Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Hasanuddin menerima Kunjungan Kerja Panja Komisi VI DPR RI BUMN di Ruang Video Conference Fakultas Hukum Unhas. Kunjungan tersebut, merupakan rangkaian kegiatan penyusunan naskah akademik, Tim Kerja Panja RUU tentang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN), berlangsung pada Senin (06/09).
Rombongan Komisi VI DPR-RI yang dipimpin oleh Martin Y. Manurung, S.S., M.A. melakukan kunjungan bersama tujuh anggota DPR RI lainnya. Tujuan kunjungan ini sebagai bagian dari tugas DPR RI untuk menyerap aspirasi masyarakat, dalam hal ini sivitas akademika Fakultas Hukum Unhas.
Ketua Tim Panja menyampaikan bahwa banyak perkembangan mengenai BUMN termasuk polemik terkait status hukum BUMN dan kekayaannya yang terus menimbulkan perdebatan, olehnya itu DPR mengajukan RUU tentang BUMN.
Dekan Fakultas Hukum Unhas Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum, bersama empat Guru Besar Fakultas Hukum Unhas, yakni Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.S., Prof. Ir. Dr. Abrar Saleng, S.H., M.H., Prof. Dr. Ahmadi Miru , S.H., M.H. dan Prof. Dr. Aminuddin Ilmar S.H., M.H., menyambut kunjungan kerja Tim Panja RUU BUMN.
Prof. Farida mengatakan kunjungan ini diharapkan akan semakin membuka dan memperluas jaringan kerja sama. Selain itu kunjungan ini dapat menjadi sarana kontribusi FH Unhas terhadap pengembangan dan peran dalam mengoptimalkan penyusunana naskah akademik.
Prof. Dr. Ir Abrar Saleng, S.H., M.H. mengemukakan bahwa RUU ini masih memerlukan beberapa kejelasan baik dari urgensi pengajuan RUU, bentuk dan tujuan didirikannya BUMN. Sehingga dapat mengakomodir Prinsip Hak Menguasai Negara, Prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam pengelolaan BUMN serta mekanisme perekrutan, pengangkatan dan pemberhentian direksi dan komisaris.
Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.S., juga menyampaikan bahwa ratio legis dari RUU BUMN ini berorientasi terhadap menjaga kedaulatan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat, tolak ukurnya ketentuan-ketentuan dalam RUU harus memenuhi Amana Pasal 33 UUD NRI 1945.
Melihat kedudukan BUMN sebagai korporasi, maka kekayaan yang dipisahkan tersebut pengelolaanya adalah sebagaimana korporasi layaknya PT dalam lapangan hukum privat. Ada perbedaan karakter pengelolaan terhadap aset kekayaan negara dengan aset kekayaan negara yang dipisahkan “karena tetap harus kerap berhati-hati”.
Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H.. menuturkan bahwa RUU ini penting untuk memberikan kedudukan status BUMN dengan beberapa catatan penting, yakni masih ada pasal-pasal yang multitafsir dan memungkinkan persoalan baru muncul, seperti pembentukan BUMN Pengelola aset, struktur dewan komisaris yang beranggotakan satu komisaris, dan memaknai merger BUMN (penggabungan).
Persoalan UU BUMN yang berlaku sejak awal sudah memiliki benturan konflik terhadap Undang-Undang lainnya, seperti Undang-Undang Perbendaharaan Negara. selain itu Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.H., juga memberikan pendapatnya bahwa mekanisme pengangkatan dan pemberhentian direksi dan komisaris memerlukan pengaturan lebih detail, misalnya pada batasan umur calon direksi dan rekam jejak keahliannya.
Dengan demikian, diperlukan adanya persetujuan DPR dalam tindakan privatisasi BUMN dan merumuskan kriteria yang jelas tentang cabang produksi yang penting serta menguasai hajat hidup orang banyak. Polemik terkait status modal pendirian BUMN sebagai kekayaan negara yang dipisahkan selama ini menimbulkan ketidakjelasan dalam pengelolaan BUMN. (*/ibe/dhs).
Editor : Ishaq Rahman, AMIPR