Berita Terbaru

UNIVERSITAS HASANUDDIN

Muhammad Alif, Sosok Dibalik Jurnal Scopus Q1 Forest and Society Unhas

Journal of Forest and Society (FS) Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin yang berdiri tahun 2016 menunjukkan capaian prestasi luar biasa. Saat ini, FS berada pada posisi atau peringkat Q1 dengan nilai Scientific Journal Rangkin (SJR) tertinggi di Indonesia dalam bidang apapun. Sementara untuk kategori bidang Ilmu Kehutanan (forestry) menempati posisi ke-2 di Asia dan posisi ke-35 di seluruh dunia.

Adalah Muhammad Alif K. Sahide, Ph.D, dosen Fakultas Kehutanan Unhas, yang menjadi sosok kunci dibalik capaian ini. Alif adalah pengelola, sekaligus Editor in Chief Journal FS.

Melalui wawancara pada Kamis (03/06), Alif menjelaskan kiat dan seluk beluk pengelolaan Jurnal FS. Dirinya menekankan pada manajemen waktu, sebab selain mengelola FS, dirinya juga tetap menjalankan tugas pokok sebagai dosen, dan juga sebagai kepala keluarga.

“Pasti ada hal yang kadang-kadang harus kita korbankan. Saya berterima kasih kepada keluarga saya yang banyak berkorban dan pengertian dengan kesibukan saya. Saya mengelola FS sebagai passion, sesuatu yang saya senangi. Sehingga perhatian saya sering tertuju kesini dan tanpa sadar melupakan hal lain. Secara personal, saya memang memiliki ketertarikan kepada ilmu pengetahuan, terutama dalam mengembangkan wadah penyebaran ilmu bagi peneliti muda,” kata Alif.

Sebelumnya, Alif telah mengelola Jurnal “Hutan dan Masyarakat”. Kemudian memutuskan untuk menghadirkan jurnal baru “Forest and Society” dengan ISSN (International Standard Serial Number) yang baru pula. Pertimbangannya, Alif ingin memulai sesuatu yang lebih segar dengan perspektif baru.

Secara khusus, Alif ingin fokus pada wilayah Asia Tenggara, yang selama ini tidak terwakili secara menyeluruh dalam literatur. Memulai hal baru berarti siap pada tantangan besar.

Journal Forest and Society (FS) terinspirasi dari para peneliti yang banyak menerima nobel tertinggi dengan wilayah penelitian di kawasan Asia Tenggara. Para peneliti tersebut bukan berasal dari Asia. Hal ini menunjukkan bahwa Asia Tenggara dan Indonesia memiliki hal-hal empiris material yang dapat digali sebagai bahan riset. Inilah yang diangkat sebagai keunikan bagi FS.

“Sistem kerja kami berdasarkan pada penerimaan naskah. Ketika ada yang masuk, kami akan rapatkan dan diskusikan terlebih dahulu bersama para editor lainnya, untuk memutuskan apakah naskah tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak. Karena lokasi editor yang tersebar di berbagai tempat, pertemuan biasanya berlangsung virtual,” jelas Alif.

Hal paling berkesan selama mengelola jurnal FS mengenai biaya penerbitan yang dikenakan kepada penulis artikel, atau yang lazim disebut Article Processing Charge (APC). Awalnya, semua editor FS menolak penerapan APC, dan bersedia bekerja dengan semangat voluntir. Namun dengan pertimbangan bahwa FS juga membutuhkan dana operasional, maka APC diterapkan.

“FS juga hadir sebagai media pengembangan kapasitas dengan berbagai program seperti sosialisasi maupun kunjungan lapangan yang butuh pendanaan. Melalui pembahasan panjang, diputuskan biaya per naskah adalah 300 dolar, dan bebas biaya bagi mahasiswa,” ungkap Alif.

Alif berharap Journal of FS dapat menjadi wadah pengayaan ilmu pengetahuan, serta wadah berinteraksi bagi para peneliti, khususnya peneliti muda. Langkah ini juga diharapkan dapat menyumbang bagi peningkatan reputasi Unhas sebagai perguruan tinggi dengan reputasi global.(*/mir)

Editor : Ishaq Rahman, AMIPR

Berita terkait :

Share berita :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email

This post is also available in: Indonesia

Skip to content