Sehat, satu kata yang gampang sekali terucapkan dalam aktivitas keseharian kita. Tapi siapapun itu, sudah sangat tahu bahwa tak gampang mendapatkannya. Urusan yang satu ini tidak semudah membalik badan. Ada sejumlah rangkaian usaha dan langkah terukur menunggu untuk dieksekusi. Sehat tidak lagi menjadi ruang pribadi ataupun hajatan besar suatu negara, mulai dari negara maju hingga tentunya negara yang masih tergolong miskin. Kini, setidaknya satu dasawarsa terakhir, sehat adalah ‘jualan’ politik paling laris di negeri ini. Rasanya tak ada momen politik entah itu legislatif apatah lagi eksekutif yang tak menyertakan isu sehat sebagai bagian dari jualan kampanye. Makin jadi “gegap gempita” jika dilekatkan dengan kata ‘gratis’ di belakangnya.
Sejatinya sehat itu bukanlah sebuah proyek, melainkan dia adalah sebentuk program. Terminologi proyek yang memiliki awal dan akhir yang jelas tak cocok dilekatkan pada konteks menjadi sehat. Butuh konsistensi dan kesinambungan program tak berujung untuk terus menjadi sehat. Dari perspektif lebih makro, menjadi sehat tak mungkin dicapai hanya dengan mengandalkan kesadaran individu. Ada interaksi dan sumbangsih lingkungan sekitar yang mustahil dicampakkan.
Kesadaran pentingnya sehat acapkali muncul beriringan dengan kondisi ketika kita sedang sakit. Disaat yang sama, kesadaran itu sering pula diwarnai dengan keheranan yang muncul, dengan asumsi sederhana bahwa sejauh ini pola hidup dan perilaku kita sesuai dengan seharusnya namun nyatanya kita tetap memiliki peluang untuk sakit. Tentu ini akan menyadarkan pendekatan individu atau perorangan tidaklah cukup untuk terus menikmati sehat. Sesekali kita perlu menengok sejenak bahwa bukan cuma ketika sakit yang perlu kita urus tapi sesungguhnya mengelola sehat juga harus ada porsi khusus yang minimal seimbang.
Kita hidup dalam siklus masyarakat komunal. Dari lingkungan keluarga, ke tingkat komunitas, beranjak ke populasi hingga interaksi antar manusia di dunia. Upaya dan usaha yang fokus kearah kuratif dan rehabilitasi tentunya adalah kebutuhan namun jangan sampai melupakan program yang sifatnya lebih ke promotif dan preventif. Tak jauh dari itu, ranah policy/kebijakan punya kontribusi besar terhadap “sehat atau sakit” nya kita. Negara dalam konteks ini pemerintah harus hadir tidak sekedar dalam jumlah ‘kue besar’ yang harus dibagi.
Kali ini saya ingin mengajak kita semua untuk “memandang lebih dalam” disiplin ilmu yang terkait dengan bahasan di atas. Ya betul, ilmu yang banyak mendalami dan berkutat pada program yang bersifat promotif dan preventif. Mengurusi orang sehat hingga mendorong kebijakan dengan mengedepankan kepentingan masyarakat secara komunal. Mungkin tak berlebihan jika diistilahkan “menyehatkan masyakarat” dengan disertai “memasyaratkan hidup sehat”.
Cikal bakal ilmu kesehatan masyarakat di Unhas bermula dari desakan kebutuhan tenaga kesehatan masyarakat di wilayah Makassar dan sekitarnya. Fakultas Kedokteran saat itu sebagai satu-satunya yang mengelola rumpun ilmu kesehatan menginisiasi pendidikan tenaga kesehatan masyarakat pada Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Pencegahan. Setelah menjalani proses itu sekira delapan tahun, tepatnya di awal tahun 1981, upaya mengembangkan ilmu kesehatan masyarakat menjadi unit tersendiri menemukan wadah yang tepat. Unhas saat itu membentuk Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Kesehatan Masyarakat (P3FKM) dengan menugaskan FK bersama Kanwil Kesehatan Sulsel.
Setelah melalui proses yang cukup intens dengan menggandeng universitas yang lebih dulu memiliki FKM semisal UI dan Unair, berita baik yang ditunggu sepertinya segera datang. Dengan model kerjasama, kuliah perdana program studi kesehatan masyarakat akhirnya digelar setahun kemudian.
