Prof. DR. Bambang Waluyo, SH., MH, yang merupakan Plt. Wakil Jaksa Agung Republik Indonesia tahun 2016-2017 dan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan tahun 2013-2016 membawakan kuliah umum bertema “Pendekatan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana” di Baruga Baharuddin Lopa, Fakultas Hukum, Kampus Unhas Tamalanrea, Makassar, Kamis (13/02).
Kuliah umum yang dibawakan oleh Prof. Bambang, yang juga merupakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, ini merupakan rangkaian peringatan Dies Natalis Fakultas Hukum Unhas.
Mengantar kuliah umum, Dekan Fakultas Hukum Unhas, Prof. Dr. Farida Patittingi, SH, M.Hum., mengucapkan terima kasih atas kesediaan narasumber untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada mahasiswa Unhas. Prof. Bambang merupakan salah satu pakar hukum yang bisa dijadikan inspirasi dan memotivasi mahasiswa untuk berperan aktif dalam penegakan hukum di Indonesia.
Mengawali materinya, Prof Bambang Waluyo menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang mana hal ini dijadikan sebagai panglima dalam kehidupan ketatanegaraan. Namun, terkadang beberapa orang memiliki perspektif berbeda sehingga memanfaatkannya untuk perbuatan tertentu.
Untuk menguatkan sistem hukum tersebut, maka Indonesia mengenal Supremasi Hukum sebagai bentuk upaya dalam penegakan hukum dan menempatkan hukum sebagai posisi tertinggi dalam suatu negara untuk melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa intervensi atau gangguan dari pihak manapun termasuk pihak penyelenggara negara.
Perwujudan supremasi hukum menitikberatkan bahwa negara berdasarkan hukum, dijalankan berdasarkan aturan hukum, segala tindakan aparatur negara harus memiliki landasan hukum, serta hukum tersebut harus mewujudkan masyarakat adil, tertib dan tentram.
“Hukum itu norma yang wajib ditaati, dimana konsep pelaksanaannya untuk membatasi kesewenang-wenangan dan melindungi hak hak warga negara,” jelas Prof Bambang.
Dalam pendekatan restorative justice, supremasi hukum diwujudkan melalui proses penegakan hukum untuk mewujudkan terciptanya keadilan dan keseimbangan korban maupun pelaku. Sehingga, restorative justice menempatkan hukum sebagai mediator.
“Tatanan instrumen hukum Indonesia telah mengatur mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan perkara pidana. Namun, terkadang sistem formal tersebut dalam praktiknya sering digunakan sebagai alat represif bagi beberapa kalangan,” kata Prof. Bambang.
Kuliah umum yang dihadiri kurang lebih 200 peserta dari kalangan akademisi Unhas berlangsung hingga pukul 12.00 Wita.(*)
Editor : Ishaq Rahman, AMIPR