MATERI TARBIYAH
S Y A H A D A H (1)



Bismillah Walhamdulillah Was Salaatu Was Salaam 'ala Rasulillah
Number: isnet/2529; Att: is-mod, is-lam

Nomor: tarbiyah/29oct94/557
Bismillaahirrahmaanirrahiim


Assalamu'alaikum wr.wb.

                                                    72 baris


                       S Y A H A D A H (1)


  " Katakanlah, "Hai ahli Kitab, marilah kita kepada kalimat
    yang sama antara kami dan kamu yaitu bahwa TIDAK ADA YG
    KITA SEMBAH SELAIN ALLAH, dan tidak kita mempersekutukan-
    Nya dengan sesuatu apapun juga.  Dan tidak pula sebagian
    kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain
    dari Allah.  Maka jika, mereka berpaling katakanlah,
    SAKSIKANLAH BAHWA SESUNGGUHNYA KAMI ADALAH MUSLIM"
    ( Ali 'Imran: 64)


   Pemahaman tentang syahadah, sebagai pilar utama dienul Islam,
menjadi urgens, apalagi ketika pendekatan fiqhiyah mendominasi
kaum Muslimin dalam memahami diennya.  Padahal fiqh dan cabang-
cabang tsaqofah Islamiyah itu sendiri berpangkal pada syahadah
ini.  Bahkan secara umum tsaqofah islamiyah bertumpu pada tsaqo-
fah ta'hiliyyah (doktrin-doktrin Islam).  Karenanya tak heran
kalau akhirnya muncul kontradiksi-kontradiksi yang mengenaskan.
Perdebatan tentang fiqh shallat hangat dan kadang mengalahkan
hangatnya ukhuwah.  Padahal seselai shallat kaum Muslimin berdo'a
"Allahumaghfir lil Muslimina wal Muslimat..."
"Robbana firlana wali ikhwanina..."
memohon ampunan bagi seluruh kaum Muslimin dan saudara-saudara
seiman.  Dalam shallat kita bersumpah;
"Sesungguhnya shallatku, ibadahku, hidupku, dan matiku aku serahkan
kepada Rabb semesta alam".
Dalam shallat kita menutup aurat secara rapi.
Dalam shallat kita membesarkan hanya nama Allah,
dalam shallat di surat al fatihah kita memohon kepada Allah agar
ditunjuki jalan yang lurus, jalan para Nabi, shidiiqiin, shalihin,
dan syuhada, dalam shallat kita berjanji untuk meminta tolong hanya
kepada Allah, dan menyembah hanya Allah saja.
Lalu setelah selesai shallat?
Bagaimana sikap kita dengan teman dan saudara seiman lainnya?
Waktu kita, hidup dan mati kita, benarkan untuk Allah dan perjuangan
menegakkan dien-Nya ?
Aurat, jilbab, disimpan dimana?
Nama Allah atau nama universitas, suku, ras dll yang masih kita
agungkan?
Lalu jalan lurus yang telah tersedia kenapa dimohonkan saja
dan tidak ditapaki?
Benarkan kita hanya menyembah Allah saja dengan asyaddu hubalillah
cinta yang bersangatan, mengalahkan cinta-cinta kita kepada selain
Allah?

   Inilah kontradiksi lebar yang ada.  Dimana syahadah kita belum
menempati maknanya yg utuh dalam jiwa.  Syahadah masih samar dalam
merah darah kita dan tidak mensibghah (mewarnai) hati kita.
Karena kita jahil terhadapnya, kita bodoh dan tidak mensikapinya
secara tepat.  Karenanya tak heran manakala seorang Muslim bercermin
dalam cermin dien, yang muncul adalah wajah centang-perentang.
Antara Islam dan Muslim (sebagai pelaksana Islam), antara jalan
hidup dan orang yang memasrahkan diri untuk berpedoman dengan jalan
itu tidak matching.  Tidak muncul wajah anggun Islam dalam diri
Muslim sebagai pribadi atau secara kolektif dalam pentas peradaban
masa kini.  Yang ada adalah seorang Muslim yang menerima sebagian
Islam dan menolak bagian lainnya, seorang Muslim yang memandang Islam
dengan kacamata dari luar jati diri dien ini, yang menganggap Islam
hanya sebagai urusan pribadi dan dia sebagai pribadi tak ada pembelaan
apa-apa terhadap urusan dien ini, seorang muslim formal yang nominal.
Tandasnya, Muslim tidak sama dengan pelaksana Islam.  Sungguh paradox
yang mengenaskan.

   Maka tak ada pilihan bagi kita selain kembali kepada jati-diri
kita sebagai pelaksana syahadah, orang yang terikat perjanjian dengan
Allah.  Dalam titik ini kita temui urgensi kembali pada pemahaman
syahadah yang lurus.


Wallahu 'alam bishowwab
abu zahra


key words: syahadah, urgensi pemahaman syahadah, paradox


------------
tarbiyah@isnet.org



Rancangan KTPDI. Hak cipta © dicadangkan.