Inovasi, satu kata yang lagi tren diperbincangkan. Ibarat menemukan dunianya sendiri, ia menjadi pokok bahasan diskusi tak hanya di kelas-kelas akademik namun juga di ruang-ruang kelompok masyarakat beraktivitas. Itu kenyataan di dunia nyata, jangan bayangkan bagaimana dunia maya menyambutnya?. Mengikuti ritme anak milineal “berselancar” sebagai pekerjaan utama, inovasi bagaikan cerita yang tak berujung. Ia menjadi trending topic yang tiada habisnya, pun sebagai hastag yang tak tergantikan. Kolom komentar dunia media sosial menjadi riuh dan kadang berakhir dengan “kunci kolom” agar tak terjebak dalam perdebatan yang tak perlu itu sebenarnya.
Padahal sejatinya, inovasi itu punya makna yang tak terlalu rumit untuk ditafsirkan. Menurut KBBI, inovasi berhubungan dengan penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya. Intinya sederhana yaitu “pembaharuan” entah dari gagasan, metode atau alat. Namun ia bisa mengalir sejauh mata memandang, membawa kekagetan yang tidak sederhana lagi, bisa secara signifikan mempengaruhi kehidupan dan peradaban manusia.
Tentu saja tak cukup bicara inovasi hanya dari sisi gagasan, metode dan alat semata. Untuk ukuran Indonesia, relevansi dari aspek “governance” adalah keharusan yang tidak bisa ditawar. Kehadiran institusi negara mutlak adanya. Bukan suatu cerita usang jika di negeri gemah ripah loh jinawi ini ada setumpuk tantangan yang masih jadi belenggu. Ketidaksinkronan regulasi adalah masalah yang terus harus diurai dari rezim ke rezim. Sistem yang belum berjalan optimal karena masih sering harus bergantung pada person. Sementara di ujung sana sudah menunggu kompetisi yang mengedepankan kompetensi, efisiensi yang dibangun dengan presisi serta dedikasi yang musti disertai dengan inovasi.
Apresiasi kepada pemerintah tentunya perlu kita tunjukkan. Setidaknya lima tahun terakhir, ada upaya tulus untuk menyikapi inovasi dengan pendekatan kelembagaan. Sebut misalnya di Kemenristekdikti punya eselon 1 yang membidani penguatan inovasi. Di kementerian atau LPNK yang lain pun sejurus, memiliki unit kerja khusus mengurusi inovasi. Hingga kemudian lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) yang akhirnya melembagakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang secara strukural dijabat oleh Menteri Riset dan Teknologi.
Kehadiran BRIN tentu saja melegakan. Ada langkah signifikan yang ditunjukkan. Namun kekhawatiran pasti selalu membayangi. Melembagakan sesuatu seringkali berakhir sampai disitu saja. Padahal yang jauh lebih berat adalah bicara konsistensi dan pemeliharaan atas apa yang sudah dibuat. Optimisme selalu perlu dikedepankan, apa lagi menggandeng riset dan inovasi sebagai satu “bagian”. Rasanya tak banyak yang akan memungkiri kalau inovasi yang maju selalu berasal dari riset yang baik atau kita balik, riset yang maju akan berujung pada inovasi yang baik. Kita boleh berharap lebih jauh dari itu karena domain kita sebagai warga kampus yang tentunya hidup dan menyelami secara dalam dunia riset, walaupun tak semua bisa dihilirisasi dan menjadi “inovasi yang berwujud”
Mengacu pada Global Innovation Index 2019, Indonesia berada di peringkat 85 dari 129 negara paling inovatif di seluruh dunia. Siapkah kita menjadi bagian dari pelembagaan inovasi itu? Masihkah kampus menjadi aktor utama inovasi? SDM yang kompetitif adalah jaminan daya saing. Ya, saya mengajak untuk lebih mengenal dengan salah satu unit kerja di Unhas yang digadang-gadang sebagai penghasil SDM kompetetif yaitu Sekolah Pascasarjana.
