Berita Terbaru

UNIVERSITAS HASANUDDIN

Unhas Gelar Webinar Series Bahas Dampak Covid-19 Bagi Kalangan Perempuan

Universitas Hasanuddin melalui Center of Excellence for Interdisciplinary and Sustainability Science (CEISS) kerja sama dengan Partnership for Australia-Indonesia Research (PAIR) menyelenggarakan webinar series bertema “Covid-19: Crisis with Woman’s Face”.

Kegiatan berlangsung mulai pukul 15.30 Wita secara virtual melalui aplikasi zoom meeting, Senin (29/03).

Hadir sebagai narasumber Rosalia Sciortino Sumaryono (Associate Profesor di Institute for Population and Social Research, Mahidol University, Thailand), Ema Husain (Aktivis hak-hak perempuan) dan Sudirman Nasir (Ketua CEISS dan Dosen FKM Unhas).

Kegiatan resmi dibuka oleh Dekan Sekolah Pascasarjana Unhas, Prof. Jamaluddin Jompa, Ph.D. Dalam sambutannya, Prof. Jamal mengatakan bahwa isu gender adalah bagian dari interdisiplin, bagaimana upaya untuk melihat masalah dan menyiapkan solusi secara komprehensif.

“Sekolah Pascasarjana Unhas berusaha menjadi solusi terhadap masalah dan tantangan gender. Kita punya program magister khusus prodi Gender, yang termasuk langka di Indonesia. Untuk Unhas sendiri, menanggapi isu tersebut kita ada kajian khusus gender dan SDGs Center yang memiliki divisi khusus gender.  Pembicaraan isu ini bisa memberikan perspektif baru dan mungkin ada solusi-solusi terkait women dimension,” jelas Prof Jamaluddin.

Materi awal disampaikan oleh Rosalia Sciortino yang memberikan pandangannya terkait “Dimensi Gender Pada Covid-19 di Asia Tenggara”. Menurutnya, Covid-19 bukan hanya berkaitan pada aspek masalah medis atau hanya masalah wabah semata. Namun, Covid-19 saat ini menjadi menunjukkan kegagalan sistem dalam tingkat lingkungan, ekonomi dan keadilan gender.

“Covid juga dilihat dengan syndemic, satu sistem sosial yang gagal mempengaruhi sistem kesehatan. Wabah ini bukan hanya masalah medis, tapi juga dilihat secara komprehensif. Sangat diperlukan disagregated data. Tapi sayangnya statistik saat ini, kita tidak tahu berapa perempuan, kelas tinggi, kelas bawah, maupun grup etnis yang terdampak. Mungkin data ini ada, tapi tidak dikumpulkan atau mungkin memang tidak dilakukan. Padahal data  itu sangat penting,” jelas Rosalia.

Lebih lanjut, beliau menuturkan ketidakadilan gender sudah ada sebelum Covid. Namun, sejak pandemi semakin memperburuk ketidakadilan tersebut. Salah satu dampaknya adalah banyaknya perempuan yang kehilangan pekerjaan.

Di Kamboja, paling banyak mengalami pemotongan pendapatan adalah perempuan. Perlindungan terhadap pekerja sosial hanya ditujukan bagi sektor formal, sementara perempuan yang banyak di sektor informal tidak memiliki perlindungan sosial.

“Kekerasa terhadap perempuan juga meningkat selama pandemi. Seperti perkawinan dini, human traficking, dan perkawinan anak. Kondisi ini diperparah dengan pelayanan terbatas karena lock-down, jadi perempuan lebih sulit meminta pertolongan. Stigma dan diskriminasi tambah berat untuk kelompok yang sudah terdiskriminasi, misalnya disabilitas,” papar Rosalia.

Untuk itu, kata Rosalia, harus ada perubahan sosial yang cukup mendalam jika ingin serius menghadapi masalah perempuan. Publik tidak boleh puas dengan new normal maupun yang lama. Perlu ada perubahan di level pemerintah dan publik, dimana kebijakan yang dibuat mengakui bahwa ada masalah ketidakadilan gender.

Rosalia menambahkan dalam menghadapi ketidakadilan gender, perlu adanya perlindungan khusus bagi perempuan, utamanya di sektor informal. Tidak hanya itu, juga dibutuhkan pogram pemerintah yang mampu memberikan bantuan pada perempuan dan anak. Hal ini tentunya harus diintegrasikan pada kebijakan Covid-19 dengan menggunakan pendekatan zero tolerance bagi kekerasan terhadap perempuan.

Pandangan lain juga disampaikan oleh Ema Husain mengenai “Wajah Perempuan Di Masa Covid-19”. Menurutnya, persoalan yang dialami perempuan sebelum Covid sudah ada dan semakin dipersulit selama pandemi. Di Indonesia, jika bicara tentang perempuan, beliau selalu menggunakan Prisnip HAM dan Hak Asasi Perempuan (HAP).

Menurut Ema, skema penanganan Covid-19 belum responsif terhadap perempuan, anak, disabilitas dan lansia. Sejak pandemi, dengan adanya kebijakan untuk tetap tinggal di rumah membuat perempuan dihadapkan pada situasi sulit dan membatasi pergerakan. Pandemi tidak hanya mengancam kesehatan tapi juga ada persoalan yang berdampak pada perempuan baik langsung maupun tidak langsung.

Kegiatan yang dipandu oleh Hasnawati Saleh (Koordinator PAIR) selaku moderator berlangsung lancar hingga pukul 17.30 Wita.(*/mir)

Editor : Ishaq Rahman, AMIPR

Berita terkait :

Share berita :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email

This post is also available in: Indonesia

Skip to content