Skip to content

Berita Terbaru

UNIVERSITAS HASANUDDIN

Selamat Dies Ke-59 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas: Mendorong Inovasi Sosial, Mendukung Unhas Humaniversity

Kolaborasi, kata yang cukup sederhana dari arti dan teksnya. Kata benda yang secara harfiah setingkat dengan kerja sama. Tapi bicara hilir dari kata ini bisa saja mengungkap banyak hal. Konteksnya mengalir hingga mendapatkan sesuatu yang berguna untuk yang melaksanakannya. Seringkali ditafsirkan sebagai hal yang tak berwujud namun hasilnya nyata, Bahkan bisa juga sebaliknya, hal dan prosesnya berwujud tapi hasilnya tak bisa dihitung dengan angka dan ukuran formal. Dari sisi itulah semestinya kita membuka ruang pikir dan daya jangkau nalar yang lebih luas bahwa tak melulu kita bicara wujud tapi ada kesempatan yang selalu terbuka dengan mengisi gap itu dengan sebuah pemaknaan “relasi dan interaksi”.

Kolaborasi tak mengenal sekat keilmuan. Pun tidak menjadi domain kepemilikan ilmu berbentuk monodisiplin. Dia lahir, besar dan berarti karena lintas ilmu bernama interdisiplin. Olehnya itu jargon kompetisi menjadi bukan tujuan utama lagi. Lebih baik kolaborasi daripada kompetisi. Pemantik semangat itu sejatinya menggiring manusia pada pola tindak yang lebih terbuka menerima ketidaksamaan. Bahwa manusia harus selalu mencari persamaan dengan dalih kompetisi mencari pemenang adalah lagu lama yang tidak mungkin cocok untuk semua masa dan umur. Fitrah manusia sebagai mahluk sosial tak bisa dihilangkan secara mudah meski bayang-bayang revolusi industri generasi keempat sedang mengalir deras dan tak mungkin terbendung.

Memaknai revolusi industri berarti memahami sebuah perubahan. Perubahan selalu membawa dua sisi yang pastinya tidak semua memberi kenyamanan. Antara menganggap perubahan adalah sebuah gangguan atau malah sebaliknya perubahan adalah peluang untuk makin maju. Pilihan ada di subjeknya yaitu manusia. Jika memahaminya sebagai gangguan maka kemungkinan kita susah hijrah dari zona nyaman. Bila memaknainya sebagai peluang maka hal terpenting yang dibutuhkan adalah inovasi. Jangan membayangkan pula bahwa inovasi hanya berlaku pada alat ukur yang bersifat pasti sebagaimana pada wilayah ilmu pasti dipraktekkan. Konsep Society 5.0 yang dikembangkan Jepang semestinya membawa kita pada alur berpikir yang kontekstual bahwa Inovasi Sosial adalah juga sebuah keharusan.

Inovasi Sosial (IS) dari berbagai referensi mengacu pada praktik sosial dan dampak pada sistem sosial tertentu. Swyngedouw (2005) menggangap bahwa inovasi sosial adalah “third way’ alias jalan tengah untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh pasar dan kegagalan negara. EU (2012) menekankan pada konten kreatifitas pada aspek sustainability. Frost dan Sullivan dalam beberapa bukunya memandang inovasi sosial sebagai kolaborasi antara teknologi dan model bisnis yang menghasilkan creating shared value (CSV). Ada empat prinsip Frost dan Sullivan yang patut dijadikan rujukan: satu, menyelesaikan masalah sosial butuh multi-disiplin; dua, kebutuhan dibuat dari perspektif pengguna (social demands); tiga, isu IS selalu berbeda dan unik; serta keempat, IS tidak bersifat pengulangan sehingga kreatifitas dan pengembangan mutlak dilakukan. Bahkan oleh Cauller-gricem Mulgan, dan Murray (2012) telah membuat spiral of social innovation yang terdiri dari enam langkah: prompts, proposals, prototypes, sustaining, scaling and systemic change. Pengembangan IS kuncinya ada pada kolaborasi.

The Economist Intelligent Unit Study dan Nippon Foundation tahun 2016 menguji 45 negara untuk melihat indeks inovasi sosial di dunia (Forbil, 2019). Empat indikator digunakan sebagai key value, yaitu: satu, kebijakan dan kerangka institusi. Yang kedua merujuk pada kondisi finansial. Selanjutnya terkait dukungan masyarakat (society). Dan yang terakhir entrepreneurship. Secara overall peringkat, Indonesia ada di peringkat 37 dari 45 negara. Namun ada yang cukup menggembirakan bahwa peringkat tertinggi yang dicapai Indonesia ada pada indikator society alias dukungan masyarakat. Ini penanda bahwa Indonesia cukup kuat dalam konteks volunterisme, partisipasi politik yang luas, kedekatan masyarakat dengan kegiatan IS yang massif, serta modal sosial berupa tingkat kepercayaan antar masyarakat.

