| |||||||
|
Serial NEGARA TUHAN 12
Bab 11
Memahami Terorisme di Indonesia
Murba Abu
After September 11, 2001, the Indonesian government opposed most American action againt terrorist group. During the American attack against the Taliban in Afghanistan, Jakarta permitted Islamic radicals to openly recruit and estimated 300 Indonesia volunteers to deploy to Afghanistan to join Al-Qa'idah and fight American forces.
Dana R. Dillon [1]
Salah satu kajian yang amat menarik pasca-tragedi 12 Oktober 2002 adalah bagaimana menjelaskan aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia.[2] Hampir semua negara yang memiliki kelompok Islam garis keras berupaya sekuat tenaga untuk menyumbangkan berbagai pandangan untuk mengatakan bahwa umat Islam itu bukan teroris, dan tidak semua aksi teroris itu mewakili umat Islam.[3] Namun, ini belum mampu menepis kecurigaan negara Barat terhadap Islam.[4] Dalam konteks inilah, upaya para sarjana untuk menjelaskan Islam kepada Barat merupakan tugas yang sangat berat. Sebab tantangan yang akan dihadapi, ibarat dua mata koin. Pada sisi pertama, terdapat nilai-nilai dalam Islam yang tampaknya sama sekali jauh dari aksi terorisme dan "wajib" bagi umat Islam untuk mengatakan kepada dunia bahwa mereka bukan teroris. Namun di sisi lain, Barat, melalui berbagai aksi propagandanya telah "berhasil" menciptakan image buildings bahwa ada sekelompok umat Islam yang harus dicurigai, sebab mereka disinyalir melakukan aksi terorisme.
Kajian ini, selanjutnya ingin menguraikan bagaimana akar historis terorisme di Indonesia dan juga bagaimana pengaruh "pihak luar negeri" dalam mensosialisasikan wacana terorisme di tanah air. Dalam hal ini, terdapat sejumlah faktor internal yang menyebabkan munculnya aksi-aksi terorisme di Indonesia. Faktor-faktor tersebut memiliki kaitan dengan sejarah umat Islam di Indonesia yang selalu menempati posisi garda depan dalam setiap revolusi, dan terbelakang dalam menikmati "hasil perjuangan" mereka. Karena itu, muncul aksi-aksi "menuntut hak" atas nama agama, dalam berbagai bentuk aksi kekerasan. Pada spektrum yang lain, faktor eksternal juga memiliki peran penting dalam "membumikan" wacana terorisme di Indonesia. Dalam konteks tersebut, umat Islam adalah bidikan yang cukup empuk bagi terwujudnya sebuah agenda besar yang dilatar-belakangi oleh kepentingan ekonomi, politik, dan budaya.
Studi ini akan dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, kajian ini menjelajahi terhadap kemunculan Islam Radikal di Indonesia yang pada gilirannya membawa dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan diskursus terorisme di Indonesia. Kedua, studi ini akan memusatkan perhatian terhadap peran pihak asing dalam mensosialisasikan/membumikan wacana terorisme di Indonesia. Untuk kepentingan kajian ini, perhatian utama tertuju pada ICG (International Crisis Group) dan Sidney Jones sebagai salah seorang staff ICG dan sekaligus warga Amerika yang paling sering dirujuk untuk kasus terorisme di Indonesia.
TELAAH ULANG TERORISME
Pada dasarnya, wacana teroris mulai mencuat ke permukaan setelah terjadi tragedi 11 September 2001. Konstelasi politik global menjadi berubah total.[5] Sebab, Amerika melalui Presiden Bush mengeluarkan kebijakannya yang cukup mengejutkan dunia. Ia mengatakan bahwa pihak-pihak yang tidak bergabung dengan Amerika untuk memerangi teroris, maka akan menjadi musuh Amerika.[6] Kalimat ini sering dikutip di mana-mana: "Now for all nations of the world, there only two choice: either they join America, and if they don't, they join the terrorism.[7] Dengan pernyataan ini, setidaknya tekanan Amerika terhadap Indonesia dapat dilihat sejak tragedi 11 September 2001. Presiden Bush secara terbuka menjadikan kebijakan teror sebagai alat ukur hubungan Amerika-Indonesia.[8]
Strategi Amerika dalam memerangi terorisme telah disampaikan dalam The National Security Strategy of the United States of America pada tahun 2002. Pemerintahan Bush pada bulan Februari 2003 melalui CIA, tetap mengeluarkan strategi untuk menghadang kelompok teroris. Kelompok ini dikenal dengan National Strategy for Combat-ing Terrorism. [9] Dalam strategi ini, Bush menegaskan:
"The enemy is not one person. It is not a single political regime. Certainly it is not a religion. The enemy is terrorism -premeditated, politically moti-vated violence perpetrated against noncombatant tar-get by subnational groups or clandestine agents. Those who employ terrorism, regardless of their specific secular or religious objectives, strive to subvert the rule of law and effect through violence and fear. These terrorists also here share the mis-guided belief that killing, kidnapping, extorting, robbing, and wreaking havoc to terrorize people are legimate forms of political action".[10]
Namun demikian, pernyataan politik Bush di atas ternyata tidak didukung para ilmuwan Amerika, terutama Robert Jervis dari Columbia University. Jervis menandaskan bahwa "this perspective is misleading as an explanation for terrorism or a prescription for dealing with, however. It is difficult to say exatly what the root causes."[11]
Pada tanggal 20 September 2001, 9 hari setelah tragedi September 2001, Bush menyampaikan The Nature of the Terrorist Threat Today (Sifat Dasar Teroris yang Membahayakan Dewasa Ini). Pada awalnya, Bush menyampaikan bahwa secara historis, Amerika sering menjadi sasaran serangan teroris.[12] Karena itu, Bush memandang perlu untuk menjelaskan karakteristik untuk memahami teroris. Menurut Bush, kondisi-kondisi yang memicu munculnya kelompok teroris ini adalah fenomena kemiskinan, korupsi, konflik agama, dan perselisihan etnik.[13] Kelompok teroris memanfaatkan isu-isu tersebut untuk membenarkan tindakan mereka. Teror bagi Bush adalah: "a legitimate means to address such conditions and effect political change is a fundamental enabling terrorism to developed and grow."[14]
Dengan demikian, menjadi tugas para sarjana untuk mencari alasan, mengapa muncul kelompok teroris dalam Islam. Karena, sampai sekarang ini, diskusi secara filosofis tentang teroris memang belum menemukan satu titik temu yaitu apa, mengapa dan bagaimana terorisme muncul dalam Islam. Yang tampak selama ini, kajian tentang tero-ris cenderung sangat simplistik atau mengandung bias kepentingan pengkaji. Dengan kata lain, sebab-sebab ke-lompok Islam melakukan penyerangan kepada Barat, khususnya Amerika, harus dipandang sebagai reaksi terhadap perilaku Barat (Amerika) terhadap umat Islam. Mungkin ada baiknya, kita perhatikan pernyataan Jervis ketika dia mengatakan: "Perhaps if their countries were remodeled along Western line, terrorism would eventually subside."[15] Dari sini hampir semua negara yang memilih ikut model Barat, selalu mendapat tantangan dari rakyatnya. Tidak hanya di situ, negara-negara tersebut selalu terjadi konflik baik antara rakyat dengan penguasa, maupun rakyat dengan "tradisi Barat". Karenanya teroris tidak jarang menjadi benih-benih munculnya ketegangan antara Islam dan Barat. Umat Islam dipaksakan untuk mengikuti Barat, namun Barat sendiri tidak berusaha untuk "memahami" Islam sebagai sebuah agama yang mempunyai standar sendiri yaitu al-Qur'an dan al-Sunah.
Selanjutnya, Bush mengatakan bahwa pra-perang dingin, Amerika telah berusaha sekuat tenaga untuk membabat habis organisasi teroris. Namun, dari beberapa nama organisasi yang disebutkan,[16] tidak satu pun yang mengarah pada gerakan Islam sebagai salah satu jaringan teroris yang membahayakan bagi Amerika. Bush dalam hal ini menandaskan bahwa paska-perang dingin, jaringan teroris mulai melibatkan kelompok-kelompok garis keras dari umat Islam. Untuk membenarkan asumsinya tersebut, Bush terlebih dahulu menjelaskan pada era pasca perang dingin, teroris mulai memanfaatkan kemajuan teknologi dalam melancarkan aksinya. Dalam bahasa Bush:
With the end of the Cold War, we ... saw dramatic improvements in the ease of transnational communication, commerce, and travels. Unfortunately, the terrorist adapted to this new international envi-ronment and turned the advances of the 20th century into the destructive enablers of the 21st century. [17]
Apa yang menarik dari pidato Bush di atas adalah bahwa gerakan Islam sebenarnya belum begitu membahayakan bagi Amerika. Sebab, pada dasarnya, hubungan kelompok-kelompok ini dengan Amerika terjalin secara harmonis. Hal ini ditandai dengan banyaknya para teroris ini yang menyimpan uang mereka di bank-bank Amerika Serikat dan banyaknya organisasi para teroris yang menjalankan aktivitas mereka di beberapa kota Amerika.[18] Namun dalam perkembangannya, gerakan terorisme bergerak dan menggunakan kecanggihan teknologi. Jaringan terorisme yang sering dituduh Amerika menggunakan kecanggihan teknologi ini adalah jaringan Al-Qaidah. Menurut Bush, "Al-Qaeda exemplies how terrorist networks have twisted the benefits and conveniences of our increasingly open, integrated, and modernized world to serve their destructive agenda."[19] Dalam konteks ini, Bush ternyata ingin menampakkan bahwa kemajuan yang dialami oleh jaringan Al-Qaidah merupakan hasil dari penggunaan kemajuan yang telah dihasilkan oleh Amerika.
Dengan demikian, apa yang dikampanyekan Bush, ternyata sama dengan apa yang pernah disampaikan oleh John Foster Dulles pada masa permulaan Perang Dingin 1950-an. Untuk mempertegas posisi Amerika yang sedang memusuhi Sovyet, John mengatakan bahwa: "to all the Asian and African countries that there are only two alternative either they going to join Washington, or they join Moscow. [20] Karena itu, cara yang digunakan Amerika saat permulaan Perang Dingin hampir sama dengan yang dilakukan saat sekarang ketika menggulirkan isu-isu terorisme.
Sementara itu, the most wanted man in the World yaitu Usamah bin Ladin sendiri bukanlah orang asing bagi Amerika, terutama CIA. Sebab, Usamah bin Ladin merupakan keturunan orang-orang terkaya di Saudi Arabia dan sebagian uang orang terkaya di Arab, disimpan di bank-bank di Amerika. Belum lagi, CIA "estimates his family's worth to be $ 5 billion, of which bin Ladin can access roughly $ 300 million."[21] Jika demikian, harus diakui bahwa sepanjang beberapa dekade, hubungan Arab Saudi dengan Amerika, cukup harmonis. Bahkan Arab Saudi sendiri, memberikan kesempatan bagi tentara Amerika untuk mendirikan pangkalan militer di kawasan tersebut. Hubungan ini, baru sedikit renggang setelah tragedi 11 September 2001. Namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hubungan tersebut "renggang" sejak Bush mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat.[22] Apa yang ingin dikatakan adalah, Bush berikut aparat pemerin-tahnya sudah mengetahui "keberadaan" Usamah bin Ladin. Namun, karena intrik politik di Amerika dan kepentingan minyaknya, Ladin dijadikan sebagai sasaran atas nama teroris. Dan, hal ini dimenangkan oleh Amerika ketika mereka berhasil menggantikan pemerintahan Taliban atas nama teroris dan mencari Usamah bin Ladin. Namun demi-kian, sampai sekarang ini, Usamah bin Ladin belum dapat ditangkap.
KONTEKS HISTORIS GEJALA RADIKALISME DI INDONESIA
Gejala Islam Radikal di Indonesia memang bukan "gejala baru," sebab gerakan ini mempunyai ikatan historis Muslim di negeri ini. Karenanya, persoalan terorisme dengan Islam Radikal tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini, terdapat beberapa gejala kemunculan radikalisme di kalangan umat Islam. Pertama, akibat kekecewaan politik pada persoalan "Piagam Jakarta" yang tidak berhasil dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. Sebagai akibatnya, banyak gerakan-gerakan Islam sayap ekstrim di Indonesia melakukan demonstrasi, menentang pemerintah berkuasa. Sejak awal Orde Lama, kelompok ini memang melakukan deal-deal politik untuk menjadikan Indonesia sebagai nega-ra Islam. Bahkan tidak hanya itu, mereka juga melancarkan aksi pemberontakan terhadap pemerintah RI.
Pada awalnya, kelompok yang terlibat dalam perdebatan "Piagam Jakarta" menerima secara terbuka pancasila sebagai dasar negara. Mereka semua bergabung ke dalam partai Masyumi, seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Zainal Abidin Ahmad dan Moehammad Roem. Mereka juga menyatakan bahwa suatu negara akan bersifat Islam bukan karena secara formal disebut "Negara Islam" atau pun "berdasarkan Islam", tapi negara itu disusun "sesuai dengan ajaran-ajaran Islam" baik dalam teori maupun dalam prakteknya.[23] Namun pernyataan ini agak berbeda dengan kelompok Masyumi lainnya, seperti Kartosuwiryo,[24] yang tetap berkeinginan mendirikan Negara Islam. Keinginan tersebut tentu saja memiliki dampak yang cukup serius bagi semangat jihad umat Islam untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia. Sehingga tidak mengejutkan, pada bulan Agustus 1948, tokoh ini memproklamasikan In-donesia sebagai Negara Islam. Gejala ini kemudian melebar ke Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureureh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi. Namun semua aksi tersebut akhirnya gagal, sebab mereka berhasil ditumpas oleh pemerintah Indonesia.
Namun demikian, para pengikut gerakan ini masih "hidup" sampai sekarang. Karena itu, setiap kajian tentang gejala radikalisme di Indonesia, selalu dikaitkan dengan gerakan ala Kartosuwiryo. Inilah salah satu legitimasi historis para peneliti yang "mengklaim" bahwa terdapat gejala radikalisme Islam di Indonesia sangat terkait dengan model perjuangan DI/TII. Bagi pemerintah, DI/TII adalah ancaman kedua setelah komunis. Akan tetapi bagi aktivis negara Islam, perjuangan DI/TII merupakan titik awal perjuangan untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia.[25]
Kedua, akibat perilaku political pressure (tekanan politik) dari rezim Orde Baru. Selama Orde Baru, posisi umat Islam memang tidak menguntungkan secara politik. Dengan kata lain, umat Islam dipandang sebagai ancaman serius yang akan mengganggu stabilitas politik. Karena itu, pemerintah menyumbat kran-kran politik umat Islam, de-ngan melakukan depolitisasi dan pemberlakuan asas tunggal secara sepihak yang cenderung "dipaksakan" dengan konsekuensi harus mendekam di bui.[26] Kelompok ini, pada era Orde Baru memang banyak mengisi penjara atau lari ke luar negeri. Selama dalam penjara, semangat untuk "melawan" rezim tidak pernah padam.
Kelompok ini dapat dilihat dari agenda dalam upaya menggantikan asas Pancasila dan mendirikan negara Islam.[27] Agenda ini hampir memiliki kesamaan dengan kelompok pertama, namun kelompok yang terakhir ini tidak memiliki ikatan historis apa pun dengan gerakan DI/TII. Mereka hanya muncul sebagai akibat tekanan politik pemerintah yang menjadikan mereka sebagai tahanan politik. Dengan kata lain, mereka muncul ke permukaan kembali setelah keluar penjara dan meneruskan perjuangan mereka yang "gagal" pada era reformasi. Adapun bagi mereka yang pernah ke luar negeri, seperti Abu Bakar Ba'asyir yang per-nah di Malaysia, pulang ke Indonesia berkeinginan meneruskan agenda-agenda yang tercecer saat pelarian ke negeri jiran, Malaysia.[28] Setelah pulang ke Indonesia, mere-ka menempati pos-pos penting dalam rangka menjalankan misinya, yaitu mendirikan Negara Islam, penggantian asas tunggal, dan pemberlakuan syari'at Islam.