Cikal bakal pascasarjana di Unhas mulai di zaman Prof. Amiruddin sebagai rektor sekitar tahun 1980. Dengan mengangkat Prof. Fachruddin sebagai Ketua Tim Persiapan Pendidikan Pascasarjana dengan tugas utama menyiapkan pendidikan pascasarjana level magister untuk kebutuhan peningkatan kapasitas bagi dosen dan tentunya juga untuk kepentingan lebih besar terkait kebutuhan masyarakat dan bangsa. Ada setumpuk pekerjaan yang tak ringan mengingat masa itu belum banyak universitas yang memiliki program magister. Disinilah kelebihan mata hati dan mata batin seorang sosok Prof. Amiruddin yang dikenal sangat visioner.
Kepercayaan Prof. Amiruddin dijawab tuntas dengan sangat elegan oleh Prof. Fachruddin. Dua tahun berselang, melalui SK Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan Kebudayaan No. 325/D/T/1982, Unhas diberi kewenanagn membuka pascasarjana dengan menggadeng IPB sebagai mitra. Dengan model credit earning program ini menawarkan empat prodi yaitu: Sistem Pertanian, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Manajemen Lingkungan dan Ekonomi Sumber Daya. Penghargaan pun diberikan kepada Prof. Fachruddin sebagai pimpinan pertama pascasarjana Unhas bersama dengan Dr. Syamsuddin Rasyid selaku sekretaris.
Memiliki sendiri tentunya jauh lebih baik dan lebih prospektif. Lewat SK Presiden bernomor 52/1986, Fakultas Pascasarjana Unhas (FPs) disetujui untuk dibentuk. Prof. Fuad Hasan, Mendikbud kala itu, pada tanggal 9 Desember 1986 terbang khusus untuk meresmikan fakultas ini. Momen yang sesungguhnya telah cukup lama dinantikan itu akhirnya jadi kenyataan. Namun bukan Unhas jika tak berpikir lebih maju, momentum itu juga menjadi penanda kerjasama Unhas dan IPB untuk membuka program doktor yang pertama yaitu Ilmu Pertanian.
Jejak Prof. Fachruddin sebagai Dekan FPs berpindah ke Prof. dr. Hardjoeno. Hal itu dilakukan selain sebagai regenerasi juga karena Prof. Fachruddin dapat kepercayaan lebih tinggi sebagai Rektor Unhas. Pada saat itu Unhas telah menelorkan 5 orang magister sebagai alumni pertama.
Empat tahun berlalu, kebijakan pemerintah secara administratif merubah nama Fakultas Pascasarjana menjadi Program Pascasarjana (PPs). Prof dr. Hardjoeno kembali dipercaya memimpin. Jabatan yang dahulu bernama Dekan itu juga ikut menyesuaikan menjadi Direktur PPs. Tahun 1992, estafet kepemimpinan beralih ke Prof. Dr. Sumali Wiryowidagdo. Setelahnya, Prof. dr. A. Husni Tanra, PhD. dipercaya sebagai Direktur PPs sejak 1996. Di tahun 2002, Prof. Dr. Ir. M. Natsir Nessa, MS memimpin PPs.
Pertengahan 2006, alih generasi kembali terjadi. Prof. Dr. dr. A. Razak Thaha, MSc. Dipercaya oleh Rektor Unhas saat itu Prof. Idrus A. Paturusi menjabat sebagai Direktur. Pada masa itu Asisten Direktur PPs bertambah menjadi tiga, yang mana pada masa sebelumnya hanya dua orang. Ini adalah bentuk penyesuaian atas dinamika dan kebutuhan kerja yang makin kompleks disertai tantangan menghasilkan alumni yang mumpuni. Tahun 2010, Prof. Dr. Ir. Mursalim dilantik sebagai Direktur PPs untuk melanjutkan mengelola tempat calon dosen ditempa itu.
Tongkat estafet kepemimpinan kembali berganti di tahun 2014. Prof. Dr. Syamsul Bahri, MS memegang tongkat tersebut hingga tahun 2016, yang selanjutnya dijabat oleh Porf. Dr. Muh. Ali, SE., MS hingga tahun 2018. Pada masa itu, penyesuaian statuta Unhas PTN-BH “memaksa” Unhas kembali merubah nama PPs menjadi Sekolah Pascasarjana (SPs). Selain perubahan administratif, pengelolaan prodi juga mengalami penyesuaian. Prodi magister dan doktoral yang monodisiplin diserahkan ke Fakultas untuk dikelola, sementara prodi multidisiplin tetap diasuh oleh SPs.
