MATERI TARBIYAH
Tawaazun (3)



Bismillah Walhamdulillah Was Salaatu Was Salaam 'ala Rasulillah
Number: isnet/136; Att: is-mod, is-lam

Nomor: tarbiyah/25jul94/290
Bismillaahirrahmaanirrahiim


Assalamu'alaikum wr.wb.


                       Tawaazun (3)
                      (Keseimbangan)



3.AL-GHIZA AR-RUUHI (SANTAPAN ROHANI)

Karena laparnya Ar-ruuh ini susah terdeteksi, maka sering
terjadi kelaparan ruh ini sudah sangat parah yaitu disaat
terjadinya keguncangan spritual.

Adapun santapan ruh ini adalah zikir. Allah berfirman dalam
Surat Thaha ayat 14: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak
ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat
untuk mengingat-Ku. Pada ayat ini dijelaskan bahwa shalat
merupakan salah satu cara untuk zikrullah (mengingat Allah).
Selanjutnya pada Surat Al-Anfaal ayat 2, Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang
apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman
mereka dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakkal. Ayat ini
menjelaskan tingginya sensitifitas ruh orang yang beriman;
hatinya akan gemetar bila mendengar sifat-sifat yang
mengagungkan Allah dan imannya bertambah bila mendengar ayat-
ayat Allah. Dalam Surat Ar Ra'd ayat 28 Allah berfirman:
Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram.

Dalam berzikir kita kenal istilah zikrul-lisaani dan zikrul-
qalbi, yaitu zikir secara lisan yang diikuti oleh hati
(kalbu). Dari ketiga ayat diatas, terlihat dengan jelas bahwa
mengingat Allah (zikrullah) itu bisa dilakukan dengan shalat
yang khusyu', dengan mengingat sifat-sifat keagungan Allah,
dengan membaca ayat-ayat Al-Quran, secara lisan dan diikuti
oleh qalbu (hati). Hasil yang diperoleh dari mengingat Allah
ini adalah (tathmainul qulubu) hati yang tenteram, yaitu hati
yang bersyukur disaat menerima rahmat Allah dan hati yang
bersabar disaat menghadapi musibah.

Ke tiga dimensi (Al-Jasad, Al-Aqal, Ar-Ruhi) harus seimbang
dalam pengertian harus diberi santapan secara seimbang. Jika
kita hanya memberikan santapan fisik saja, tanpa santapan akal
dan ruh, maka kita hanya memuaskan kehendak fisik/jasad, tapi
serta spritualitas yang sangat kering, sehingga hatipun tidak
tenteram. Begitu juga halnya jika terlalu berat pada pemberian
santapan akal saja, tanpa memperhatikan fisik dan ruh, maka
manusia itu ibarat orang yang memiliki pengetahuan, tapi
jasadnya sakit-sakitan dan hatipun tidak tenteram. Apalagi
kalau ilmu yang diperoleh tanpa Al-maabaadi Al-Islamiyah,
manusia yang demikian tidak tahu tujuan hidup, tidak tahu
siapa yang harus diteladani, tidak tahu apa yang harus
dipedomani, serta tidak tahu apa missi dan fungsi manusia ini
diciptakan.

Sebaliknya jika hanya dimensi Ruh saja yang diperhatikan,
tanpa memberikan makanan fisik, dan akal berupa ilmu, terutama
Al-maabaadi Al-Islamiyah, maka cara berzikirpun kehilangan
pedoman sehingga lahirlah aliran Sufi (tanda petik).
Rasullullah S.A.W bukan lagi menjadi teladan dalam bersufi,
ma'rifatul Islam bukan lagi menjadi petunjuk/jalan dalam
bersufi, ma'rifatullah bukan lagi menjadi tujuan dalam
bersufi, dan ma'rifatul insanpun tidak diketahui sebagai missi
dan fungsi manusia dimuka bumi dalam bersufi. Ini mungkin yang
disebut sufi yang nyeleneh.

Wallahu 'alam bissawaab.
Wabillahi taufiq-walhidayah,

Wassalam,

Chairil A. Said.




------------
tarbiyah@isnet.org



Rancangan KTPDI. Hak cipta © dicadangkan.