Ketiga, kelompok bentukan "aparat" pemerintah Indonesia.[29] Kelompok ini memang menjadi "rahasia umum" di kalangan pemerhati konflik di Indonesia. Sebab, tidak sedikit peran "aparat" dalam membentuk kelompok Islam radikal, di mana mereka hanya mengendalikan beberapa petinggi saja, terutama dalam menyediakan pelatih untuk latihan kemiliteran. Selama ini, isu ini berkembang seperti snow ball, yaitu masing-masing kelompok menampik bahwa memiliki hubungan khusus satu sama lain. Namun dalam beberapa hal, kelompok Islam ini memang dilibatkan seperti dengan diberikan kemudahan akses ke lokasi konflik. Teori yang cocok untuk kasus ini adalah seperti yang terjadi di Maluku, sebagaimana ditegaskan oleh Karel Steenbrink:
"It seems that the conflicts in Indonesia only were reinforced by some outside activists like the Laskar Jihad on the Muslim side and RMS fighters for a free Moluccan Republic on the Christian side, but they did not start the tragedy. [30]
Jadi, konflik yang melibatkan kelompok Islam Radikal ini adalah karena adanya alasan yang sama sekali tidak melibatkan mereka. Atas dasar lain berupa 'agama', kelompok ini akhirnya datang ke kawasan konflik untuk 'membela' umat Islam yang ditindas. Namun demikian, akses serta persiapan dan perlengkapan mereka ke kawa-san konflik, sama sekali tidak "ada", jika tanpa ada "dukungan" dari aparat keamanan. Oleh karena itu, kemunculan kelompok Islam radikal, sedikit banyak, dipicu oleh perilaku aparat, yakni "dibentuk", "dimanfaatkan", "ditangkap", dan akhirnya "dibubarkan".
Keempat, kelompok yang terinspirasi dari gerakan Revolusi Iran pada tahun 1979 dan gerakan Islam Timur Tengah. Gerakan ini memang sedikit banyak mempengaruhi wacana pergerakan Islam di Indonesia.[31] Keberhasilan Revolusi Iran dan gerakan Islam Timur Tengah (Al-Ikhwan Al-Muslimun Mesir dan Jamat-i-Islami Pakistan) dalam memobilisasi massa untuk menentang pemerintah setempat, ternyata memberikan semacam conceptual framework bagi aktivis Islam di Indonesia.[32] Revolusi negeri kaum Mullah ini mengukuhkan kemenangan ideologi dan doktrin partikularitas yang secara "fundamentalists", khususnya berkaitan dengan isu kebangkitan Islam kontemporer vis a vis kekuasaan politik sekuler.[33]
Model ini memang sering diadopsi oleh kalangan kampus, ketimbang luar kampus. Akan tetapi, sering juga menjadi acuan bagi kalangan non-kampus yang mempelajari Islam melalui karya think thank gerakan ini, seperti Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb. Kelompok ini secara konstan menganggap bahwa ideologi yang dikembangkan oleh kelompok "Islam Kanan" ini merupakan jalan terbaik untuk merubah nasib bangsa Indonesia. Pada saat yang sama, kelompok ini menjadi semacam kekuatan sosio-politik baru dalam percaturan konstelasi Islam Politik di Indonesia.
Kelima, faktor model pembelajaran Islam ala kampus sekuler. Sejauh ini, gejala Islam radikal atau yang sering disamakan dengan fundamentalisme Islam, memang banyak bermunculan dari kampus sekuler (Perguruan Tinggi Umum). Hal ini setidaknya dipicu oleh pemikiran sekuler yang berkembang di kampus Islam (baca: IAIN), yang dimotori oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid.[34] Karena itu, para aktivis Islam yang belajar di kampus sekuler, menginginkan adanya proses pembelajaran yang benar-benar "Islami". Dengan kata lain, mereka merujuk apa yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu membentuk halaqah, harakah, liqa, daurah, rihlah, dan lain sebagainya.
Di samping itu, pengaruh al-Ikhwan al-Muslimun, di kalangan mahasiswa di kampus sekuler juga sangat dominan. Martin van Bruinessen menyebutkan bahwa:
"One network of discussion circles in fact named itself al-Ikhwan al-Muslimun and presently claims to be Indonesian branch of the Brotherhood. The movement of the 1980s and early 1990s appears to have been less unitary and coherent than this claim suggests. It appears that various groups were influenced by the Brotherhood independently of one another and through different channels. The Brother-hood's influence was mostly mediated through its literature, but there were also some personal con-tacts through international Muslim youth organiza-tions". [35]
Fenomena ini memang sudah begitu menggejala sejak Orde Baru. Kelompok ini memang tidak melakukan aksi-aksi mengkhawatirkan, namun ada beberapa eksponen dari kelompok ini yang bergabung dengan kelompok Islam Kanan dan terlibat dalam organisasi Islam Radikal.[36] Dalam kesehariannya, kelompok mahasiswa dari kampus sekuler ini, memang agak sedikit berbeda, sehingga agak sulit menerima sesuatu "yang berbeda dengan mereka". Karena itu, seolah tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk orang lain di luar kelompok mereka. Kohesivitas sosial ini membentuk semacam paguyuban (gemaninschaft) di antara sesama mereka.[37]
Implikasi dari kelompok ini memang menjadi menyebar pada tiga saluran yang agak mirip secara ideologi, namun berbeda dalam bidang aksi. Pertama, mereka yang masih bertahan dalam paguyuban ini, secara nominal, melakukan aksi dalam organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).[38] Kedua adalah melalui partai politik, yakni Partai Keadilan Sejahtera. Partai ini memang telah mengukir sejarah dalam pentas politik Indonesia dimana dicap sebagai partai paling "herein". Dan uniknya, partai ini juga telah mengalami transformasi dan telah "membuka diri" ke tengah-tengah publik.[39] Ketiga adalah mereka yang langsung bergabung dengan organisasi Islam seperti MMI, Lasykar Jihad, dan lain sebagainya. Mereka terlibat langsung dalam medan peperangan di Maluku dan Ambon.[40]
Keenam, kelompok dari pesantren. Munculnya asumsi yang mengatakan bahwa pesantren sebagai basis terorisme saat dimunculkan isu bahwa pesantren Ngruki merupakan salah satu basis Al-Jama'ah al-Islamiyyah. Demikian pula, beberapa pelaku pemboman Bali, juga melibatkan mereka yang pernah belajar di pesantren. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian Amerika Serikat mulai membidik pesantren sebagai basis terorisme di Indonesia. Dalam hal ini, salah satu yang paling dibidik adalah kurikulum pesantren dan bagaimana pola pengajaran di pesantren itu sendiri.
Setidaknya, ada tiga pesantren yang sering disebut-sebut dalam diskursus Islam radikal di Indonesia, yakni Pesantren Ngruki di Surakarta, Al-Zaytun di Indramayu, dan Pesantren Al-Islam di Tenggulun Solokuro Lamongan.[41] Dari pesantren-pesantren tersebut, diduga menghasilkan ide-ide untuk mendirikan Negara Islam, pemberlakuan syari'at Islam, dan juga mengkampanyekan anti-Amerika. Karena itu, bibit dan benih radikalisme semakin memperpanjang sejarah Islam di Indonesia, melalui keberadaan dan keterlibatan pesantren. Setidaknya adalah beberapa model bagaimana aksi terorisme muncul di pesantren. Pertama, mereka direkrut oleh para aktivis pesantren untuk ikut ajaran yang diterapkan oleh pesantren tersebut, kemudian mereka dicoba "cuci otak", bahkan tidak jarang, aktivitas ini membidik kalangan mahasiswa seperti yang dilakukan oleh Pesantren Al-Zaytun di Kampus IPB.[42] Kedua, para alumni pesantren direkrut untuk ikut perang di Afghanistan berjuang bersama Mujahidin melawan Uni Sovyet. Belakangan beberapa aktifis Al-Jama'ah Al-Islamiyah atau yang punya kaitan dengan Al-Qa'idah ternyata pernah mengenyam pendidikan di Pesantren Ngruki, Solo.[43] Ketiga, mereka yang pernah mencicipi dunia pesantren juga memiliki ketrampilan dalam merakit bom dengan daya ledak yang dahsyat. Dalam hal ini, pelaku bom Bali yang di-suspect merupakan alumni atau pernah tinggal di Pesantren Al-Islam, milik Ali Imron.
Hal ini pada hakikatnya keterlibatan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah berkembang di Timur Tengah. Dalam konteks ini, Jamal Malik menuturkan bahwa:
"Considerable criticism has been directed towards traditional Islamic educational institutions, the madrasas, as breeding grounds of militant Islam and training camps for jihad. The powerful perception of the supposedly unilateral inter-relatedness between these religious schools and jihad, between mullahs and violence, produced and perpuated fear in the public mind in the West." [44]
Ketujuh, akibat sentimen agama. Penyebab ini memang sangat mendominasi lahirnya radikalisme dan terorisme. Sentimen agama di Indonesia merupakan warisan penjajahan kolonial,[45] dimana mereka telah menggantikan sosial politik umat Islam yang berlandaskan pada ajaran Islam,[46] dengan hukum kolonial yang ala kontinental. Secara luas pula, sentimen agama juga muncul dari pengaruh luar negeri, yang memandang bahwa selain kelompok Islam harus diperangi dan dicurigai. [47] Salah satu alasan yang paling dominan adalah isu kristenisasi, sebagaimana yang terjadi di dalam kasus Poso dan Maluku.[48] Karena dalih mempertahankan harkat dan martabat, maka kelompok ini secara bergelombang datang ke daerah tersebut.
Kedelapan, sebagai bagian dari organisasi trans-nasional Islam. Persoalan organisasi transnasional Islam memang telah lama menjadi perhatian para sarjana yang mendalami gerakan Islam di berbagai negara. Organisasi transnasional ini memang nampak berdiaspora secara besar-besaran. Sebelum isu teroris mencuat, beberapa organisasi transnasional Islam lebih banyak berkiprah dalam persoalan dakwah, seperti Ahmadiyyah di India, Darul Arqam di Malaysia, Hizbu al-Da'watil Islamiyyah di Iraq, Jamaat Islami di India dan Pakistan, Jama'at al-Ikhwan al-Muslimln di Mesir, Jam'iyat al-Da'wah al-Islamiyya di Libya, al-Majlisul Ala Shu'unil Islamiyyah di Mesir, dan Rabitatul 'Alamil Islami di Saudi Arabia.[49] Organisasi-organisasi tersebut memiliki jaringan yang sangat kuat, bahkan di negara maju, mereka mempunyai perwakilan. Tidak hanya itu, dukungan ekonomi juga ikut menopang organisasi dalam pentas internasional.
Akan halnya dengan radikalisme dan terorisme, tampaknya Indonesia juga memiliki hubungan yang sangat terkait dengan jaringan terorisme internasional. Dalam hal ini, ada laporan yang menyebutkan bahwa dari delapan faksi jaringan Darul Islam, disebutkan bahwa "approxi-mately 15.000 Indonesians who returned from Afghanistan after fighting alongside the mujahedeen against the Soviet Union.[50] Karena dapat diduga kuat bahwa kelompok mujahedeen inilah kemudian yang berangkat ke Maluku untuk melakukan jihad. Demikian pula, dalam persoalan jaringan teroris antara Al-Qa'idah dengan Al-Jama'ah Al-Islamiyyah membuktikan betapa kelompok teroris ini telah memiliki jaringan yang bersifat transnasional. Bahkan mereka telah memiliki pos-pos penting yang dapat membantu perjuangannya.
Kesembilan, kelompok yang "dimanfaatkan" untuk mengatasi konflik dengan konflik. Pendapat ini ingin menegaskan bahwa konflik yang melibatkan aksi terorisme merupakan anti-tesa terhadap konflik lain yang muncul di Indonesia yang mengatas namakan agama atau isu-isu lainnya. Lebih khusus lagi, kelompok ini memang disusupkan untuk melakukan berbagai aksi teror untuk menjebak kelompok lain, sebagai sasaran yang ingin ditangkap. Dalam konteks ini, peran intelijen memang sangat dibutuhkan untuk bagaimana merekayasa sebuah konflik, atas kelompok yang ditangkap "terpancing" untuk melakukan aksi teror. Di Indonesia model ini memang tidak kelihatan secara kasat mata atau tampak ke permukaan. Biasa istilah yang lazim muncul adalah provokator atau "tokoh dibelakang layar." Namun, dalam hal ini, peran negara, apakah itu disengaja maupun tidak, adalah begitu dominan dalam membuat manajemen konflik.
Pada era reformasi, terjadi berbagai aksi teror di beberapa tempat di Indonesia, kadang sering dikaitkan dengan agama, kendati sebab dan akibatnya tidak ada hubungannya dengan agama.[51] Namun implikasi terhadap aksi radikalisme atau terorisme tidak dapat diabaikan. Disinilah muncul kelompok-kelompok yang ingin tampil ke depan untuk membela agama, karena "konflik yang tidak jelas itu." Dalam situasi seperti ini, massa sangat mudah untuk dimobilisasi melakukan berbagai aksi kekerasan, pada sebab dan akibat konflik yang pertama tidak ada kaitannya dengan kelompok ini. Salah satu contoh yang paling dominan adalah tragedi Ambon atau Poso, dimana kasus agama mencuat saat massa sudah berkumpul, dan saat itu pula mereka "menjalankan hukum sendiri". Pada saat yang sama, kelompok yang memandang hal itu sebagai bentuk penindasan, tampil ke depan untuk membela kelompok yang teraniaya dengan dalih agama.[52]
Kesepuluh, akibat dari pemahaman Islam antara kelompok yang memahami Islam secara liberal dan literal. Sebab terakhir ini memang sering terjadi, di mana aksi teror dilakukan terhadap kelompok yang dipandang "telah keluar dari agama Islam," sehingga wajib hukum untuk "memperbaiki". Pada gilirannya, aksi ancam dan teror merupakan salah cara dalam rangka meluruskan pemikiran tersebut. Di Indonesia, hal ini sering sekali terjadi dalam kehidupan masyarakat. Karena hanya perbedaan pandangan dalam memahami Islam, aksi teror merupakan hal yang wajar.
Dalam konteks ini, pendekatan dan metodologi dalam Islam menjadi penyebab utama munculnya berbagai aksi teror. Fenomena ini memang sering terjadi dalam lintasan sejarah umat Islam, di mana karena hanya perbedaan pendapat, terkadang harus "diselesaikan" dengan aksi-aksi teror. Konsep yang muncul dalam studi Islam sering memicu perdebatan yang pada akhirnya menjadi semacam bola salju untuk dijadikan bahan konflik.[53] Karena itu, di Indonesia hal seperti ini sering memicu konflik di tengah-tengah umat Islam. Isu-isu klasik seperti; jihad, qisas, syari'at, dan daulah, dan lain sebagainya, sering menjadi penyebab munculnya konflik di tengah-tengah umat, apalagi, jika konsep-konsep tersebut dijadikan sebagai agenda perjuangan.
Akhirnya untuk menggambarkan bagaimana akar radikalisme Islam di Indonesia, maka berikut mapping untuk tidak mengatakan bahwa, masing-masing faktor tersebut terkadang saling memiliki koneksi dan relasi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
MEMBUMIKAN TERORISME DI INDONESIA: KONTRIBUSI SIDNEY JONES DAN ICG
Tidak banyak yang mengetahui sepak terjang wanita yang lahir 31 Mei 1952 pada era Orde Baru. Sebab, Sidney Jones baru dikenal oleh publik Indonesia pada tahun 2002 melalui artikelnya yang berjudul "Al-Qa'idah in Southeast Asia: The Case of the "Ngruki Network" in Indonesia." Sebelumnya, wanita ini memang pernah sangat akrab dengan Indonesia ketika menjadi aktivis LSM terkemuka seperti Ford Foundation (1977-1984), Amnesty Internatio-nal (1984-1988), Direktur Divisi Asia Human Rights Wacth (1989-2002), dan sekarang ini mejabat Direktur Indonesia International Crisis Group (Mei 2002 hingga sekarang). Jadi, hampir dapat dipastikan, 20 tahun lebih, Sidney mengenal Indonesia. Jadi, sebagai peneliti yang banyak "asam garam" dengan Orde Baru, Sidney telah mampu merekam apa saja yang terjadi selama 20 tahun yang terkait dengan berbagai isu seputar Tapol, Pelanggaran HAM, dan isu-isu lain yang merupakan "makanan" kelompok LSM.