Apa yang ditampilkan peringkat indeks IS itu tentu saja bukan berita yang terlalu membahagiakan. Sebagai negara besar dengan keberkahan sumber daya yang nyaris lengkap semestinya bisa jauh lebih tinggi capaian yang digapai. Tentu optimisme terus harus digalang lewat kolaborasi lembaga publik dan pribadi. Pada ruang itu, kampus adalah tetap pilar utama penarik gerbong besar bangsa ini. Ya, saya mengajak untuk lebih mengenal dengan salah satu unit kerja di Unhas yang punya tanggung jawab sangat besar mewujudkan inovasi sosial yaitu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Di penghujung tahun 1950-an, di Makassar, Mr. Tjia Kok Tjiang mendirikan perguruan tinggi swasta bernama Fakultas Tata Praja Universitas 17 Agustus 1945. Menjadi Fakultas Tata Praja (FTP) pertama di kawasan timur Indonesia di masa itu. Disertai niat tulus membuka ruang belajar yang lebih luas yang simultan dengan semangat mengembangkan keilmuan, FTP ini diintegrasikan dengan Unhas yang baru juga berdiri di tahun 1956.

Upaya integrasi tata praja ini tidaklah bisa dikatakan mudah. Sebagaimana sebuah kelaziman menggabungkan dua unsur tentulah tak gampang yang diharapkan. Ada sejumlah tantangan yang tidak ringan menyertai langkah besar tersebut. Secercah cahaya akhirnya muncul diawal tahun 1960 an, tepatnya pada saat Dies Natalis ke-4 Unhas. Namun perjuangan itu tenyata masih butuh babak perpanjangan waktu.

Waktu yang ditunggu akhirnya datang juga. Selembar surat keputusan yang dinanti-nanti laiknya kelahiran bayi yang lama diperjuangkan. Surat Keputusan Menteri P.P & K No: A/4692/U.U/5/1961 tanggal 30 Januari 1961 menandai pembentukan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik menjadi fakultas keempat di Unhas.

Diawali dengan 2 jurusan di dalamnya, yaitu Jurusan Tata Praja (yang kemudian dikenal sebagai ilmu administrasi negara/publik) dan Jurusan Publisistik (selanjutnya dikenal sebagai ilmu komunikasi). Publisistik ini merupakan peralihan dari Perguruan Tinggi Pers dan Publisistik Sulawesi yang sebelumnya didirikan di Makassar oleh sebuah Yayasan atas dorongan dan bantuan penuh Panglima Kodam Hasanuddin Brigjen M. Yusuf.

Catatan sejarah pengabdiannya mencatat bahwa fakultas ini sempat mengalami beragam “penyesuaian” sebagai konsekuensi organisasi milik publik. Tahun 1977, fakultas ini harus rela bergabung bersama dengan Fakultas Ekonomi dan Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya (FIISBUD). Hingga kemudian pada awal tahun 1983, struktur itu kembali berubah. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik balik haluan menjadi fakultas sendiri dengan akronim resmi FISIP.

FISIP dulu dan kini tentunya sudah sangat jauh berbeda. Saat ini mengasuh 7 prodi S1. Nama prodinya yang identik dengan nama fakultas yang terdiri dari “dua bagian ilmu besar” yaitu ilmu sosial dan ilmu politik. Tujuh prodi itu adalah Sosiologi, Antropologi, Ilmu Hubungan Internasional, Ilmu Politik, Ilmu Pemerintahan, Ilmu Administrasi dan Ilmu Komunikasi. Selain itu juga mengasuh 6 prodi S2 yaitu Magister Sosiologi, Antropologi, Ilmu Politik, Ilmu Administrasi, Ilmu Komunikasi dan Ilmu Pemerintahan. Memiliki 4 prodi S3 yaitu Ilmu Administrasi, Ilmu Antropologi, Sosiologi dan Ilmu Komunikasi. Total membina 17 prodi.

