengikuti petualangan pikiran orang lain ternyata tidak mudah. Diperlukan kemauan dan kesungguhan luar biasa. Saya, nampaknya belum matang mengikuti petualangan pikiran semacam itu, tapi bagi peminat petualangan dengan pikiran mungkin buku ini bisa menjadi hiburan.