Adapun studinya dimulai dari Oriental Studies and International Relations dari Universitas Pennsylvania dan setahun di Universitas Pahlevi di Shiraz, Iran. Namun belakangan ada informasi yang mengatakan bahwa Sidney merupakan kandidat doktor yang tidak selesai di Cornell University yang mengkonsentrasikan pada penelitian lapangan tentang NU di Jawa Timur.[54] Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian terdapat artikel substantif Sidney tentang NU yang dipublikasikan dalam jurnal di Cornell University, Indonesia.[55] Selain itu, karya Sidney banyak terkait dengan dunia ke-LSM-an, yaitu laporan atau opini seputar isu pelanggaran HAM dan terorisme di Indonesia. Karena itu, Sidney sering menjadi komentator di televisi dan radio untuk isu-isu yang berkembang di Asia.
Kenapa Sidney hapal betul dengan jaringan teroris di Indonesia? Pertanyaan ini tampaknya tidak begitu sulit untuk dijawab. Pertama, selama Orde Baru Sidney memang termasuk aktivis LSM yang mengurusi Tahanan Politik yang berseberangan secara ideologis dengan pemerintah. Biasanya, mereka yang dari LSM mendapat akses baik secara legal maupun ilegal mengenai aktivitas mereka di Indonesia. Harus diakui, selama Orde Baru, Sidney me-mang terlibat aktif dalam mengurusi Tapol tersebut. Karenanya, Sidney memang pernah akrab dengan kelompok yang anti Pancasila. Dan, sebagaimana diketahui, kelom-pok ini memang berasal dari mereka yang sekarang dicap oleh Sidney sebagai anggota Al-Jama'ah Al-Islamiyah di Asia Tenggara.[56]
Paling tidak, pada era Orde Baru telah menyebabkan aktivitas LSM merupakan "kekuatan ketiga" dalam segala lini kehidupan bangsa. Mereka merupakan "pahlawan" bagi yang tertindas. Secara teoritik, kelompok yang tertindas selama Orde Baru kebanyakan dari kelompok Islam yang menginginkan pendirian negara Islam atau hendak "menghidupkan" kembali Piagam Jakarta. Karena itu, melalui Undang-Undang Anti-Subversif, mereka dijerat/diseret ke pengadilan. Tidak sedikit tokoh Islam radikal sekarang adalah mereka yang pernah dijebloskan ke dalam penjara karena "berurusan" dengan pemerintah Soeharto. Di sinilah peran aktivis LSM dalam melakukan apa yang sering dikatakan dengan pendampingan (advokasi) terhadap mereka yang sedang menjalani proses hukum.
Kedua, Sidney merupakan aktivis yang cukup rajin melaporkan segala hal sesuatu kepada pemerintah Amerika Serikat. Hampir dapat dipastikan bahwa LSM yang "bekerja" di Indonesia merupakan "kaki tangan" pemerintah Amerika Serikat.[57] Tidak sedikit laporan tersebut menjadi masukan di berbagai bagai badan-badan pemerintahan resmi di Amerika Serikat (misalnya Konggres, FBI, dan CIA). Informasi ini memang telah menjadi bahan tersendiri bagi mereka untuk dijadikan kebijakan terhadap negara yang menjadi objek penelitian. Bahkan baru-baru ini, Sidney sering mengisi forum di Washington D.C membicarakan hal-hal yang terkini terjadi di Aceh.[58]
Sementara itu, jika dilihat dari artikel, laporan, wawancara Sidney, maka setidaknya ada empat hal yang paling sering disorot oleh wanita ini. Pertama, Konflik Aceh. Harus diakui selama ini, LSM asing yang paling getol menyuarakan persoalan Aceh adalah Amnesty International dan Asia Human Rights Watch. Amnesty International, misalnya, pada bulan Agustus 1993, telah menurunkan laporan yang cukup menyentak dunia yaitu informasi Pelanggaran HAM yang dilakukan di Aceh.[59] Saat itu, pers Indonesia belum ada yang berani berbicara seperti Amnesty International, sebab Orde Baru memang melakukan pembatasan terhadap media massa untuk meliput Operasi Jaring Merah. Namun, Amnesty International telah berani menurunkan laporan tersebut, tentu saja, laporan ini "berjalan" dari tangan ke tangan pada kalangan yang terlibat dalam LSM. Kendati tidak disebutkan di situ nama Sidney, akan tetapi, jika dibandingkan dengan model laporan Agustus 2003, maka sedikit banyak Sidney berperan dalam penyusunan laporan tersebut. Atau, pernah memberikan data tentang hal tersebut. Begitu juga, ketika menjabat Asia Human Rights Watch, Sidney sangat intens menulis tentang Aceh. Bahkan dalam laporan sebagai direktur divisi ini, pada tahun 1994, Sidney telah melaporkan bagaimana kondisi Aceh. Hal ini pun tetap dilaku-kan oleh Sidney pada tahun 1999 dan sampai sekarang, baik sebagai direktur Asia Human Rights Watch dan wakil ICG di Indonesia, perhatian Sidney terhadap kasus Aceh tidak pernah luput.[60]
Kedua, persoalan terorisme di Indonesia. Dalam hal ini, Sidney memang wanita paling terdepan dalam mengkaji terorisme di Indonesia dengan tesis bahwa terdapat jaringan terorisme di Indonesia dipimpin oleh Abu Bakar Ba'asyir melalui pesantren Ngruki. Dalam berbagai kesempatan, Sidney telah bersikukuh bahwa pelaku pemboman di berbagai tempat di Indonesia adalah dilakukan oleh kelompok Ba'asyir yang merupakan sel dari jaringan Al-Qa'idah. Selama menjadi Direktur Indonesia International Crisis Group, Sidney memang secara terus-menerus "membumikan" tesis ini, yang dimulai dengan artikel "Al-Qa'idah in Southeast Asia: The Case of the "Ngruki Network" in Indonesia." Bahkan, setelah menerbitkan artikel tersebut, pada 12 Desember 2002, ICG Jakarta kembali menurunkan laporan tentang "Indonesia Back-grounder: How The Jamaah Islamiyah Terrorist Networks Operated." Dan tidak sedikit artikel Sidney yang mengupas persoalan ini secara telegrafik dan "meyakinkan".
Ketiga, persoalan militer di Indonesia. Sejauh ini, perhatian Sidney terhadap persoalan militer di Indonesia memang cukup mengesankan. Selain, sebagaimana disebutkan di atas, pengalamannya selama Orde Baru, mendampingi Tapol dan pelanggaran HAM di berbagai kawasan konflik di Indonesia. Lebih dari itu, persoalan militer di In-donesia memang selalu dikaitkan dengan dua hal yang ditekuni oleh Sidney di atas. Karena itu, tidak mengherankan jika mendapati artikel tentang hal tersebut, maka persoalan militer selalu disinggung.[61] Namun uniknya, belakangan ini, Sidney malah "bekerjasama" dengan aparat kepolisian dalam memberikan informasi tentang terorisme di Indonesia, kendati dia sering memutar balikkan fakta "kerja sama ini".[62]
Keempat, persoalan sosial politik bangsa Indonesia yang menyebabkan konflik di negara ini. Hampir semua peneliti asing, tidak terkecuali Sidney, selalu mempunyai bekal pemahaman sosial politik Indonesia. Sebab, tanpa memahami persoalan ini, maka sulit bagi mereka untuk masuk ke jantung masalah yang akan mereka bidik. Karena itu, Sidney tidak dapat mengabaikan persoalan sosial politik, seperti KKN, perilaku pejabat negara dan persoalan lainnya, untuk dijadikan sebagai "kacamata" untuk melihat konflik di Indonesia. Dalam beberapa pandangan Sidney tentang persoalan krisis di Indonesia, dia selalu mengaitkan "apa yang terjadi" di Jakarta.
Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu digaris-bawahi. Pertama, Sidney adalah salah seorang aktivis yang menerapkan "standar ganda" seperti yang sering dilakukan oleh Amerika terhadap aktivis garis keras di Timur Tengah. Hal ini setidaknya, tampak, kalau pada Orde Baru, para Tapol ini dibantu untuk dihargai hak-haknya, namun sejak Orde Reformasi, seiring dengan perguliran wacana terorisme, kelompok yang dibantu Sidney ini akhirnya dijebak melalui berbagai teori untuk menempatkan mereka, bukan hanya bagi musuh Indonesia, tetapi musuh dunia, khususnya Amerika Serikat.
Kedua, peran Sidney dalam "membumikan" wacana terorisme di Indonesia cukup signifikan. Hal ini setidaknya dapat dilihat cara apa dan bagaimana dia menyajikan data-data yang berhubungan dengan terorisme di negeri ini. Hampir dapat dikatakan, belum ada sejenis "laporan tandingan" yang mengupas lebih jauh tesis-tesis Sidney ini. Hampir semua media larut dengan tesis Sidney ini, dan seolah-olah tesis tersebut harus dijadikan sebagai referensi utama dalam melihat persoalan terorisme di Indonesia. Keterkaguman ini menyebabkan wacana terorisme, seakan-akan, hanya melalui "corong" Sidney saja.
Ketiga, bidikan-bidikan Sidney terhadap persoalan di Indonesia ternyata sedikit banyak menciptakan image negatif Indonesia di muka internasional. Hal ini tentu saja memberikan implikasi yang cukup "mengkhawatirkan" mengingat laporan Sidney dikonsumsi secara internasional dan terutama menjadi "masukan" bagi pemerintah Amerika Serikat. Tanpa disadari, model ini memang pernah dilakukan oleh beberapa sarjana asing dalam mensosialisasikan hasil riset mereka.
Sementara itu, International Crisis Group (ICG) merupakan sebuah organisasi non-profit multinasional yang independen dengan mempekerjakan lebih dari 90 staff di lima benua melalui riset lapangan dan advokasi tingkat tinggi untuk mencegah dan menyelesaikan konflik berbahaya. Karena itu, organisasi ini bersifat multinasional, sebab dia memiliki beberapa perwakilan di hampir 30 negara dengan kantor pusat di Belgia serta kantor-kantor advokasi tersebar di Washington DC, New York, Moscow dan Paris serta kantor urusan media di London.
ICG pada saat ini mengoperasikan tiga belas kantor cabang (Amman, Belgrade, Bogota, Cairo, Freetown, Islamabad, Jakarta, Kathmandu, Nairobi, Osh, Pristina, Sarajevo dan Tbilisi) dengan para analis yang bekerja di lebih dari 30 negara dan daerah krisis di empat benua. Di Afrika, negara-negara tersebut meliputi Burundi, Rwanda, Republik Demokratik Congo, Sierra Leone-Liberia-Guinea, Ethiopia, Eritrea, Somalia, Sudan, Uganda dan Zimbabwe; di Asia, Indonesia, Myanmar, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Pakistan, Afghanistan dan Kashmir; di Eropa, Albania, Bosnia, Georgia, Kosovo, Macedonia, Montenegro, dan Serbia; di Timur Tengah, seluruh bagian Afrika Utara sampai ke Iran; dan di Amerika Latin, Colombia.
ICG mendapatkan dukungan dana dari pemerintah, yayasan amal, perusahaan dan donor individual. Negara-negara yang pada saat ini turut menyediakan dana antara lain: Australia, Austria, Canada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Irlandia, Jepang, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, Swiss, Republik Rakyat Cina (Taiwan), Turki, Inggris dan Amerika Serikat. Sumbangan dari yayasan dan donor swasta meliputi Atlantic Philanthropies, Carnegie Corporation of New York, Ford Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation, William & Flora Hewlett Foundation, Henry Luce Foundation, John D. & Catherine T. Mac Arthur Foundation, John Merck Fund, Charles Stewart Mott Foundation, Open Society Institute, Ploughshares Fund, Sigrid Rausing Trust, Sasakawa Peace Foundation, Sarlo Foundation of the Jewish Community Endowment Fund, the United States Institute of Peace dan The Fundacao Oriente.
Dewan ICG yang di dalamnya termasuk tokoh-tokoh penting dari berbagai bidang politik, diplomasi, bisnis dan media terlibat secara langsung dalam membantu agar laporan dan rekomendasi ICG mendapat perhatian dari para pembuat kebijakan senior di seluruh dunia. ICG diketuai oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari; sedangkan Presiden dan Direktur Eksekutifnya dijabat oleh mantan Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans sejak Januari 2000.[63]
Adapun susunan lengkap dewan ICG adalah sebagai berikut: ketua ICG Martti Ahtisaari, (Mantan Presiden Finlandia), Wakil Ketua Stephen Solarz (Mantan Anggota Konggres Amerika Serikat), Wakil Ketua Maria Livanos Cattaui, Presiden dan Direktur Eksekutif ICG Gareth Evans (Mantan Menteri Luar Negeri Australia). Sedangkan Dewan ICG adalah: S. Daniel Abraham (Ketua Center for Middle East Peace and Economic Cooperation, Amerika Serikat); Morton Abramowitz (Mantan Asisten Sekretaris Negara Amerika Serikat dan Duta Besar Amerika untuk Turkey); Kenneth Adelman (Mantan Duta Besar dan Direktur the Arms Control and Disarmament Agency Amerika Serikat); Saud Nasir Al-Sabah (Mantan Duta Besar Kuwaiti Untuk Inggris dan Amerika Serikat dan Menteri Infomasi dan Perminyakan Kuwait); Richard Alien (Mantan Penasihat Keamanan Negara Presiden Amerika Serikat); Louise Arbour (Jaksa Agung Canada, dan Mantan Former Chief Prosecutor, International Criminal Tribunal for former Yugoslavia); Oscar Arias Sanchez (Mantan Presiden Costa Rica dan Penerima Nobel Perdamaian tahun 1987); Ersin Arioglu (Anggota Parlimen Turkey, dan Ketua Yapi Merkezi Group); Emma Bonino (Anggota Parlemen Masyarakat Eropa dan Mantan Komisioner Masyarakat Eropa); Zbigniew Brzezinski (Mantan Penasihat Keamanan Nasional Presiden Amerika Serikat); Cheryl Carolus (Mantan Komisi Tinggi Afrika Selatan untuk Kerajaan Inggris dan Mantan Sekretaris Jendral ANC); Jorge Castaeda (Mantan Menteri Luar Negeri Mexico); Victor Chu (Ketua First Eastern Investment Group, Hong Kong); Wesley Clark (Mantan NATO Supreme Allied Commander, Eropa); Ruth Dreifuss (Mantan Presiden Switzerland); Uffe Ellemann-Jensen (Mantan Menteri Urusan Luar Negeri, Denmark); Mark Eyskens (Mantan Perdana Menteri Belgia); Marika Fahlen (Mantan Duta Swedia untuk Urusan Kemanusiaan dan Direktur Social Mobilization and Strategic Information, UNAIDS); Yoichi Funabashi (Jurnalis dan Penulis, Jepang); Bronislaw Geremek (Mantan Menteri Urusan Luar Negeri Polandia); I. K. Gujral (Mantan Perdana Menteri India); Carla Hills (Mantan U.S. Secretary of Housing dan U.S. Trade Representative); Asma Jahangir (UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions dan Mantan Wakil Komisi HAM Pakistan); Ellen Johnson Sirleaf (Penasihat Senior, Modem Africa Fund Managers dan Mantan Menteri Keuangan Liberia dan Direktur UNDP untuk kawasan Afrika); Mikhail Khodorkovsky (Ketua Kantor Eksekutif, Open Russia Foundation); Wim Kok (Mantan Perdana Menteri Belanda); Elliott F Kulick (Ketua Pegasus International, Amerika Serikat); Joanne Leedom-Ackerman (Novelis dan Jurnalis, Amerika Serikat); Todung Mulya Lubis (Penasihat HAM dan Penulis, Indonesia); Barbara Mc. Dougall (Mantan Sekretaris Negara untuk Urusan Eksternal, Canada); Mo Mowlam (Mantan Sekretaris Negara untuk Irlandia Utara, UK); Ayo Obe (Presiden, Civil Liberties Organisation, Nigeria); Christine Ockrent (Jurnalis dan Penulis Perancis); Friedbert Pfluger (Ketua German Bundestag Committee on EUAffairs); Surin Pitsuwan (Mantan Menteri Luar Negeri, Thailand); Itamar Rabinovich (Presiden Tel Aviv University dan mantan Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat dan Ketua Negosiator dengan Syria); Fidel V. Ramos (Mantan Presiden Philiphina); Mohamed Sahnoun (Penasihat Khusus Sekretaris Jendral PBB untuk Afrika); Salim A. Salim (Mantan Perdana Menteri Tanzania dan Sekretaris Jenderal Organisation of African Unity; Douglas Schoen (Founding Partner of Penn, Schoen & Berland Associates, Amerika Serikat); William Shawcross (Jurnalis dan Penulis, UK), George Soros (Ketua Open Society Institute); Eduardo Stein (Mantan Menteri Urusan Luar Negeri Guatemala); Thorvald Stoltenberg (Mantan Menteri Urusan Luar Negeri Norwegia); William O. Taylor (Ketua Emeritus, The Boston Globe Amerika Serikat); Ed van Thijn (Mantan Netherlands Minister of Interior dan Mayor of Amsterdam); Simone Veil (Mantan Presiden Parlemen Eropa dan Menteri Kesehatan Perancis); Shirley Williams (Mantan Sekretaris Negara untuk Pendidikan dan Sains dan Anggota House of Lords, UK); Jaushieh Joseph Wu (Deputi Sekretaris Jenderal Presiden Taiwan); Grigory Yavlinsky (Ketua Yabloko Party and its Duma faction, Russia); Uta Zapf (Wakil German Bundestag Subcommittee on Disarmament, Arms Control and Non-proliferation); dan George Mitchell (Ketua Emiritus ICG dan Mantan U.S. Senate Majority Leader).
