MEMBANGUN FILSAFAT
ARSITEKTUR
Dosen:
Dr. Ir. H. Rhiza S. Sadjad, MSEE
(rhiza@unhas.ac.id)
Mahasiswa:
Debbie A. J. Harimu
(harimu@plasa.com)
|
PROGRAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS
HASANUDDIN 2005 |
Apakah Arsitektur ?
Arsitektur
bukanlah barang baru, sejak dulu menjadi bahan perbincangan, diskusi dan
kekaguman bahkan ada pula yang dinista. Sampai kinipun cukup banyak pendapat
dan telaah tentang arsitektur. Mulai dari metode merancang, teori, sampai pengaruh
dan apresiasi arsitektur. Tak heran jika
arsitektur memiliki definisi yang banyak dan beragam. Pada zaman Vitruvius
arsitektur identik dengan gedung (termasuk kota/ benteng, aquaduct/instalasi
air) tetapi kini kata arsitektur juga
dipakai oleh disiplin ilmu lain seperti istilah “arsitektur computer”,
“arsitektur internet”, “arsitektur kapal”, ”arsitektur strategi perang” bahkan ada istilah “arsitektur parsel”. Secara
gamblang istilah-istilah itu merujuk pada gagasan atau ide rancangan yang akan
diwujudkan menjadi nyata.
Secara
spesifik arsitektur adalah keseluruhan proses mulai dari pemikiran/ ide/ gagasan, kemudian menjadi
karya/ rancangan, dan diwujudkan menjadi hasil karya nyata yang dilakukan
secara sadar (bukan berdasarkan naluri) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan akan ruang guna mewadahi aktivitas/
kegiatannya yang diinginkan serta menemukan eksistensi dirinya.
Alam
ini adalah ruang nir-batas, ruang
hidup manusia bersama binatang, tumbuhan dan ruang bagi benda-benda alamiah. Berarsitektur
dilakukan secara sadar bukan secara naluri oleh karena itu berarsitektur hanya
bisa dicetuskan setelah melalui proses belajar. Melalui proses belajar arsitektur menjadi dinamis terus berkembang integral dengan perkembangan
budaya/kegiatan manusia. Gua adalah
benda alamiah, fenomena kerja alam yang kemudian
diintervensi oleh manusia guna memenuhi kebutuhan akan
tempat berteduh. Ketika gua dirasa sudah tidak dapat lagi memenuhi perkembangan
kegiatan, manusia mulai berpikir untuk membuat shelter yang kemudian berkembang dan akhirnya tercipta rumah. Berbeda dengan burung yang secara naluri
membuat “ruang” (sarang) tempat bertelur
dan membesarkan anak-anaknya dari dulu hingga kini wujud “sarang”, tidak ada
yang berubah baik bentuk, struktur maupun materialnya.
Ketika
manusia mulai membuat rumah, manusia mengintervensi
alam dengan teknologi. Kemudian, karena kesadaran akan keindahan merupakan
naluri alami manusia, maka ke dalam semua tradisi berarsitektur masuklah unsur seni/estetika. Ketika
kekuatan alam sangat berpengaruh maka arsitektur akan didominasi oleh
struktur/teknologi (contoh: Arsitektur Jepang), tetapi ketika kekuatan alam
tidak terlalu berpengaruh maka arsitektur didominasi oleh unsur seni/ art
(Arsitektur Eropa). Pada awal masa
jayanya arsitektur, unsur art menjadi lebih dominan. Dalam perkembangan
selanjutnya ketika terjadi revolusi industri dan teknologi menjadi sesuatu yang
sangat di-gandrungi maka sekelompok
filsuf berpandangan bahwa seharusnya arsitektur
didominasi oleh teknologi. Issu inipun menjadi debat kusir (Ecole de Beaux Arts vs Ecole Polytechtique di Perancis dan Harvad vs MIT di
Dimanakah posisi
arsitektur?
Arsitektur
berpijak diantara keduanya. Seni dan teknologi bagaikan dua kutub yang berseberangan
dan aspek nilai guna satu titik lain di atasnya, sehingga membentuk segitiga (bentuk
stabil). Seni dan teknologi harus
seimbang saling mengisi, bagaikan tubuh
dan roh. Arsitektur yang didominasi oleh teknologi akan terasa hambar,
kaku, monoton untuk itu diperlukan
seni. Arsitektur yang didominasi oleh seni akan terasa mubazir, over acting dan diragukan
kekuatannya. Arsitektur yang tidak memenuhi aspek nilai guna adalah sampah (seperti garam yang tidak asin).