Bicara akreditasi prodi, FISIP adalah tempat rujukan menjamin kualitas sembari terus memperbaiki proses. Lewat usaha yang konsisten dengan disertai kesadaran intelektualitas yang tidak pernah surut menjadikan capaian akreditasi nasional fakultas ini menggapai kejayaan. Keseluruhan Prodi S1 (ada 7) sapu bersih terakreditasi “A” BAN-PT. Untuk Prodi S2, empat dari enam prodinya sudah mengantongi akreditasi A (satunya ‘B’ dan satu lagi prodi baru). Sedangkan Prodi S3, masing-masing satu prodi dapat A dan B, dan dua sisanya prodi baru. Secara prosentase 12/17 alias 70,58% terakreditasi unggul. Loncatan prestasi yang tentunya tak mudah dibangun dalam sekejap waktu. Bahkan Departemen Ilmu Administrasi mencatat hattrick dengan 3 prodinya (S1,S2,S3) mendapatkan akreditasi A.

Tak lupa mengarahkan target ke level internasional, FISIP kini pun telah “mengglobal” melalui akreditasi internasional. Prodi S1 Ilmu Hubungan Internasional membuka pintu global itu. Penghujung 2017, mendapatkan pengakuan standar internasional dari AUN-QA. Tak sampai disitu saja, ibarat dunia politik ada aliran yang terus mengalir dan laksana dunia sosial ada rangkaian yang terus tersambung. Prodi Ilmu Komunikasi mengikuti jejak kedua dari AUN-QA di tahun 2019. Prodi Ilmu Politik dan Ilmu Administrasi akan divitasi di Nopember 2020. Politikus tak pernah hanya memiliki satu akal dan satu rencana. Pakar sosial tak sekalipun kehilangan jawaban meski perubahan indentik dengan sesuatu yang tidak pasti.

Ditopang SDM dengan kualitas sangat baik. Fakultas ini punya 129 dosen tetap aktif. Sekitar 64 % diantaranya bergelar Doktor. Didukung 26 professor aktif dengan keahlian yang beragam. Modal yang sangat besar untuk menghasilkan cerdik cendikia, pemikir dan ahli politik serta ilmuwan sosial hingga pemimpin masyarakat.

Capaian dan kinerja istimewa itu adalah kerja kolektif sivitas akademika FISIP, dan pastinya tidak lepas dari ‘kelihaian’ Sang Dekan, Prof. Armin. Tipikal Dekan yang tak bisa diam ini dibarengi dengan semangat yang tak pernah surut. Sifatnya yang sangat suka guyon hingga kadang tak mengenal waktu berbanding terbalik dengan tampilannya yang sekarang mengingatkan kita pada aktor film “007”. Salah satu pejabat yang paling rapih dan necis di Unhas. Sangat menyenangi olahraga yang pakai raket sambil dikombinasikan dengan olahraga otak yang identik dengan 28 kartu itu. Tentu saja apa yang dicapainya juga hasil kerja para Dekan, pimpinan dan sivitas akademika FISIP sebelumnya. Sebuah prestasi lahir dari perjalanan panjang dan secara konsisten diperjuangkan.

Satu fakta yang tak bisa dipungkiri bahwa nama besar FISIP makin dikagumi karena sumbangsih para alumninya. Tak terhitung alumninya yang telah berprestasi di bidangnya masing-masing. Kalau menyebut nama pimpinan daerah atau anggota legislatif khususnya yang dari kawasan timur Indonesia serta pelaku usaha pribadi, tak sulit mencari bahwa mereka pernah “menghabiskan waktu” di pelataran FIS yang terkenal itu.

30 Januari 2020, FISIP Unhas memasuki usia 59 tahun. Puncak perayaannya telah dilaksanakan dengan meriah, Minggu (09/02). Umur yang tentunya sudah kategori sangat matang. Namun pengabdian tak pernah mengenal tua. Menjadi pusat rujukan ilmu sosial dan ilmu politik di Asia Tenggara berbasis benua maritim adalah rajutan cita-cita utama nan mulia yang tak pernah padam.

Selamat Dies Natalis ke-59 FISIP Unhas. Bersama, Bersatu dan Berjaya adalah semangat pengabdianmu. Membangun manusia inklusif menjadi penanda tanggungjawabmu. Pengukuh cita etika dan ilmu mengabdi, wujudkan karya dan kreasi. Penjaga citra alamamater tercinta. Salah satu garda terdepan Unhas mewujudkan Humaniversity.

#Unhas
#Communiversity
#Humaniversity
#CatchWCU

Berita terkait :

Share berita :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email

This post is also available in: Indonesia