Dari list di atas menunjukkan beberapa hal yang perlu perhatikan. Pertama, hampir semua dewan ICG merupakan nama-nama yang tidak pernah "bermasalah" dengan Amerika Serikat, khususnya dengan CIA dan FBI. Karena itu, tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa dewan ICG memang banyak sekali "warna" Amerikanya. Ini terlihat dari beberapa nama dewan tersebut pernah sebagai Very Important Person di Amerika Serikat. Mereka ada yang pernah berkantor di gedung putih (White House) dan anggota Konggres. Dengan kata lain, mereka pernah terlibat langsung dalam menyusun berbagai kebijakan Amerika Serikat semasa bertengger semasa pemerintah Ronald Reagan dan George Bush. Dalam hal ini, terdapat nama Zbigniew Brzezinski, yang pernah "bernyanyi" dalam salah satu forum, tentang bagaimana Amerika (baca: CIA) melatih kelompok Islam Radikal di perbatasan Pakistan.
Kedua, nama-nama di atas juga menampakkan bagai-mana "memanfaatkan" tokoh penting di negeri berkembang atau dunia ketiga. Kelihatan nama-nama dari negera ber-kembang seperti Surin Pitsuwan, Todung Mulya Lubis, Asma Jahangir yang merupakan corong HAM Barat. Karena itu, reputasi mereka cukup dikenal secara internasional. Demikian pula, mereka juga pernah terlibat aktif dalam menyuarakan HAM di negera mereka sendiri, khususnya Todung dan Asma.
Ketiga, nama-nama dewan ICG juga berasal dari mantan "Orang Pertama" di beberapa negara maju, seperti Mark Eyskens, Salim A. Salim, I.K. Gujral, Wim Kok, Oscar Arias Sanchez, Fidel V. Ramos. Nama-nama ini memang sangat "bersih" bagi Amerika Serikat, kendati di negara mereka sendiri, sering dipermasalahkan, semisal Fidel V. Ramos. Keberadaan mereka tentu saja akan meyakinkan reputasi ICG di mata dunia ketiga, bahwa organisasi ini memang bersifat multinasional. Karena itu, tidak "beralasan" tampaknya untuk mengatakan, bahwa organisasi ini adalah untuk kepentingan Barat semata.
Ketiga, dalam dewan ICG tampak ada nama George Soros, seorang Yahudi yang pernah "mengegerkan" Asia saat terjadi Krisis Moneter pada tahun 1997. Posisi Soros tentu saja akan sangat menguntungkan ICG dari dua hal; untuk mendapatkan dana dari Soros dan mempertimbangkan kepentingan Yahudi di muka bumi ini. Karena itu, riset-riset ICG tidak pernah "membidik" kebijakan Israel di Timur Tengah, seperti yang dilakukan oleh MERIA (Middle East Reviews International Affairs).[64]
Selanjutnya, tulisan ini akan menyoroti beberapa hasil penelitian ICG yang terkait dengan terorisme, di antaranya adalah a) Indonesia: Violence and Radical Muslim, 10 Oktober 2001; b) Al-Qa'idah in Southeast Asia: the case of the "Ngruki Network" in Indonesia; c) Indonesia Back-grounder: How the Jamaah Islamiyah Terrorist Network Operates, 11 Desember 2002; dan d) Jamaah Islamiyah in South East Asia: Damaged but Still Dangerous, 26 Agustus 2003.
INDONESIA: VIOLANCE AND RADICAL MUSLIMS
Artikel ini terbit persis menjelang Bush mengumumkan perang terhadap Afghanistan dengan dalih mencari Usamah bin Ladin dan al-Qa'idah. Hasil penelitian ini setebal 16 halaman, dimulai dengan mengaitkan peristiwa 11 September 2001 dengan Usamah bin Ladin dan jaringan al-Qa'idah. Di sini ICG menuturkan bahwa:
"Informed observers have speculated that al-Qaida has a presence in several Southeast Asian countries, including Malaysia, the Philippines, and Indonesia. At the very least it has been claimed Islamic groups in these countries although the exact nature of these links has not been specified."[65]
Dari pernyataan ini memang mengindikasikan bahwa ICG memang belum mau berspekulasi lebih jauh mengenai keberadaan Al-Qa'idah di Indonesia. Karena itu pula, spekulasi dan minimnya data pada bulan Oktober ini belum begitu mengarah ke Al-Qa'idah atau Al-Jama'ah Al-Islamiyah. Namun ICG tetap memandang bahwa ada gejala kuat terdapatnya Muslim Radikal di Indonesia, setidaknya terlihat dari banyaknya aksi demontrasi yang menentang agresi Amerika ke Afghanistan. Dalam hal ini, ICG menyebutkan bahwa:
"During the weeks before the attacks on Afghanistan, radical Muslim organisations had been rallying their supporters in the streets of Jakarta and other major cities. After the air campaign began, demonstrations became larger and widerspread. The main targets are the American embassy and its consulates where demonstrators, carrying banners with slogans such as 'America is the Great Terrorist' and Usamah My Hero', have burnt the U.S. flag and chanted anti-American slogans. ... some organisations are threatening to carry out what term 'sweeping' of U.S. citizens together with citizens of allied nations. The aim of the 'sweeping' would be to drive such foreigners out of Indonesia".[66]
Sejak awal sudah diduga bahwa aksi Amerika menyerang Afghanistan akan mengundang kemarahan kelompok Islam garis keras di Indonesia. Terlepas bahwa beberapa kalangan umat Islam di Indonesia, tidak mendukung aksi terorisme pada 11 September 2001, namun pada saat yang sama, mereka juga tidak setuju aksi sepihak Amerika menginvansi Afghanistan. Dengan kata lain, the opposi-tion against the U.S. military campaign in Afghanistan was not necessarily a manifestation of their support for Usamah bin Ladin or the Taliban, but more as a reflection of two general perceptions. First, it was believed that ordinary Muslim were ... the victims of U.S. policy. Second, the military attacks on Afghanistan were seen as counter-productive in breach of the principles of humanity.[67]
Dalam konteks ini, tampaknya demontrasi anti-Amerika dapat dipahami atau menjadi alasan utama bahwa di Indonesia tidak semua umat Islam membenci Amerika dan juga tidak semua mendukung aksi terorisme yang diduga dilakukan oleh kelompok Usamah bin Ladin. Namun, kondisi ini memang tidak dibaca oleh ICG sebagai sebuah faktor penyebab kampanye anti-Amerika, namun lebih tertarik untuk mengaitkan aksi Muslim Radikal sebagai bagian dari jaringan terorisme internasional. ICG mengatakan bahwa:
"International concern has been focussed on the possibility that Muslim violence in Indonesia might be associated with terrorist organisations based in the Middle East but so far, at least, there is little firm public evidence to demonstrate such Jinks." [68]
Sebagaimana ditegaskan di atas, bahwa ICG memang belum begitu "yakin" bahwa hubungan langsung antara aksi Muslim Radikal di Indonesia dengan Al-Qa'idah. Selanjutnya, ICG hanya menyoroti beberapa aksi radikalisme yang terjadi selama paska-reformasi (1998), kendati "it is not only explicitly Muslims groups that have been responsible for growing violence." [69]
Selanjutnya, artikel dilanjutkan melalui tiga hal penting yaitu: kekerasan agama di Indonesia; kelompok minoritas radikal, mainstream kelompok Muslim moderat; dan kesimpulan. Terhadap bagian pertama, ICG mengangkat beberapa isu pemboman yang terjadi paska Mei 1998 hingga 2000. Diperkirakan bom meledak enam kali pada tahun 1998, sembilan kali pada 1999, dan dua puluh kali pada 2000. Dalam menghadapi fenomena bom ini, ICG masih menyebutkan "not all bombings, of course, have been the work of Muslim organisations. [70]
Dalam rangka mengaitkan aksi pemboman dengan jaringan Islam, ICG hanya menyebut tiga tipe, yakni:
"The first category involved bombings carried out by supporters of independence for staunchly Islamic Aceh. Secondly, a powerful bomb was used in attempt to murder the Philippine ambassador to Indonesia, presumably at the behest of Muslim separatis in Philippines. And thirdly, a series of church bombing received at least marginal support from a radical Malaysian group." [71]
Namun demikian, ICG tetap masih belum berani menyajikan siapa saja, bahkan mereka mengatakan: "The affiliations of their Indonesian partners have yet to identified." [72] Karena itu, pembahasan tentang aksi pem-boman hanya disampaikan secara deskriptif saja, tanpa data yang berarti. Bahkan ICG belum berani berspekulasi bahwa aksi pemboman yang dilakukan oleh "Jaringan Aceh" didukung oleh luar negeri. Demikian pula, dalam kasus pemboman gereja, ICG hanya menyajikan berbagai peristiwa mulai dari Medan, Jakarta, dan Lombok. Hingga disini, ICG berkesimpulan bahwa:
"The spate of Muslim-connected bombing caused considerable concern but was the work of a very small number of people. The Acehnese group apparently behind the stock exchange blast did not appear have formal ties to the mainstream of GAM although they may had informal links with elements within GAM. The bombing of the Philippines ambassador's home appeared to be a one-off attack sponsored group from outside Indonesia. The church-bombing group, however, seemed to have a wider network within Indonesia - ranging from North Sumatra to Lombok, and an International connection with a similar group in Malaysia and perhaps elsewhere. But there was no indication to suggets that the Indonesia group was especially large or that it was acting at the behest of international. [73]
Dengan demikian, tampak bahwa dalam laporan awal ini, ICG dan perlu dicatat bahwa pada 2001, Sidney Jones belum bergabung dengan lembaga ini, tidak ada indikasi untuk mengatakan bahwa ada al-Qa'idah, Al-Jama'ah al-Islamiyyah, ataupun keterlibatan Abu Bakar Ba'asyir. Bahkan dalam laporan ini tidak ada kalimat yang secara meyakinkan bahwa ICG telah menemukan adanya jaringan terorisme internasional. Sebagaimana kita lihat di atas, kata 'no indication,' 'seemed to have', dan 'tidak adanya hubungan langsung' adalah suatu sinyalemen, bahwa ICG belum "berani" masuk secara mendalam untuk menjabarkan sel-sel terorisme. Sebagaimana akan terlihat pada alinea-alenia berikut, kutipan ataupun rujukan ICG dalam laporan ini memang lebih banyak mengumpulkan data untuk mengatakan bahwa "ada gejala Muslim radikal" di Indonesia.
Pada bagian berikut, ICG juga menyajikan kekerasan lokal yang dikaitkan dengan kelompok organisasi Islam radikal. Akan tetapi, lagi-lagi ICG menyebutkan bahwa "usually these conflict are related to particular local circumstances and issues."[74] Karena itu, kerusuhan anti-etnis China, bom di gereja, anti-kemaksiatan, dan aksi politik, dipandang sebagai hal yang lazim dalam sebuah negara yang sedang mengalami transisi. Adanya anggapan bahwa semua itu "lazim" dalam sejarah Indonesia dan menarik untuk diamati lebih lanjut, seperti yang terdapat beberapa kalimat berikut:
"Indonesia has long history of periodic violence against the Chinese community which has always played a prominent role in the economy. "[75]
Muslim attacks on churches have also been common in Indonesia's history. [76]
In the past radical Muslim organizations have often carried out campaigns againts prostitution, gambling, alchohol, drugs and so on. [77]
Muslim radical groups also occasionally launched political protests which sometime involved in timida tion.[78]
Dengan demikian, dapat dipahami jika dalam wacana terorisme di Indonesia, saat tahun 2001, belum menampakkan dugaan kuat bahwa ada jaringan Al-Qa'idah di Indone-sia. Bahkan, kemunculan gejala radikalisme di kalangan umat Islam hanya dipahami sebagai lemahnya penegakan hukum. Demikian pula, gejala militerisme di kalangan partai politik Islam atau Islam radikal juga dianggap hal yang "wajar" dan sudah pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Dalam pandangan ICG;
It is also necessary to point out that it is not only Muslim radical who have formed 'militia-type' organizations. In the past the Golkar (and the military) fostered similar organizations such as Pemuda Pancasila and Pemuda Panca Marga while PDI-P has what it calls Satgas to combat its opponents in the streets. And the moderate Muslim organizations, NU, maintains Banser to confront its enemies. [79]
Sampai di sini, dapat diambil kesimpulan bahwa: a) tidak ada sedikit pun statemen yang menguatkan pandangan publik mengenai adanya jaringan terorisme Al-Qa'idah atau Al-Jama'ah Al-Islamiyyah di Indonesia; b) tidak ada sedikit pun kalimat yang menyinggung peran Abu Bakar Ba'asyir dengan pesantren Ngruki; c) pembahasan Islam radikal di Indonesia hanya dipahami sebagai akibat persoalan internal bangsa Indonesia dan implikasinya hanya sebatas lokal. Tidak ada perhatian secara mendalam apa dan bagaimana sesungguhnya FPI dan Lasykar Jihad yang tampaknya masih mengundang keganjilan.
AL-QAIDAH IN SOUTHEAST ASIA:
THE CASE OF THE NGRUKI NETWORK IN INDONESIA
Jika dikatakan bahwa research makes different, maka artikel ICG tentang pondok pesantren Ngruki sebagai basis terorisme dapat membawa dampak yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Artikel di atas tidak diketahui sama sekali penulisnya, namun laporan ICG yang terbit 8 Agustus 2002 dan dikoreksi pada 10 Januari 2003, ditulis oleh Sidney Jones. Jadi, dapat dipastikan, sejak keterlibatannya dengan ICG pada bulan Mei 2002, maka praktis isu terorisme di Indonesia "dipegang" oleh Sidney. Karena itu, laporannya pun sangat berbeda dengan yang di atas. Dalam permulaan artikel ini, langsung disebutkan "One network of militant Muslim has produced all the Indonesian nationals so far suspected of links to Al-Qa'idah." [80] Inilah tesis utama yang hendak dibuktikan oleh Sidney dalam laporan 22 halaman.