Apakah seni dalam konteks
arsitektur ?
Nilai
estetika seni dalam arsitektur memang
sulit diukur, penilaian orang terhadap sesuatu apakah esteik atau tidak memang
sangat relative. Namun dapat kita sederhanakan klasifikasi dari kategori
estetika menjadi : keindahan beauty (adanya relasi
formal antara harmoni dan proporsi); kesenangan pleasure (adanya relasi fungsional antara efisiensi dan kenyamanan); kesukaan delight (adanya relasi makna antara asosiasi dan selera). Unsur seni/estetika dalam arsitektur tidak
sebatas ornament sebagai unsur dekoratif tetapi keseluruhan bentuk unity dari objek nyata arsitektur dan lingkungannya. Bentuk struktur bangunan atau material
bangunan juga dapat bernilai estetis jika memenuhi 4 kategori diatas. Dengan
unsur teknologi, seni dan nilai guna,
Apakah arsitektur
dapat disebut ilmu ?
Bilamanakah
disebut ilmiah? Jika memlilki metode, kebenaran dan sistematis. Cara atau jalan
untuk mencari kebenaran dalam ilmu disebut metode. Kebenaran adalah kesesuaian
antara penge’tahu’an dan objeknya.
Objek, metode dan kebenaran dapat di susun satu persatu sehingga membentuk dan
mempunyai arti dalam satu keseluruhan.
Pengetahuan
yang dimulai dari aspek nilai guna
ini pada awalnya dipandang rendah oleh para teoritisi, terutama para pemikir di
Yunani. Sejarah mencatat, dalam perjalannya
arsitektur telah mengembangkan diri
demi pencapaian kebenaran, hingga akhirnya ilmu pengetahuan arsitektur nyaris
setingkat dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain. Pada akhir abad ke-19 arsitektur
mulai dibuka sebagai satu departemen/jurusan tersendiri sehingga profesi
arsitektur semakin diakui(naik kelas tidak setara lagi dengan budak). Jadi,
supaya tetap eksis sebagai ilmu pengetahuan,
arsitektur tidak saja harus mengandung unsur seni, teknologi
(pengetahuan praktis) dan nilai guna tetapi harus terus melakukan pengembangan pengetahuan arsitektur
itu sendiri. Tidak boleh mandek pada satu kebenaran pengetahuan
arsitektur yang semu atau yang bukan hakekat kebenaran pengetahuan arsitektur.
Bagaimanakah strategi
agar pengetahuan arsitektur dapat berkembang dalam rel hakekat kebenaran
arsitektur ?
Berbeda
dengan disiplin ilmu murni yang cenderung deskriptif - analitis, pengetahuan
arsitektur lebih cenderung prespektif -
sintesis. Pengembangan pengetahuan arsitektur berhubungan dengan lembaga
pengajaran/ pendidikan. Kenyataan saat ini (tanpa mencari kambing hitam) para
lulusan universitas jurusan arsitektur umumnya adalah produk “practice oriented” atau menjadi “arsitek
tukang”. Akibatnya “arsitek tukang” kadang tersesat pada kebenaran arsitektur
yang semu. Karena tidak memiliki dasar pemahaman tentang asritektur yang kuat
“arsitek tukang” cenderung mencontoh pada karya arsitektur yang telah ada,
misalnya bentuk kubah pada atap dan selubung bangunan Ratu Mall Makassar maka bentuk selubung bangunan sejenis men-duplikasi bentuk tersebut (Mall
Panakukang dan Mall GTC termasuk
karya-karya Tugas Akhir mahasiswa S1 UNHAS masa itu) padahal belum
tentu bentuk selubung bangunan tersebut sesuai dengan konteks lingkungan
fisik/alam dan budaya di Makassar (chaotic).
Akibatnya ada konsekwesi-konsekwensi yang harus di bayar antara lain hilangnya
ciri khas arsitektur setempat (local
genius), ketergantungan pada energi (untuk peng-kondisian udara dan
pencahayan). Itulah celakanya jika objek arsitektur yang dijadikan contoh
(dianggap suatu kebenaran) ternyata pada waktu yang panjang (long term)malah menimbulkan penurunan
kualitas lingkungan dimana objek arsitektur itu berada (ternyata kebenaran yang
semu ).