SPs kini mengasuh 9 prodi magister. Sistem-sistem Pertanian sejak dari awal hadir. Ada prodi yang berbau teknik namun perlu pendekatan multidisipilin: Transportasi, Teknik Perencanaan Prasarana, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah serta Manajemen Perkotaan. Yang terkait kelimuan humaniora juga ada: Jender dan Pembangunan. Selain itu rasa medis pun eksis: Ilmu Biomedik dan Ilmu Kebidanan. Dan terakhir tentunya kebutuhan akan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Untuk doktoral, mengasuh 1 prodi yaitu Ilmu Pertanian.
Bicara akreditasi prodi, SPs juga tak ketinggaan untuk memberi contoh dan tempat belajar memperbaiki proses dan kualitas. Lewat usaha yang tidak ringan, lebih karena persoalan “home base”, capaian akreditasi nasional sangat membanggakan. 4 prodi S2 yang terakreditasi “A” BAN-PT. Sedangkan 5 lainnya masih berusaha menaikkan levelnya. Untuk prodi doktoral telah terakeditasi “A” sehingga secara total mencapai 50% akreditasi “A” BAN PT. Kinerja dan prestasi yang tentunya tak mudah dibangun dalam sekejap waktu.
Walaupun sering terkendala “home base”, namun semangat mengembangkan prodi multidisiplin tetap membara. Kini sedang disiapkan beberapa prodi yang akan segera di rilis sesuai dengan kebutuhan pasar dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. SPs terus berusaha membangun kepercayaan publik. Jumlah peminat pascasarjana yang terus meningkat adalah bukti shahih kepercayaan itu.
Meski pada awalnya tak punya sumber daya manusia sendiri alias masih harus mengambil dari unit kerja lain, namun SPs tak pernah patah pensil. Berbagai kegiatan yang dilakukan cukup memberi bukti betapa pentingnya keberadaan SPs di Unhas. Sekat “home base” sejatinya tak perlu menajdi persoalan, hanya perlu pengaturan yang lebih baik. Dari sini, kita dapat pelajaran bahwa betapa pentingnya “SPIRIT KEUNHASAN” kembali digaungkan dan dijadikan solusi.
Karya luar biasa itu adalah kerja kolektif sivitas akademika Sekolah Pascasarjana, dan pastinya tidak lepas dari kiprah Sang Dekan, Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, MSc. Tipikal Dekan yang lincah, pekerja keras dengan modal jaringan yang luas. Penyuka berbagai macam olahraga khususnya yang memiliki senar itu juga dikenal murah senyum. Mungkin karena berlatar belakang kelautan hingga kemudian sifatnya menyukai “surfing” dan gampang kenal dengan orang lain walaupun cenderung kurang menyukai hal yang detil. Tentu saja apa yang dicapainya juga hasil kerja para Dekan/Direktur/Ketua, pimpinan dan sivitas akademika SPs sebelumnya. Sebuah prestasi lahir dari perjalanan panjang dan secara konsisten diperjuangkan.
Satu fakta yang tak terbantahkan bahwa nama SPs menjadi populer dan disegani karena kiprah para alumninya. Tak terhitung alumninya yang telah berprestasi di bidangnya masing-masing. Kalau menyebut nama Menteri, Gubernur, Walikota dan Bupati atau anggota legislatif khususnya yang dari kawasan timur Indonesia tak sulit mencari bahwa mereka pernah “menghabiskan waktu” di tanah tak jemu Tamalanrea ataupun Baraya atau Gowa.
9 Desember 2019, Sekolah PascasarjanaUnhas berusia 33 tahun. Puncak perayaannya telah dilakukan Sabtu (07/12). Umur yang sesungguhnya telah berada pada kategori matang. Namun sumbangsih pada pengetahuan tak pernah mengenal umur. Tekad menjadi pusat inkubator pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam mendukung research university.
Selamat Dies Natalis ke-33 SPs Unhas. Kualitas dan relevansi adalah tujuan utama kehadiranmu. Daya saing bangsa dan reaktualisasi nilai-nilai budaya bahari jangan terlupakan. Membangun SDM unggul di era smart society telah menunggu. Salah satu garda terdepan Unhas mewujudkan Humaniversity.
#Unhas
#Communiversity
#Humaniversity