Selanjutnya, alinea demi alinea tidak ada lagi kalimat-kalimat yang penuh dengan spekulasi. Dalam laporan ini dituturkan bahwa:
"The network has a its hub a religious boarding school (pesantren or pondok) near Solo, known as Pondok Ngruki.... The "Ngruki Network" began to coalese in the late 1970s as Indonesian Intelligence operatives embarked on an operation to expose potential political enemies of the President Soeharto from the Muslim right.... An inner core of the network, led by the two founders of Pondok Ngruki -Abdullah Sungkar ... and Abu Bakar Ba'asyir- and radicalised by repression at home, flew to Malaysia in 1985. Some associated with Ngruki network returned to Indonesia after Soeharto's resignation in 1998; others stayed in Malaysia but continued to be in close contact with those who went back". [81]
Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa jaringan terorisme di Indonesia telah dimulai sejak 1970-an. Saat itu, Abu Bakar Ba'asyir memang paling vokal terhadap pemerintah Orde Baru, bahkan pada 21 November 1978, dia ditangkap dengan alasan bahwa kritiknya terhadap berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru dianggap subversif. Abu Bakar Ba'asyir menganggap bahwa rezim Orde Baru tidak adil dan melanggar syariat Islam, terutama pemaksaan Asas Tunggal Pancasila sebagai asas ormas dan orpol.[82] Selanjutnya, perkenalan Ba'asyir dengan warga Malaysia berawal dari kedatangannya pada April 1985 ke negeri Jiran. Turut serta dalam rombongan Ba'asyir pada waktu itu mendiang Abdullah Sungkar, Mohammad Iqbal bin Abdul Rahman alias Fikiruddin (dikenal pula dengan julukan Abu Jibril), Agus Sunarto, Ahmad Fallah, Rusli Aryus, Mubin Bustami, Fajar Sidiq, dan Agung Riyadi. Niat mereka pindah ke negeri Jiran hanyalah untuk menghindari penahanan Ba'asyir dan Sungkar.[83]
Karena situasi dan kondisi politik di Indonesia berubah terutama sejak runtuhnya Orde Baru, mereka kembali ke tanah air, Indonesia. Gelombang kepulangan kelompok ini ke Indonesia seolah-olah diperkirakan sebagai upaya untuk memperlebar jaringan Al-Qa'idah. ICG menyebutkan bahwa:
"Most members of the network share common characteristics: loyalty to Pondok Ngruki or its founders; commitment to carrying on the struggle of Darul Islam rebellions of the 1950s; desire to create an Islamic state by first establishing an Islamic community or Jamaah Islamiyah, and shared experiences of political detention in the 1980s. Many are on the executive commitee of an organization formed in Yogyakarta in 2000 called the Majelis Muhajidin Indonesia (MMI)." [84]
Sampai di sini, dapat dikatakan bahwa ICG memulai pintu masuk untuk membedah jaringan Al-Qa'idah di Indonesia melalui jalur Ngruki dan Majelis Mujahidin yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba'asyir. Namun belakangan, Sidney malah membuat pernyataan yang perlu diperhatikan secara seksama. Jika dari pernyataan di atas, disebutkan bahwa MMI punya kaitan erat dengan Ngruki dan Ngruki adalah basis Al-Qa'idah di Indonesia, maka asumsi tersebut kemudian juga dipatahkan oleh Sidney sendiri ketika dia mengatakan mengenai persoalan Ngruki yang memiliki kaitan dengan Al-Qa'idah:
...ada orang di Pesantren Ngruki yang berkaitan dengan al-Qa'idah. Belum tentu Ba'asyir, walaupun dia kenal Hambali. Mungkin saja ada guru atau santri tertentu. Saya juga yakin bahwa Abu Jibril, kakak Irfan S. Awwas ... yang ...ditahan di Malaysia juga ada hubungan dengan Al-Qa'idah. Tapi bukan berarti Irfan Awwas adalah anggota Al-Qa'idah.
...Tidak mungkin mayoritas santri terlibat. Mungkin ada beberapa guru atau santri yang pernah tertarik pada ideologi yang sama dengan Usamah bin Ladin. Bisa saja guru yang memberi perlindungan kepada orang macam Hambali. Barangkali, sampai disitu saja kemungkinan keterlibatan Ngruki.
Kita mesti melihatnya sebagai jaringan. Kenapa hanya Jamaah Islamiyah dan bukan Laskar Jundullah, misalnya? Mungkin karena ada kaitan langsung antara Hambali dengan Al-Qa'idah dan Abu Bakar Ba'asyir. [85]
Isi wawancara Sidney di atas adalah pada bulan November 2002, di mana beberapa minggu setelah tragedi Bom Bali. Yang cukup menarik dalam artikel ICG adalah bagaimana laporan ini menyajikan secara kronologis peran Ba'asyir dan Sungkar sebagai pengembang Al-Jama'ah Islamiyyah di Indonesia. Namun ada beberapa hal yang perlu diteliti secara mendalam yakni, misalnya dalam wawancara Sidney menyebutkan Abu Bakar Ba'asyir belum tentu punya kaitan dengan Al-Qa'idah, dan Abu Jibril adalah anggota Al-Qa'idah, sementara Irfan S. Awwas bukan anggota Al-Qa'idah. Bahkan pada tahun 2003, ketika diwawancarai oleh Ulil Abshar-Abdalla, Sidney menyebutkan:
... peran Ba'asyir masih agak misterius. ... peran dia penting, apalagi melihat jumlah lulusan Ngruki yang menjadi tokoh penting JI. ... Karena keterlibatan banyak alumni inilah, maka pengaruhnya cukup besar. ... sesudah organisasi JI dikukuhkan sekitar tahun 1995-1996, Ba'asyir menjadi salah satu tokoh di dalamnya. Memang Ba'asyir bukan amirnya, tapi dia menjadi orang paling dekat dengan amirnya saat itu, yaitu Abdullah Sungkar. Sesudah Abdullah Sungkar wafat tahun 1999, Ba'asyir naik pangkat menjadi amir. Posisi amir itulah yang diwasiatkan Abdullah Sungkar pada Ba'asyir. [86]
Namun dalam laporan ICG disebutkan bahwa Abu Bakar Ba'asyir dan Abu Jibril adalah anggota Al-Qa'idah. Sementara Irfan adalah "another member of the Ngruki inner circle."[87] Inilah yang menjadikan tanda tanya, bagaimana sesungguhnya hubungan ketiga person tersebut. Sebab Ba'asyir sendiri pada tahun 2000 menjadi Amir Ahl al-Halli wa al-Aqdi Majelis Mujahidin. Namun ketika ditanya bagaimana peran Irfan, Sidney hanya mengatakan sulit dikatakan. Jika saya katakan, pasti saya akan digugat lagi. [88] Padahal, beberapa anggota Majelis Mujahidin, seperti Muhammad Iqbal (ditangkap pada 2000) dan Muhammad Saiq (ditangkap pada 2002), di Malaysia, karena diduga terlibat jaringan terorisme internasional.[89] Namun, sampai sekarang Irfan masih belum "ditangkap" karena terlibat jaringan terorisme.
Demikian pula ada peran Abdul Wahid Kadungga yang belakangan dihapus dalam laporan ini. Namun ICG tidak menghapus kalimat: "The Ngruki network became radicalised in the mid 1990s, largerly through one of its main international links: Abdul Wahid Kadungga, the son-in law of Kahar Muzakkar.n [90] Karena itu, laporan ini ternyata harus dilihat dalam konteks "mengapa teks tersebut muncul" dan "mengapa ada upaya untuk mengaitkan peristiwa yang tidak saling terkait untuk meneguhkan sebuah pendapat". Berbeda dengan laporan yang pertama, laporan ini memang murni lebih spekulatif, namun Sidney "berhasil mengaitkan seluruh peristiwa" yang "tidak saling terkait" untuk mengatakan bahwa Ngruki adalah basis Al-Qa'idah di Asia Tenggara. Dalam pada itu, laporan ini, tidak lagi menyebutkan organisasi FPI, Lasykar Jihad, dan organisasi Islam Radikal yang pernah disebutkan dalam laporan pertama. Dengan kata lain, bidikan Sidney dalam artikel ini pada dasarnya adalah membongkar peristiwa yang sangat rahasia pada era Orde Baru yang pernah "dibantu" oleh Sidney sendiri saat mereka yang anti-Pancasila diajukan ke meja hijau. Irfan sendiri berkomentar terhadap laporan tersebut sebagai berikut:
Sidney Jones tidak bisa disalahkan. Dia punya hak untuk memanfaatkan "sampah" itu sebagai apa saja. Dia punya hak menjadikan "sampah" itu sebagai bahan dasar memenuhi kesimpulan yang dia inginkan, meski itu untuk mendukung kepentingan badan intelejen tertentu. Yang salah adalah kita. Momen sejarah yang belum terlalu lama berlalu harus dituliskan orang asing seperti Sidney Jones. Bahkan menjadikannya sebagai kebenaran. [91]
Namun "sampah" yang ditulis oleh Sidney ternyata memberikan implikasi yang serius setelah menjelang Bom Bali pada 12 Oktober 2002. Inilah tonggak sejarah yang membenarkan seluruh tesis yang ada dalam laporan ICG pada bulan Agustus 2002. Karena itu, laporan ini semakin dijadikan sebagai frame work untuk membedah jaringan Al-Qa'idah dan Al-Jama'ah Al-Islamiyyah di Indonesia.
Bom Bali telah menyebabkan munculnya konspirasi tentang pelaku bom tersebut.[92] Sidney sendiri menyebutkan bahwa: "The arrest of Abu Bakar Ba'asyir, the alleged laeader of the Jamaah Islamiyyah network, suspecpected of involement the Bali attacks, is also unlikely to reduce danger." [93] Dengan kata lain, penangkapan Ba'asyir merupakan salah satu upaya untuk mengurangi bahaya dari impli-kasi Bom Bali ini. Tidak hanya di situ, paska Bom Bali, pemerintah Republik Indonesia kembali menangkap mereka yang dicurigai hampir sama dengan skenario dari laporan ICG dan analisa-analisa Sidney. Bahkan ICG menurunkan laporan 12 hari setelah terjadi Bom Bali dengan judul Impact of the Bali Bombings. [94]
Dalam laporan ini, ICG memang mewanti-wanti keterlibatan Al-Jama'ah Al-Islamiyyah dan kemungkinan alumni Lasykar Jihad dan FPI untuk melakukan aksi teror. Namun demikian, dalam pandangan ICG, ketiga organisasi sama-sama fundamentalis, akan tetapi berbeda dalam dataran ideologi. Karena itu, kelompok yang paling berbahaya adalah Al-Jama'ah Al-Islamiyyah, dengan alasan "Abu Bakar Ba'asyir and the men around him, by contrast, believe that jihad againts enemies of Islam is obligatory, even if those enemies are themselves Muslim, and that the only acceptable form of government is a restoration of Islamic caliphate.[95] Adapun kelompok Jafar Umar Thalib (Lasykar Jihad) dan Habieb Rizieq, "believed that is was forbidden under Islamic law to revolt against a Muslim government, not matter how repressive or wayward. Lasykar Jihad was if anything ultra-nationalist, committed to Indonesia's territorial integrity and convinced that its mission was to fight Christian separatist because the security forces were incapable of doing so.[96]
Inilah keganjilan yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yakni, dalam laporan pertama, ICG telah menjelaskan kelompok alumni Afghanistan yang berangkat ke Maluku, sebagai kelompok yang diduga melakukan aksi radikalisme, dan bahkan terorisme di Indonesia. ICG tampaknya, cukup "membaca posisi" Lasykar Jihad dan FPI di Indonesia. Lasykar Jihad, misalnya, dianggap bahwa: "was riven by internal differences, short of funds, and infiltrated by intelligence (an odd assertion since the military was heavily involved in its training in the first place).[97] Hal yang sama juga terjadi pada FPI. Organisasi ini memang dikenal sangat dekat dengan pihak TNI. Bahkan dalam beberapa kali aksi mereka, tampak sangat membela petinggi TNI. Pada 24 Oktober 1999, ratusan milisi FPI bersenjata pedang dan golok hendak menyerang mahasiswa yang bertahan di sekitar jembatan Semanggi, Jakarta Pusat. Aksi kedua ketika ratusan milisi FPI yang selalu berpakaian putih-putih itu menyatroni Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memprotes pemeriksaan Jendral Wiranto dan kawan-kawan oleh KPP HAM. Milisi FPI yang datang ke kantor Komnas HAM dengan membawa pedang dan golok itu bahkan menuntut lembaga itu dibubarkan karena dianggap lancang memeriksa para Jendral itu.[98]
INDONESIA BACKGROUNDER: HOW THE JAMAAH ISLAMIYAH TERRORIST NETWORK OPERATES
Untuk lebih detail bagaimana ICG dan Sidney "meluruskan" tesis bahwa Al-Jama'ah Al-Islamiyyah terkait dengan seluruh aksi terorisme di Indonesia, maka organisasi ini menuturkan laporan Indonesia Backgrounder: How the Jamaah Islamiyah Terrorist Network Operates pada 11 Desember 2002. Inti dari laporan ini adalah menjelaskan bagaimana Al-Jama'ah Al-Islamiyyah melakukan diaspora di Indonesia melalui berbagai jaringannya. Dalam laporan ini, ICG mulai menyebutkan bahwa: "After Bali bombings, international scrutiny of JI increased but tended to focus on the role of Abu Bakar Ba'asyir, especially after his arrest in mid-October, the wherebouts of top JI figure Hambali; or the immediate circle of those suspected of direct involment in the attack."[99]
Pada bagian pertama, laporan in hanya menyajikan bagaimana langkah awal terbentuknya jaringan ini melalui tiga tokoh kunci yakni: Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba'asyir, dan Irfan Suryahardi Awwas. Kuncinya adalah Abdullah Sungkar dipandang sebagai wakil gerakan Darul Islam. Menurut ICG, aktivitas Al-Jama'ah Al-Islamiyyah telah dimulai sejak 1995. Dalam fase ini, hanya proses pembentukan ideologi yang terinspirasi dari gerakan Islami Radikal di Mesir dan juga misi untuk mendirikan Negara Islam.
Lebih lanjut, ICG menjelaskan bahwa:
"After the Omar al-Faruq confession appeared in Time magazine in September 2002, MMI-JI held several meetings in quick succession in which Ba'asyir argued strenously that bombings and the armed struggle for an Islamic state should be put on hold for the time being because they would have negative repercussions for the moment. MMI reportedly called meetings with its JI members in the Perak area of Surabaya; Lamongan; and Mojokerto, among other places, to discuss the possibility of bombings and argue that the moment was not ripe to go forward because the U.S. and Indonesia acting in concert could crack down on Muslim activist. It was not that Ba'asyir disagreed with violence as a tactic. He was concerned that the timing was wrong.
Ba'asyir advice went down poorly among JI members, and while they continued to show respect and acknowledge him as de jure head of JI, the radicals began searching for new leaders closer their way thinking. The focus on Abu Bakar Ba'asyir, who remains under arrest in a police hospital in Jakarta, may be somewhat misleading". [100]
Pernyataan di atas memang hampir mirip dengan isi wawancara Sidney di atas, bahwa Ba'asyir tahu bahwa ada JI, namun tidak terlibat secara mendalam aksi pemboman. Namun faktor Ba'asyir adalah: "He almost certainly has deep knowledge of the JI network and how it operates, and he almost certainly had prior knowldege of some of the bombings that have taken place in Indonesia. He is unlikely, however, to have been the mastermind. [101]
Jadi, sebenarnya, faktor Ba'asyir adalah "ketahuannya" tentang orang-orang yang "dipimpinnya". Inilah tampaknya mengapa dia ditangkap, kendati dengan dalih ingin membunuh Megawati, mendirikan Negara Islam, persoalan keimigrasian. Dengan begitu, pada hakikatnya yang ingin dibidik adalah bagaimana peran para "orang-orang di sekitar Ba'asyir". Jika di atas, pada laporan yang pertama, secara "spekulatif disebutkan bahwa pelaku pemboman adalah kelompok Islam radikal, kelompok Aceh Merdeka. Akan tetapi, dalam laporan ini, dinyatakan secara lugas, bahwa: "The Christmas Eve bombings of December 2000 are important to study as example of the JI network's reach."[102] Jika dibandingkan dengan laporan pertama, disebutkan bahwa pelaku bom tidak dikaitkan sama sekali dengan Al-Jama'ah Al-Islamiyyah.[103] Koneksi Al-Jama'ah Al-Islamiyyah yang terkait dengan bom malam natal, adalah Hambali bertanggung jawab di Jakarta, Yazid Sufaat di Medan, Imam Samudra di Batam, dan Enjang Bastaman Jabir di Bandung.[104]
Dalam laporan, yang sulit terbantahkan ini, mengindikasikan betapa "data intelejen" memainkan peran penting. Demikian pula, orang-orang yang disangka sebagai aktivist Al-Jama'ah Al-Islamiyyah, setelah terbitnya laporan penelitian ini "membuka suara". Namun semakin para aktivis tersebut "bernyanyi" semakin terkuak pula konspirasi dibalik operasi ini. Sebab, ICG sudah "berani" memasukkan koneksi GAM dengan Al-Jama'ah Al-Islamiyyah, maka Tgk. Fauzi Hasbi menuturkan bahwa Umar al-Faruq memang pernah berjumpa dengannya, namun tawarannya untuk jihad ditolak oleh Hasbi.[105] Pada saat yang sama pula, Juru Bicara GAM, Sofyan Dawood menyebutkan bahwa:
Teuku Idris yang diakui oleh Al-Faruq pernah duduk meeting bersama tokoh-tokoh terkait Al-Qa'idah bukanlah anggota militer maupun sipil GAM. Yang bersangkutan dulu sebelum DOM pernah aktif di GAM, namun kemudian di era 1990-an dia desersi dari GAM dan berkhianat membentuk MP-GAM di bawah alm. Teuku Zulfahri binaan BAKIN. Dalam splinter group ini juga duduk Arjuna, bekas petempur GAM yang desersi yang sekarang masih aktif membantu intelejen TNI. Republik Islam Acheh (RIA) adalah musuh Pemerintah Neugara Acheh (PNA). Organisasi yang diurus oleh Fauzi Hasbi Geudong ini adalah organisasi yang dibubuhkan oleh intelijen Indonesia dimaksudkan sebagai saingan GAM, namun RIA gagal meraih simpati Rakyat Acheh. Sedangkan Fauzi Hasbi Geudong alias Abu Jihad sendiri masih aktif membantu intelijen Indonesia sampai sekarang.[106]
Ungkapan ini kemudian memperkuat dugaan bahwa keterlibatan intelijen dalam konflik ini. Di mana adanya hubungan yang dekat antara Fauzi Hasbi Geudong dengan Syafrie Syamsuddin dan Sutiyoso.[107] Jika dikatakan bahwa cell Hasbi Geudong adalah bagian dari Al-Jama'ah Al-Islamiyyah, maka hubungan tokoh ini dengan petinggi TNI juga perlu diperhatikan, untuk tidak mengatakan bahwa TNI mengetahui adanya cell teroris di Indonesia. Karena itu, penculikan dan sikap "cuek" aparat terhadap Fauzi juga masih menyisakan tanda tanya sampai sekarang. Sebab mantan tokoh GAM ini diculik di Ambon dan telah meninggal dunia pada tahun yang lalu (2003).