Model
pendidikan arsitektur yang “practice
oriented” harus diganti dengan kegiatan “riset akademik”. Dalam kegiatan riset akademik telah tercakup
filsafat ilmu yang dapat dijadikan landasan intelektual bagi kegiatan keilmuan.
Studio
perancangan dijadikan “back bone”
pengajaran pada level S1, sedangkan riset akademik pada level
ini bersifat evaluasi kelayakan dan efisiensi
objek arsitektur yang akan
direalisasi. Dengan demikian setiap pengambilan keputusan pada tugas studio per
Gambar di file terpisah |
Diagram
proses berarsitektur |
ancangan
didasarkan pada hasil-hasil riset akademik sehingga keputusan yang diambil
mendekati penyelesaian masalah yang nyata (prespektif
dan reality). Pada level S2
riset akademik ditekankan pada melatih
kepekaan untuk membaca dan mendeskripsikan fenomena actual yang ada dengan
cermat (evaluasi pasca huni). Pada
level S3, riset ditekankan pada kemampuan melihat kedepan. Riset
pada level ini mampu memberikan sumbangan yang nyata bagi pengembangan ilmu
pengetahuan arsitektur, di mana hasil riset ini dapat dipergunakan sebagai
tumpuan bagi pengajaran pada level S1 dan S2 . Diharapkan
dengan memasukkan pengajaran riset akademik sejak awal, para calon ilmuwan
arsitektur akan menjadi terlatih baik kemampuan intuisi, analitis, dan
sintesisnya dalam mengambil setiap
keputusan yang benar. Keputusan sang arsitek harus benar dan tepat, jika keliru
maka itu menjadi fatal. Secara nyata akibatnya bangunan yang dibangun roboh
saat digunakan, secara tidak nyata arsitektur akan mempengaruhi lingkungan dan perkembangan
budaya setempat. Ilmuwan arsitektur tidak mengambil keputusan hanya berdasarkan
pertimbangan nilai guna(utilistik;
profit-demand) dan pragmatis
tetapi berdasar kebenaran yang sesungguhnya (memanusiakan manusia penggunanya
sesuai dengan konteks lingkungan alam dan budaya). Jadi dengan filsafat ilmu
(arsitektur) sebagai rel-nya dan riset
akademik sebagai gerbongnya akan menghantar ilmu arsitektur pada perkembangan
ilmu yang hakiki. Dengan demikian para (lulusan) ilmuan arsitektur tanpa sedikitpun rasa gamang dan ragu,
berkarya dengan penuh rasa tanggung jawab terhadap dirinya, lingkungannya dalam
kehidupan nyata lewat ilmu arsitektur.
Dengan
melakukan penimbaan pengetahuan arsitektur secara terus menerus, kita (dengan
rendah hati) dapat dengan sadar mengetahui posisi keberadaan dalam konteks di
bawah ini: Apakah kita….
Tahu
bahwa kita tahu tentang arsitektur
Tahu
bahwa kita tidak tahu tentang arsitektur
Tidak
tahu bahwa kita tahu tentang arsitektur
Tidak
tahu bahwa kita tidak tahu tentang arsitektur.
(Debbie
A.J. Harimu, mahasiswa program Doktor Ilmu-Ilmu Teknik Pasca Sarjana UNHAS
Makassr)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pusaka
Budihardjo, 2001. Menuju Arsitektur
---------------, 2001.Jati Diri
Arsitektur
Fletcher’s Sir Banister 1996. A
History of Architecture Fist edition1896. Architectural press.London
Mangunwijaya. 1988. Wastu Citra.
Gramedia.
Sachari, 2001. Seni Desain Teknologi
antara Konflik dan Harmoni, Nova.
Salura, 2001. Berarsitektur Membuat
Menggunakan Mengalami dan Memahami Arsitektur. Architecture and Communication.
Santosa, 2000 Suistainable
Environmnetal Architecture. International Seminar. ITS.
Snyder J. 1984. Pengantar
Arsitektur. Erlangga.
Suryasumantri. 2005. Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan.
Ven Cornelis van de. 1987. Space in Architecture. Van Gorcum and
Comp.