Selanjutnya, ICG menuturkan beberapa temuan dimana persiapan pemboman tersebut apa, siapa, dan bagaimana pemboman tersebut dilakukan:
"One week before the Christmas Eve bombings, a meeting took place at the Hotel Alia on Jalan Matraman in Jakarta. Among those attending, according to one person present, were JI leader Abu Fatih, Agus Dwikarna, Hambali, Zulkifli, and Five repre-sentative of the Darul Islam movement. The discussi-on focused on hatred of Christians, but, according to one of those present, there was no discussion of any for nationwide bombing operation."[108]
Dari temuan ini mengindikasikan bahwa, ICG, terutama Sidney, tampaknya pernah berjumpa anggota Al-Jama'ah Al-Islamiyyah. Bahkan, data-data yang ditampilkan dalam laporan ini sangat akurat. Namun ketika ditanya, apakah Sidney pernah berjumpa dengan aktivis Al-Jama'ah Al-Islamiyyah, dia mengatakan: "itu selalu melalui orang lain. Sulit bagi saya untuk ketemu langsung dengan mereka."[109] Di sini dapat dipahami bahwa data-data yang didapatkan oleh ICG dan tentu saja Sidney, bukan dari sumber asli, namun dari "tangan kedua". Dalam hal ini, bisa jadi BAP hasil interogasi terhadap aktivis JI atau dari intelijen sendiri. Dalam hal ini, pengalaman Rohan Gunaratna dalam memaparkan bagaimana jaringan terorisme di Asia Pasifik, menarik untuk diamati, di mana dia mendapat data-data intelijen, dianggap sebagai data untuk penelitiannya. Kemudian beberapa data-data dari penelitian dia "runtuh satu demi satu".[110] David Wright-Neville, peneliti dari The Centre for Global Terrorism, Monash University menyebutkan bahwa: "Not all intelligence organisations are equally reliable and, particularly in some south-east Asian countries, can be highly politicised and running agendas for their government."[111] Dalam konteks tersebut, tampaknya hasil penelitian ICG dan pandangan Sidney dapat "dibaca" sambil mengajukan pertanyaan: "We'id sure like to know who is sources are."[112]
Sebagaimana pada laporan kedua di atas, bahwa ICG memang sedang tidak "tertarik" untuk melihat bagaimana peran Lasykar Jihad dan FPI. Karena itu, ICG menuturkan bahwa selain Lasykar Jihad di Maluku dan Poso, terdapat juga Lasykar Mujahidin atau Lasykar Jundullah. ICG, secara tegas menyebutkan bahwa Lasykar Mujahidin yang dipimpin oleh Abu Jibril, sangat berbeda dengan Lasykar Jihad, dengan pernyataan berikut:
One main difference with Laskar Jihad, indeed, was Laskar Mujahidin's preference for guerilla warfare, with formation of about a dozen men carrying out hit-and-run attacks. The main was frequently to destroy churches or target priest, Christian bussiness people, or other Christian leaders, more than to secure ground as Laskar Jihad was trying to do.[113]
Harus diakui "keterpihakan" ICG dalam menyajikan data-data tentang Lasykar Jihad, seminim mungkin dan "memperlebar" analisa tentang Al-Jama'ah Al-Islamiyyah, cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut. Sebab, setelah Lasykar Jihad "beku" setelah tragedi Bom Bali, perhatian dunia internasional terhadap organisasi ini sangat minim sekali. Perhatian hanya diarahkan kepada Al-Jama'ah Al-Islamiyyah. Hal yang sama pula, juga menarik untuk ditelaah lebih khusus lagi adalah bagaimana posisi Majelis Mujahidin di hadapan ICG dan Sidney? Sebab, dalam laporan-laporan IGC dinyatakan bahwa organisasi ini punya kaitan erat dengan Al-Jama'ah Al-Islamiyyah, namun posisi Irfan, sebagai adik Abu Jibril dan aktivis kunci dalam tubuh organisasi ini, tidak "berani" disentuh ataupun "dipesan" agar ditangkap oleh aparat Indonesia.
Padahal, hubungan Irfan dengan Ba'asyir dalam tubuh Majelis Mujahidin sangat erat. Dalam konggres II Majelis Mujahidin di Asrama Haji Donohudan Solo pada 12 Agustus 2003 M, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir ditetapkan sebagai Amirul Mujahidin periode 2003-2008 dan Irfan S. Awwas sebagai Ketua Lajnah Tanfidziyah periode 2003-2008.[114] Hal ini belum lagi keterlibatan Abdul Haris di dalam Majelis Mujahidin dan juga sempat ditangkap bersamaan dengan al-Faruq.[115] Dalam Majelis Mujahidin, Haris duduk sebagai pengurus di Departeman Hubungan Antar-Mujahid.[116] Karena itu, sangat menarik untuk diamati mengapa ICG dan Sidney tidak mengupas lebih jauh mengenai Irfan dan sosok Haris ini. Karena artikel ICG tentang operasi Al-Jama'ah Al-Islamiyyah, adalah lebih menekankan pada membuka seluruh "misteri" pemboman di Indonesia dengan menyandangkannya pada Al-Jama'ah Al-Islamiyyah dan Abu Bakar Ba'asyir.
Sebagai hasil penelitian ini, kemudian ICG melanjutkan investigasi mereka tentang Jemaah Islamiyyah di Indone-sia, dengan menurunkan hasil penelitian Jamaah Islamiyah in South East Asia: Damaged But Still Dangerous, tepat 20 hari setelah pemboman Hotel Marriot pada tanggal 5 Agustus 2003. Untuk pada bagian berikut ini, akan dikupas artikel "terakhir" dari ICG yang membahas bagaimana operasi Al-Jama'ah Al-Islamiyyah di Indonesia.
JAMAAH ISLAMIYAH IN SOUTHEAST ASIA: DAMAGED BUT STILL DANGEROUS
Laporan ini memang masih berkutat pada jaringan operasi Al-Jama'ah Al-Islamiyyah di Asia Tenggara dengan mengkonsentrasikan pada keberadaannya di Indonesia. Hanya saja, laporan ini lebih banyak menceritakan latar belakang Al-Jama'ah Al-Islamiyyah di Afghanistan. Kemu-dian beberapa peristiwa yang dilakukan oleh aktivis Al-Jama'ah Al-Islamiyyah atau yang pernah di latih di Mindano. ICG menulis:
"JI also maintains alliances with a loose network of like-minded regional organisations all committed in different ways to jihad. The Makassar bombings of 5 Desember 2002 were not the work of JI, ... but they were carried out by men who had been trained by JI in Mindano and who undertake a JI-like attack. JI has also made very pragmatic use of thug (preman) as necessary in Ambon." [117]
Dari pengantar ini terlihat bahwa ada "nuansa baru" dalam laporan ICG yaitu "bukan anggota Al-Jama'ah Al-Islamiyyah, namun pernah di latih oleh Al-Jama'ah Al-Islamiyyah" dan "preman". Dua hal ini memang belum pernah disebutkan dalam laporan-laporan sebelumnya. Bahkan, kalau pun, ICG menyebutkan istilah 'preman' maka itu sering diasosiasikan dengan "sipil-militer di tubuh partai" (baca: satgas). Begitu juga, di beberapa tempat di Indonesia, kelompok Islam Radikal, sering malah bentrok dengan preman, ketika melakukan operasi maksiat. Bah-kan di Yogyakarta, preman "harus berpikir dua kali" jika berhadapan dengan Lasykar Jihad.[118] Demikian pula, dari laporan awal hingga ketiga, ICG telah membedakan masing-masing orientasi perjuangan gerakan Islam Radikal di Indonesia. Karena itu, menjadi agak sulit dipahami, jika kemudian muncul pernyataan bahwa yang pernah latihan juga Al-Jama'ah Al-Islamiyyah. Jika demikian halnya, aktifis Lasykar Jihad dan Majelis Mujahidin juga dapat dikategorikan sebagai Al-Jama'ah Al-Islamiyyah dan terkait erat dengan Al-Qa'idah.
Di samping itu, dalam laporan ini juga diceritakan bagaimana latihan yang dijalankan di Afghanistan, dimana tokoh kuncinya adalah Abdullah Sungkar. Menurut ICG, semua aktivis yang direkrut oleh Abdullah Sungkar dikirim ke Maktab al-Khidmat di Peshawar, pada tahun 1984, untuk membantu logistik Mujahidin non-Afghanistan yang dipimpin oleh Abdullah Azzam.[119] Hingga di sini, ICG tidak menceritakan bagaimana keterlibatan Amerika Serikat melalui CIA dalam melatih kelompok mujahidin tersebut.[120] Pemotongan episode sejarah ini memang tidak perlu dibuktikan di sini, sebab telah banyak para sarjana, terutama di Amerika sendiri, yang memahami betul bagaimana CIA dan penuturan mantan anggota CIA dalam melatih mereka.
Norm Dixon menyebutkan beberapa sumber bagai-mana keterlibatan CIA dalam latihan untuk kelompok Mujahidin di Afghanistan:
"Between 1978 and 1992, the US government poured at least US$6 billion (some estimates range as high as $ 20 billion) worth or arms, training and funds to prop up the mujaheddin factions. Other Western governments, as well as oil-rich Saudi Arabia, kicked in as much again. Wealthy Arab fanatics, like Usamah bin Ladin, provided millions more." [121]
Di tempat lain, Zbigniew Brzezinski, sebagai penasehat Keamanan Nasional Presiden Jimmy Carter, memberikan kesaksian bagaimana kebijakan Amerika ini dijalankan:
"Accoring to the official version of history, CIA aid to the Mujahedeen began during 1980, that is to say, after the Soviet army invaded Afghanistan, 24 Dec 1979. But the reality, secretly guarded until now, is completely otherwise Indeed, it was July 3, 1979 that President Carter signed the directive soft secret aid to the opponents of the pro-Soviet regime in Kabul. [122]
Operasi yang dipusatkan di Maktab al-Khidmat seperti yang disinyalir oleh ICG merupakan pusat latihan para mujahid dari seluruh dunia. Menurut Ahmed Rashid, koresponden Far Eastern Economic Review, pada tahun 1986 Direktur CIA William menyatakan "committed CIA support to a long standing ISI proposal to recruit from around the world to join the Afghan jihad."[123]
Namun karena bukan di sini tempatnya untuk menjelaskan bagaimana skenario global yang sering dinamakan dengan green peril. Namun, sikap ICG yang cenderung "mengaitkan peristiwa yang saling berhubungan" dan "peristiwa yang tidak berhubungan" memang sangat bias dalam memaparkan operasi Al-Jama'ah Al-Islamiyyah di Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Indonesia khususnya. Karena itu pula, data-data yang dipaparkan oleh ICG pun tidak serta merta dipandang "adil" dari sisi kepentingan di balik cerita tersebut. Dalam konteks Al-Jama'ah Al-Islamiyyah di Timur Tengah, diduga telah muncul jauh sebelum Al-Qa'idah. Karena itu, jaringannya sangat rapi dan telah memiliki peraturan sendiri. Karena itu, ketika terjadi tragedi 11 September, terdapat silang pendapat antara kelompok Al-Jama'ah Al-Islamiyyah dengan Al-Qa'idah sendiri. Karena itu, Al-Qa'idah adalah bentukan CIA ketika menghadapi Uni Sovyet, dengan filosofi: "What is most important to history of the world? The Taliban or the collapse of the Soviet empire? Some stirred-up Moslems or the liberation of Central Europe and the End of the cold war."[124]
Selanjutnya, dalam laporan ini, ICG menguraikan nama-nama beberapa alumni yang pernah menjadi mujahidin di Afghanistan. Bahwa nama-nama tersebut adalah anggota Al-Jama'ah Al-Islamiyyah, memang tidak dapat dibantah, namun mengenai hubungan satu sama lain, "yang selalu berkait" adalah hal lain yang perlu dijelaskan secara komprehensif. Dengan kata lain, jika memang alumni Afghanistan tersebut pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Al-Jama'ah Al-Islamiyyah, maka asumsi banyaknya anggota Lasykar Jihad di Maluku, juga alumni Afghanistan, juga harus diuraikan untuk mendapatkan benang merah. Pada tahun 2003, setahun Bom Bali, Sidney menulis bahwa di tubuh JI sendiri telah muncul konflik serius menyangkut persoalan di mana dan dalam situasi apa mereka boleh mengibarkan bendera jihad, dan soal pemilihan target bagi aksi-aksi mereka.[125]
Dengan kata lain, anggota Al-Jama'ah Al-Islamiyyah memang telah berdiaspora ke beberapa organisasi lokal, baik itu yang sudah "dibekukan", "membekukan", dan "masih aktif". Di sinilah dapat dipahami jika kemudian, bom-bom yang meledak selama paska-reformasi adalah mereka yang pernah aktif sebagai "alumni Afghanistan" dan "alumni Mindano".
Zachary Abuza menulis:
Operation-this shura was responsible for both training members, dispatching them to Afghanistan or Mindano for training, planning, conducting ope-rations, and liaising with the MILF;
Communications-this shura was responsible for establishing primary electronic communications.
Security-this small shura was responsible for internal control, discipline, and counter-intelligence;
Finance-this shura was in charge of fundraising, liaising with charities, establishing bank accounts, laundering money, and establishing front companies;
Missionary (dakwah)-this shura was responsible for recruitment, training, and running JI's network of madrassas. It also engaged in mosque outreach and fundraising for jihadist operations in Indonesia.[126]
Semua sub-shura di atas telah diatur dalam Pedoman Umum Perjuangan al-Jama'ah al-Islamiyyah yang diterbitkan oleh Majlis Qiyadah Markaziyah al-Jama'ah al-Islamiyyah. Dalam hal ini, ICG merujuk kepada pedoman ini guna menjelaskan bagaimana struktur organisasi Jemaah Islamiyyah. Melihat hal tersebut, "ICG learned that is probably more appropriate to think of JI as military structure: befitting a guerrilla army, with brigades (mantiq); batallions (qirdas); and squads (fiah)."[127] Jadi, dengan kata lain, sebenarnya, Al-Jama'ah Al-Islamiyyah memang menerapkan teori-teori yang pernah didapatkan di Afghanistan, ketika dilatih oleh CIA.
Adapun mengenai tugas masing-masing mantiqi, memiliki tugas yang agak berbeda di mana satu sama lain saling terkoordinir oleh seorang pimpinan. Dalam hal ini, mantiqi I memiliki agak sedikit banyak tugas, dibandingkan mantiqi yang lain. Dia bertugas:
First, it worked very closely with the Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM), with which there was some overlap in membership and goals. Second, it was primary conduit between JI and Usamah bin Ladin and Al Qada in Afghanistan.... Third, it was responsible for recruiting and education.... Fourth, Mantiqi 1 was responsible for establishing dozens of front companies that were used to channel Al Qaeda funds and procure weapons and bomb-making materiel.[128]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsern ICG sebenarnya pada mantiqi, sehingga laporannya pun hanya berkutat pada Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Akan tetapi ICG lagi-lagi tidak "berani" menjelaskan bagaimana keterkaitan secara komprehensif antara MMI dan Al-Jama'ah al-Islamiyyah. Inilah yang menjadi tanda tanya, mengapa sampai sekarang MMI masih menjadi "bintang lapangan" di Indonesia, tanpa sedikit pun "disentuh" oleh ICG. Hemat saya, peran MMI memang cukup perlu untuk dikaji lebih lanjut. Sebab, "segitiga emas" atau "tiga serangkai" yaitu Ba'asyir, Abu Jibril, dan Irfan cukup menarik untuk diteliti lebih lanjut. Pada akhir laporannya, ICG hanya mengatakan:
... Mustaqim, head of the military instructor in Afghanistan and Mindano, are particulary important here, but there are likely others names have not yet emerged.[129]
Demikianlah beberapa uraian tentang bagaimana ICG dan Sidney Jones "membumikan" terorisme di Indonesia. Dalam hal ini, tampak jelas bahwa ICG memang memiliki konsen yang amat tinggi mengenai Al-Jama'ah Al-Islamiyah. Dibandingkan peneliti lain, seperti Rohan Gunaratna dan Zachary Abuza, Sidney memang "agak sedikit lain". Dengan pengalaman menetap di Indonesia, dia tampaknya paham betul bagaimana tarik menarik isu terorisme di Indonesia dengan kepentingan sosial politik di Indonesia. Karena itu, Sidney dalam memberikan setiap pandangannya tentang terorisme memang agak berspekulasi, kendati dia memiliki tiga modal sekaligus. Pertama, pengalamannya sebagai pembela kelompok Islam garis keras pada era Orde Baru telah menyebabkan dia memiliki data yang cukup banyak, kendati semua itu merupakan "sampah". Namun, "sampah" itulah yang membuat pemerintah Indonesia harus memikirkan tentang kebijakan untuk menghadapi teroris. Kedua, Sidney telah berubah peran sejak dia "membumikan" terorisme di Indonesia, jika di era Orde Baru, dia sering vis-a-vis dengan aparat, maka sekarang dia "menjadi teman baik aparat, terutama intelijen". Karena itu, footnotes ICG, "ICG interviews, sepertinya harus ditelaah secara hati-hati oleh pembaca laporan ini. Sebab itu kadang bertolak belakang dengan ucapan Sidney sendiri saat diwawancarai. Dalam tulisan ini, telah ditunjukkan bagaimana antara laporan dan wawancara Sidney bertolak belakang. Kedua, peran Sidney sejak Mei 2002 di ICG telah merubah image bahwa yang paling "berbahaya" dari Islam Radikal di Indonesia adalah Lasykar Jihad, FPI, menjadi Al-Jama'ah Al-Islamiyyah. Bagaimana pun, hasil telaah terhadap empat laporan ICG ini masih perlu dikaji secara mendalam oleh peneliti lain.
Dari beberapa uraian di atas, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kajian radikalisme dan terorisme di Indonesia memang mencuat secara besar-besaran paska 11 September. Hal ini juga ditunjang oleh berbagai aksi teror yang diduga dilakukan oleh kelompok Islam. Dalam hal ini, peristiwa pemboman di berbagai daerah telah menambah sejumlah alasan untuk mengatakan bahwa teroris ada di Indonesia, kendati pada saat yang sama, pemerintah Indonesia selalu menepis bahwa tidak ada terorisme di Indonesia. Namun, hasil-hasil studi yang mendalam mengungkapkan jaringan terorisme di Indone-sia. Dalam konteks ini, kajian ini telah memberikan satu bahan tersendiri untuk menyebutkan bahwa apapun kebijakan pemerintah, aksi terorisme masih berlanjut dan tampaknya akan terus bergulir, sampai keingian kelompok ini tercapai.
Kedua, tampaknya, gejala radikalisme dan terorisme di Indonesia dipicu oleh sosio-historis umat Islam di Indonesia, dan juga konteks situas politik global, dimana isu terorisme mencuat paska-perang dingin. Karena itu, faktor internal dan eksternal telah memicu munculnya berbagai gerakan Islam radikal di Indonesia. Di samping itu, peran Amerika dalam membentuk opini internasional, tampaknya "berhasil" memancing negara-negara berkembang untuk mengeluarkan kebijakan mereka terhadap terorisme, khususnya, untuk Asia Tenggara.[130]
Ketiga, kajian ini juga telah menampakkan bagaimana peran lembaga asing, dalam hal ini ICG, dalam "membumikan" wacana terorisme di Indonesia. Harus diakui, sejak bergabungnya Sidney Jones pada tahun 2002, telah berhasil meruntuhkan sikap pemerintah Indonesia yang mengatakan bahwa "di Indonesia tidak ada terorisme". Peran Sidney memang cukup "berjasa" dalam menampilkan data-data "sampah" pada era Orde Baru untuk meyakinkan publik internasional, bahwa Al-Jama'ah Al-Islamiyyah di Indonesia telah muncul sejak Orde Baru di Indoensia. Hanya saja, bentuknya baru diketahui pada tahun 1994. Namun demikian, ICG dan Sidney, tampaknya tidak begitu "tertarik" untuk membahas lebih jauh bagaimana kelompok Islam Radikal yang "melibatkan" aparat Indonesia. Namun sebaliknya, ICG dan Sidney, tidak menjelaskan bagaimana skenario munculnya gerakan Islam (Al-Qa'idah dan Al-Jama'ah Al-Islamiyyah) di Afghanistan. Hal ini tentu saja memiliki keterkaitan langsung dengan proyek Amerika Serikat ketika menghadang Uni Soviet pada era Perang Dingin.
Keempat, laporan yang ditelaah dalam tulisan ini, menunjukkan bagaimana data di lapangan "dikemas" sedemikian rupa, seolah-olah, semua "yang tidak berkait" memiliki "hubungan" satu sama lain. Hal ini ini tentu saja memberikan implikasi pada keobjektifan penelitian ICG yang kelihatannya memakai data-data dari aparat keamanan.
Kelima, studi ini juga telah menemukan beberapa hal ketidak-konsistenan Sidney, antara apa yang diteliti dengan diucapkan saat wawancara. Karena itu, para pemerhati kelompok radikal dan teroris di Indonesia, perlu memahami secara komprehensif setiap temuan Sidney. Sebab jika tidak, maka akan terjebak dengan pandangan Sidney yang cenderung memihak kepada kepentingan aparat keamanan dalam hal teroris. Bahkan, sangat kuat dugaan bahwa Sidney memperoleh data-data tersebut dari testimoni terdakwa yang tentu saja belum sempat diklarifikasi atau cross check.. Namun bagaimana pun, upaya Sidney perlu dipuji, sebab dia telah "berani" masuk ke dalam "belantara terorisme" di Indonesia, kendati dengan berbagai catatan.
Kajian ini mungkin masih menyisakan berbagai agenda penelitian dalam memahami gejala Islam Radikal dan teroris di Indonesia. Sebab, paska 11 September, arah paradigma riset telah diubah menjadi "why Muslim hate West bukan lagi "Why west hate Muslim." Untuk memahami ini, ada baiknya kita perhatikan pandangan Neguin Yavari, dalam salah satu tulisannya:
The lives of Muslims in America changed on 11 September 2001. The initial reactions of panic, guilt, defiance, and confusion, were accompanied in subsequent days with physical threats and hostile acts against Muslims. An opinion piece in the New York Time arguing that Muslims hate us not for what we do but for what we are widely quoted in media. Veiled women did not appear in public, several students on our campus left theirs at home. A great number of scholars of the Middle East and the Islamic world shouted themselves hoarse insisting that there existed a direct correlation between US foreign policy and the events of 11 September, and others reiterated their anti-liberal stance by pointing an accusing finger at what they regarded as their fellow academics' failure to warn the public about inevitable threats from outside. Vigilance became the prescriptive word aimed at both New York landlords and college professors. [131]
[1] Dana R. Dillon, "The Shape on Anti-Terrorist Coalitions in Southeast Asia," Heritage Lectures, 13 Desember 2002, hal. 1.
[2] Rizal Sukma, "Indonesia's Islam and September 11: Reactions and Prospects," dalam Anderw Tan dan Kumar Ramakrishna (ed.), The New Terrorism: Anatomy, Trends and Counter-Strategies, Singapore: Eastern University Press, 2002, hal. 178-190.
[3] Ian Markham dan Ibrahim M. Abu Rabi' (ed.), 11 September: Religious Perspectives on the Causes and Consequences, Oxford: One World, t.th.
[4] Samuel P. Huntingdon, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, London: Touchstone Books, 1998.
[5] Robert Jervis, "At Interim Assesment of September 11: What Has Changed and What Has Not?," Political Science Quarterly, Vol.117. No. 1, 2002, hal. 37-54.
[6] Kenneth W. Stein, "The Bush Doctrine: Selective Engagement in the Middle East, Middle East Review of International Affairs, Vol. 6, No. 2, 2002, hal. 52-61.
[7] Freek Colombijn, "The War againts Terrorism in Indonesia: Amien Rais on US Foreign Policy and Indonesia's Domestic Problems," IIAS News Letter, No. 28 Agustus 2002, hal. 2.
[8] Bambang Cipto, Tekanan Amerika terhadap Indonesia: Kajian atas Kebijakan Luar Negeri Clinton terhadap Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 333.
[9] National Strategy for Combating Terrorism, Februari 2003.
[10] President George W. Bush, "Introduction," dalam National Strategy, 6 November 2001, hal. 1.
[11] Robert Jervis, "An Interim Assessment of September 11: What Has Changed and What Has Not?" Political Science Quarterly, Vol.117, No. 1, 2002, hal. 41.
[12] Ruth Wedgwood, "Al Qaeda, Military Commisions, and American Self-Defense," Political Science Quarterly, Vol.117, No.3, 2002, hal. 358-360.
[13] President George W.Bush, "The Nature of the Terrorist Threat Today," Pidato disampaikan di depan Konggres dan Masyarakat Amerika, dimuat dalam National Strategy, 20 September 2001, 6.
[14] President George W. Bush, "The Nature of the Terrorist", 2001, hal. 6.
[15] Robert Jervis, "An Interim Assessment of September 11", 2002, hal. 42.
[16] Adapun organisasi yang disebutkan oleh Bush adalah Red Army Faction, Direct Action, Communist Combatant Cell di Eropa, dan Japanese Red Army di Asia. President George W. Bush, "The Nature of the Terrorist", 2001.
[17] President George W. Bush, 2001, "The Nature of the Terrorist", h.7.
[18] Matthew A. Levitt, "The Political Economy of Middle East Terrorism, Middle East Review of International Affairs, Vol. 6, No. 2, 2002.
[19] President George W. Bush, 2001, The Nature of the Terrorist, h.7.
[20] Freek Colombijn, The War againts Terrorism, h.2.
[21] Benjamin Orbach, 2001, "Usama Bin Ladin and Al-Qa'ida: Originis and Doctrines," Middle East Review of International Affairs, Vol.5, No. 4, 54.
[22] Lihat Josh Pollack, 2002, "Saudi Arabia and the United States, 1931-2002," Middle East Review of International Affairs, Vol. 6, No. 3, 86.
[23] Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama'at'i-Islami (Pakistan), Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 205.
[24] Tokoh ini memiliki beberapa nama samaran, yaitu: Abu Darda (AD) "Ad daulatul Islamiyah", AbuTachmid (AT), Achmad Tasgauf Hidajatullah (ATH), Arjo Djipang, Darmawaskita, Djajasakti, Hadi, Hadji Achmad Djamaluddin, Komandemen Tertinggi KUKT di Sukapura, Huru Hara, Idharul Huda, Kalipaksi, Karma Yoga, dan Mustapa Habibullah. Lihat Hoik H. Dengel, 1995, Darul Islam dan Kartosuwirjo: "Angan-Angan Yang Gagal" Jakarta: Sinar Harapan, h.227-228.
[25] Anonim, "N-Sebelas dalam Berbagai Wujud," Tempo, 5 Maret, 2000, hal. 20.
[26] Agus Muhammad, "Fenomena Islam Radikal," 2001.
[27] Irfan Suharyadi Awwas (peny.), Risalah Konggres Mujahidin dan Penegakan Syariah Islam, Yogyakarta: Wihdah Press, 2001, hal. 229-230.
[28] "Jejak Ba'syir di Sungai Manggis," Tempo, 3 November 2002, hal. 28-30.
[29] Liem Soei Liong, "It's the Military, Stupida," dalam Freek Colombijn dan J. Thomas Linblad (ed.), Roots of Violence in Indonesia: Contemporary on Historical Perspective, Singapore: ISEAS, 2002, hal. 197-225.
[30] Karel Steenbrink, "Does Comparison Help? The Disastrous Decade of Yugoslavia Seen from an Indonesia Perspective," dalam Murni Jamal dan Klaus Pahler (ed.), Communal Conflicts in Contemporary Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya dan The Konrad Adenauer Foundation, 2002, hal. 223.
[31] Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 ahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, Bandung: Teraju, 2003, hal. 8. Azyumardi Azra, "Islam in Indonesia Foreign Policy: Assessing Impacts of Islamic Revivalism During Soeharto Era," Studia Islamika, Vol. 7, o. 3, 2000, hal. 12-25.
[32] Tentang gerakan ini dapat dibaca Kurshid Ahmad, "The Nature of The Islamic Resurgence," dalam John L. Esposito (ed.), Voices of Resurgent Islam, New York: Oxford University Press, 1983, hal. 218-229; Abdulaziz Sachedina, "Ali Shariati: Ideologue of the Iranian Revolution," dalam John L. Esposito (ed.), Voices of Resurgent Islam, hal. 191-214; Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, Ilyas Hasan (terj), Bandung: Mizan, t.th.
[33] Ali Said Damanik, Fenomena PartaiKeadilan...., hal. 352.
[34] Edy A. Effendi, Pergeseran Orientasi Sikap Keberagamaan di Kampus-Kampus ekuler, Ulumul Qur'an, No. 3, Vol. IV, 1993 hal. 15-16.
[35] Martin van Bruinessen, "Geneologies of Islamic Radicalism in Post-Suharto," 2002.
[36] Wawancara dengan anggota Lasykar Jihad, Yogyakarta, April 2001.
[37] Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan, hal. 82.
[38] Richard G. Kraince, "The Role of Islamic Student Groups in the Reformasi Struggle: KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia)," Studia Islamika, Vol. 7, No. 1, 2000, 1-50.
[39] Baca Mathias Dietrich, "Partai Politik Islam di Indonesia: Persepsi Atas Identitas Diri," Makalah disampaikan dalam Seminar "Islam dan Pluralisme di Indonesia, LIP dan CRSD IAIN Yogyakarta, 25 Maret, 2003, h. 1-3.
[40] Wawancara dengan anggota Lasykar Jihad, Yogyakarta, April 2001.
[41] ES. Soepriyadi, Ngruki & Jaringan Terorisme: Melacak Jejak Abu Bakar Ba'asyir dan Jaringannya dari Ngruki sampai Bom Bali, Jakarta: Al-Mawardi Prima; Kholis Bahtiar Bakri dan Hatim Ilwan, "Metamorfosis Mendekati Penguasa," Gatra, 6 Desember 2003, hal. 79; "Membongkar Misteri Penebus Dosa," Gatra, 6 Desember, 2003, hal. 76-78.
[42] Wawancara dengan Mahasiswi IPB, Bandung, April 2001.
[43] Mereka adalah Achmad Roihan Saad, Aris Sumarsono Zulkarnaen, Mustaqim, Basyir Abu Mukhlisun. Lihat ICG Asia, Jamaah Islamiyyah in South-East Asia: Damaged but Still Dangerous, No. 63, 26 Agustus 2003, hal. 7-9.
[44] Jamal Malik, "Traditional Islamic Learning and Reform in Pakistan," ISIM Newsletter, No. 10, July 2002, hal. 20.
[45] Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998; Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997.
[46] Ahmad Syafii Maarif, "Indonesian Islam and Its Relations with Nationalism and the Netherlands in the Early Decades of the 20th Century: Some Important," Al-Jami'ah, No. 65, 2000, hal. 64-77.
[47] Baca misalnya Reuven Paz, "Islamist and Anti-Americanism," Middle East Review of International Affairs, Vol. 7, No. 4, 2003, hal. 54-61.
[48] Ayip Syafruddin, "Mengapa Laskar Jihad ke Poso," 2001.
[49] Muhammad Khalid Masud (ed.), Travellers in Faith: Studies of the Tablighi as a Transnational Islamic Movement for Faith Renewal, Leiden: Brill, 2000, hal. vii-ix.
[50] Chris Wilson, "Indonesia and Transnational Terrorism," Current Issues Brief, No. 6, 2002, hal. 1. Martin van Bruinessen, Geneologies of Islamic Radicalism, 2002.
[51] Sunarlan, 2002, "Kekerasan Negara dan Konflik Elite (Studi Kasus di Banyuwangi 1998-1999)," Jurnal Demokrasi & HAM, Vol. 2, No. l, 110-136.
[52] Parsudi Suparlan, 2001, "Ethnic and Religious Conflict in Indonesia," Kultur, Vol.1, No.2, 41-57.
[53] Bernard Lewis, What Went Wrong? The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East, New York: Oxford University Press, 2003; Bernard Lewis, The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror, New York: The Modern Library, 2003; Tariq Ali, The Clash of Fundamentalisms: Crusades, Jihads and Modernity, London: Verso, 2002; Rudolph Peters, Jihad in Classical and Modern Islam, Princeton: Markus Wiener Publishers, 1996.
[54] Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar (terj.), Yogyakarta: LKiS, 2003, hal. 15 dan 32.
[55] Sidney Jones, "The Contraction and Expansion of 'Umat' and the Role of Nahdlatul Ulama in Indonesia," Indonesia, No. 80, 1980, hal. 1-20. Belakangan artikel ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia, lihat Sidney Jones, "Perekrutan dan Pemuaian Makna Umat dan Peran Nahdlatul Ulama," dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Ahmad Sueady dkk. (terj.), Yogyakarta: LKiS, 1997, hal. 89-117.
[56] "Hambali Adalah Petinggi Al-Qa'idah" Wawancara dalam Tempo, 3 November 2003, hal. 53; Sidney Jones, "Hambali is a high-level Al Qaeda operative" 2003.
[57] Hasyim Wahid dkk., Telingkungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 1999.
[58] "USINDO Open Forum Update on Aceh Sidney Jones, Indonesia Project Director, International Crisis Group, June 11, 2003, Washington D.C. "Human Rights in East and Southeast Asia Testimony of Sidney Jones, Executive Director, Human Rights Watch/Asia Before the House Subcommittee on Asia and Pacific Affairs, March 17, 1994."
[59] "Shock Therapy" Restoring Order in Aceh, 1989-1993 From Amnesty International, Mon. Aug 02 1993."
[60] Tulisan Sidney Jones sebagai Direktur Asia Human Rights Wacth: "Indonesia: The May 3, 1999 Killings in Aceh A Human Rights Watch Press Backgrounder," "Indonesia: The May 3, 1999 Killings in Aceh Section II: The Shootings on May 3," "Indonesia: The May 3, 1999 Killings in Aceh Section III: Background to the Shootings." Adapun artikel Sidney ketika menjabat Direktur Indonesia International Crisis Group, lihat misalnya "Indonesia's war that won't go away" Comment by Sidney Jones in The Observer Online."
[61] "US Military Aid package to Indonesia is flawed".
[62] Laporan berikut ini: Lewat SMS (pesan tertulis lewat telepon genggam) kepada Tempo News Room, ia mengaku telah menyerahkan laporan ini kepada polisi. Namun, beberapa menit sebelumnya dalam sebuah wawancara, Jones justru mengatakan sebaliknya. "Tidak melaporkan secara resmi ke polisi. Tidak ada yang bisa dijadikan sebagai bukti bagi polisi," kata dia.
[63] Di kantor pusat ICG di Brussel, terdapat Gareth Evans (President & CEO), Fabrice Bierny (External Consultant, Operations Management), Helen Brewer (Direktur Keuangan), Neil Campbell (Bagian Informasi), Per Collin (Akuntan Senior), Nathalie De Broyer (Bagian Publikasi), Alain Deletroz (Wakil Presiden Operasi dan Administrasi dan sekaligus Director Program Amerika Latin), Stephen Ellis (Direktur Program Afrika), Jon Greenwald (Wakil Presiden Riset dan Publikasi), Nick Grono (Direktur Riset), Alba Lamberti (Manajer Perwakilan Ekonomi Eropa), Igor Larine (Bagian Operasi), Francesca Lawe-Davies (Analis Riset), Maria Sanchez-Marin Melero (Asisten Eksekutif untuk Presiden/ Bagian Dewan Perwakilan), Victoria Roche (Asisten Administratif /Resepsionis), Joelle Scutari (Akuntan), Andrew Stroehlein (Direktur Media), Rachael Taylor (Asisten Administrasi), Robert Templer (Direktur Asia Program), Johanna van der Hoeven (Manajer Sumber Daya Manusia), Dan Vexler (Riset Analis), Nicholas Whyte (Direktur Program Eropa).
Di Kantor Advokasi Washington D.C., berkantor staf ICG yaitu: Mark Schneider (Wakil Presiden Senior dan Penasihat Khusus untuk Amerika Latin), Jennifer Leonard (Bagian Advokasi), Marjorie Ligelis (Akuntan), Rob Malley (Direktur Program Timur Tengah/Afrika Utara), John Norris (Penasihat Khusus untuk Presiden), Gregory Pollock (Manajer Kantor), John Prendergast (Penasihat Khusus Untuk Presiden), Kathy Ward (Direktur Deputi)). Adapun di New York, disana terdapat staf ICG, yakni: Nancy Soderberg (Wakil Presiden Urusan Multilateral), Carole Corcoran (Konsul Jenderal; Direktur Proyek Khusus), Julia Grossman (Manajer Perkantoran), Amy Hunter (Direktur Pemberdayaan Individu dan Korporat). Sementara di London, ICG dibantu oleh staf seperti: Charles Radcliffe (Vice President Finance and Government Relations), Nicholas Wright (Fundraising Officer]. Akhirnya, ICG juga menyediakan kantor advokasinya di Russia yang diwakili oleh Boris Kashnikov (Director and Liaison Officer).
Lebih lanjut, kita akan melihat staf ICG yang terdapat di lima benua. Di Afrika, staf ICG dibagi kepada dua kawasan: Afrika Tengah dan Afrika Barat. Di Afrika Tengah dipimpin oleh Francois Grignon, dibantu oleh Noel Atama (Junior Research Analyst), Pierre Bardoux Chesneau (Analyst), David Mozersky (Analyst), Anne Murambi (Office Manager), Levi Ochieng (Analyst), Jim Terrie (Senior Analyst), dan Esther Gichere Wamuyu (Administrative Assistant). Adapun di Afrika Barat dipimpin oleh Comfort Ero, Alfred Lansana (Office Manager), Yamina Mokrani (Junior Research Analyst).
Di benua Asia, ICG membuka tiga perwakilan yaitu di Asia Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Di Asia Tengah, dipimpin oleh David Lewis, yang dibantu oleh Gulchehra Askarova (Assistant), Saniya Sagnaeva (Analyst), Aibek Sultanov (Office Manager). Sementara di Asia Selatan, dipimpin oleh Samina Ahmed, yang dibantu Niamutullah Ibrahimi (Research Assistant), Amber Mahmood (Office Manager), Filip Noubel (Senior Analyst), Pankaj Malla (Office Manager), Suman Pradhan (Analyst), Vikram Parekh (Senior Analyst), Muddassir Rizvi (Analyst), Mohammed Sharif (Office Assistant). Akhirnya, untuk kawasan Asia Tenggara, ICG dikomandoi oleh Sidney Jones, yang dibantu oleh Mahlil Harahap (Office Associate), Lanny Jauhari (Office Manager).
Di benua Eropa, staf ICG memang ditempatkan di kawasan khusus, yakni: Bosnia, Gorgia, Kosovo, Serbia dan Montenegro. Di Bosnia, ICG cuma menempatkan Senad Slatina sebagai analis. Di Gorgia, ICG mempekerjakan Damien Helly sebagai direktur Caucasus Project dan Giorgi Gogia (Analyst and Office Manager). Untuk kawasan Kosovo, ICG di bawah pimpinan Alexander Anderson, yang dibantu oleh Naim Rashiti (Office Manager), Ardian Arifaj (Analyst). Sementara di kawasan Serbia dan Montenegro, ICG dipimpin oleh James Lyon yang dibantu oleh Jasmina Jaksic (Office Manager), Milanka Saponja Hadzic (Research Analyst).
Untuk benua Amerika, wakil ICG hanya ditempatkan di Kolombia/ Andes yang dipimpin oleh Fernando Mora. Adapun untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, ICG, menempatkan Joost Hiltermann sebagai Direktur proyek Timur Tengah dan Hugh Roberts Direktur Afrika Utara. Mereka berdua dibantu oleh Robin Bhatty (Senior Analyst), Loulouwa Al-Rachid (Analyst), Romain Grandjean (Research and Liaison Officer), Reinoud Leenders (Analyst), Gary Sussman (Analyst), Adiba Mango (Research Associate), Emily Qamar (Office Manager], Mouin Rabbani (Senior Analyst).
[64] Efraim Inbar, "Israel Strategy," Middle East Review of International Affairs, Vol. 2, No. 4, 1998, hal. 10-17.
[65] ICG Indonesia Briefing Paper, "Indonesia: Violence and Radical Muslims," 10 Oktober 2001, hal. 1.
[66] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 1.
[67] Rizal Sukma, 2002, Indonesia's Islam and September 11, h. 182.
[68] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 2.
[69] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 2-3.
[70] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 3.
[71] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 4.
[72] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 4.
[73] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 5.
[74] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 5.
[75] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 6.
[76] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 6.
[77] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 7.
[78] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 8.
[79] ICG Indonesia Briefing Paper, 2001, Indonesia, h. 14.
[80] ICG Indonesia Briefing, Al-Qa'idah in Southeat Asia: The Case of the Ngruki, 8 Agustus 2002 dan dikoreksi pada 10 Januari 2003, hal. 1.
[81] ICG Indonesia Briefing, Al-Qa'idah in Southeat Asia, 2002, hal. 1.
[82] Irfan Suryahardi Awwas (ed.), Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba'asyir, Yogyakarta: Wihdah Press, 2003, hal. 35.
[83] "Jejak Ba'asyir di Sungai Manggis," Tempo, 3 November, 2002, hal. 28.
[84] ICG Indonesia Briefing, Al-Qa'idah in Southeat Asia, 2002, hal. 1.
[85] Sidney Jones: Hambali Adalah Petinggi Al-Qaidah, Tempo, 3 November, 2002, hal. 54.
[86] Sidney Jones, "Motivasi Ideologi Aktivis JI Sangat Kuat," 2003.
[87] ICG Indonesia Briefing, Al-Qa'idah in Southeat Asia, 2002, hal. 9.
[88] Sidney Jones, "Motivasi Ideologi Aktivis JI Sangat Kuat", 2003.
[89] "Yang Dituduh Teroris Indonesia," Forum Keadilan, No. 45, 24 Februari, hal. 75.
[90] ICG Indonesia Briefing, Al-Qa'idah in South east Asia, 2002, hal. 16.
[91] Irfan S. Awwas, "ICG dan Kesaktian Sidney Jones," dalam Umar Abduh (ed.), Konspirasi Intelejen & Gerakan Islam Radikal, Jakarta: Center for Democracy and Social Justice Studies, 2003, hal. 122.
[92] Dedi Supriadi, Konspirasi di Balik Bom Bali: Skenario Membungkam Gerakan Islam, Jakarta: Bina Wawasan Press, 2003.
[93] "Ba'asyir arrest unlikely to improve Indonesia's security: Megawati under pressure following Bali bombings."
[94] ICG Indonesian Briefing, Impact of Bali Bombings, 24 Oktober 2002.
[95] ICG Indonesian Briefing, "Impact of Bali Bombings", 2002, hal. 6.
[96] ICG Indonesian Briefing, "Impact of Bali Bombings", 2002. hal. 6.
[97] ICG Indonesian Briefing, "Impact of Bali Bombings", 2002. hal. 6.
[98] TNI Watch, 23/2/2000.
[99] ICG Asia, "Indonesia Backgrounder: How the Jamaah Islamiyah Terrorist Network Operates", No. 43, 11 Desember 2002, hal. 1.
[100] ICG Asia, Indonesia Backgrounder, No. 43, 2002, hal. 4.
[101] Ibid.
[102] Ibid.
[103] icg Indonesia Briefing Paper, Indonesia: Violence and Radical Muslims, 2002, hal. 3-4.
[104] ICG Asia Indonesia Backgrounder, No. 43, 2002, hal. 5.
[105] Kompas, 18 Desember 2002.
[106] ASNLF, "Panik Dengan Massa Ba'asyir, RI Kambing-Hitamkan TNA," Press Release, 31 Oktober 2002.
[107] "Keluarga Abu Jihad: Abu Jihad Punya Hubungan Dekat dengan Sjafrie Sjamsoeddin."
[108] ICG Asia Indonesia Backgrounder, No. 43, 2002, hal. 5.
[109] Sidney Jones, "Motivasi Ideologi Aktivis JI Sangat Kuat", 2003.
[110] "Who is Rohan Gunaratna the "terrorist expert" ?
[111] Ibid.
[112] Ibid.
[113] ICG Asia Indonesia Backgrounder, No. 43, 2002, hal. 20.
[114] "Resolusi Kongres Mujahidin II di Asrama Haji Donohudan Solo," http://majelis.mujahidin.or.id/index.php
[115] Mengenai kronologi penangkapan, al-Farouq, baca Ken Conboy, Intel: Inside Indonesia's Intelligence Service, Jakarta: Equinox, 2004, hal. 232-248.
[116] "Jejak Intelijen di Balik Al-Farouq," dalam Umar Abduh, "Konspirasi Intelijen", Tempo, 25 Nov - 1 Des. 2002, hal. 69-87.
[117] ICG Asia Report Jamaah Islamiyah in South East Asia: Damaged But Still Dengerous, No. 63, 26 Agustus 2003, hal. 1.
[118] Wawancara dengan Santri Krapyak, Yogyakarta, April 2001; Wawancara dengan Mahasiswa UII Yogyakarta, April 2001.
[119] ICG Asia Report No. 63, 2003, Jamaah Islamiyah in South East Asia, h. 3.
[120] Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Satu Dasawarsa, 2003.
[121] Norm Dixon, "How the CIA created Usamah bin Ladin".
[122] "The CIA's Intervention of Afghanistan: Interview with Zbigniew Brzezezinski, President Jimmy Carters' National Security Adviser.
[123] Norm Dixon, "How the CIA created Usamah bin Ladin".
[124]"The CIA's Intervention of Afghanistan..."
[125] Sidney Jones," Terluka, tapi Masih Bernyawa," Tempo, 10 Oktober 2003.
[126] Zachary Abuza, Funding Terrorism in Southeast Asia, 2003, hal. 13.
[127] ICG Asia Report, Jamaah Islamiyah in South East Asia, No. 63, 2003, hal. 11.
[128] Zachary Abuza, Funding Terrorism in Southeast Asia, 2003, hal. 14.
[129] ICG Asia Report, Jamaah Islamiyah in South East Asia, No. 63, 2003, hal. 31.
[130] "US-Southeast Asia Relations After Crisis: The Security Dimension," Background Paper untuk The Asia Foundation's Workshop on America's Role in Asia, Bangkok, 2000, hal. 22-24. Rizal Sukma, "Islam and Foreign Policy in Indonesia: Internal Weakness and the Dilemma of Dual Identity," Working Paper untuk The Asia Foundation's Project on Domestics of Foreign Policy in Asia, 1999, hal. 1-65.
[131] Neguin Yavari, "Muslim Communities in New York City," ISIM Newsletter, No. 10, 2002, hal. 35.
| ||||
published by CeDSos : with the courtecy of Ustadz DR H. Agus Maftuh
Abegebriel Redaksi / editor CeDSoS: redaksi@cedsos.com design by FaMe 2007 |