Tiga bulan selanjutnya menjadi tonggak sejarah awal, tepatnya pada tanggal 5 Nopember 1982, Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas resmi didirikan. Berbekal SK Nomor 0568/O/1982 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti saat itu (Prof. Dodi Tisna Amidjaja) hadir langsung meresmikan FKM Unhas. Hingga setahun kemudian, fakultas ini berproses dengan membuka 5 jurusan yaitu: Administrasi Kebijakan Kesehatan/Gizi Kesehatan Masyarakat, Biostatistik/Kependudukan dan KB, Epidemiologi, Kesehatan Lingkungan/Kesehatan Kerja, dan Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku.
Enam belas tahun berlalu, proses ‘penyesuaian’ terus berlanjut. 5 jurusan pada awalnya, kemudian berkembang menjadi 7 bagian. Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat serta Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja menjadi bagian tersendiri. Di tahun itu juga (1999), FKM resmi membuka prodi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat. Hingga kemudian menambah satu bagian baru lagi yaitu manajemen rumah sakit.
Program Studi S1 Ilmu Gizi menjadi tandem prodi S1 Kesehatan Masyarakat dalam membawa panji kebesaran fakultas ini. Empat belas tahun lalu, prodi Ilmu Gizi lahir sebagai respon kebutuhan tenaga gizi khususnya gizi klinik. Selanjutnya Prodi S3 Kesehatan Masyarakat serta S2 Manajemen Rumah Sakit juga telah eksis mewarnai perjalanan fakultas ini.
Bicara akreditasi prodi, FKM nama keren fakultas ini adalah salah satu contoh baik untuk dijadikan panutan. Mengasuh 2 prodi S1 yaitu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Gizi, telah mengantongi Akreditasi A dari LAMPT-Kes. Demikian juga untuk prodi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat. Sementara S3 IKM adalah prodi baru yang telah memperoleh akreditasi B.
Di level internasional, FKM juga tak ketinggalan. Prodi S1 Kesehatan Masyarakat sudah mengantongi standar AUN-QA sejak awal tahun 2017. Unutk Prodi S1 Ilmu Gizi akan divisitasi pada awal Januari 2020 yang akan datang oleh AUN-QA. Selain itu sedang mempersiapkan akreditasi laboratoriumnya sebagai perintis di Unhas.
Sejumlah capaian fakultas ini menjadi patok awal proses akademik di Unhas. FKM adalah pionir berbagai capaian Unhas. Tersebut beberapa diantaranya: akreditasi internasional, kelas internasional, akreditasi laboratorium, dan blended learning.
Salah satu fakultas dengan kualifikasi SDM yang sangat mumpuni. Fakultas ini diasuh 80 dosen aktif. Hampir 60 % diantaranya bergelar Doktor tamatan dalam dan luar negeri. Ditunjang 14 professor aktif dengan keahlian yang beragam. Modal yang terbilang sangat besar untuk menghasilkan tenaga kesehatan masyarakat dan gizi pilihan. Tentu itu semua tidak lepas dari tangan dingin Sang Dekan, Dr. Aminuddin Syam, SKM., MKes. M.Med.Ed. Mantan aktifis akhir tahun 80 hingga awal 90an ini punya ciri khas dalam mengelola fakultasnya. Kini tampil lebih kalem dengan watak pekerja keras dan mucul di fakultasnya lebih awal dibanding yang lain. Bekal aktifis betul-betul mendarahdaging dalam tindakannya walaupun dia lebih sering menyebut dirinya sudah ‘hijrah’. Tentu saja apa yang dicapainya juga hasil kerja para Dekan, pimpinan dan sivitas akademika sebelumnya. Kita patut mengapresiasi, mulai dari Prof. Siradjuddin Beku, Prof. Nur Nasry Noor, Prof. Rusli Ngatimin, Prof. Tahir Abdullah, Prof. Nadjib Bustan, Prof. Razak Thaha, Prof. Veni Hadju, Prof. Alimin Maidin hingga Prof. Andi Zulkifli. FKM besar dan berprestasi karena mereka semua. Kita yakin mereka semua akan sangat bersuka hati dan lega telah mengantar FKM hingga kini dan mendidik SKM pertama yang telah memulai mengelola fakultas ini.
Selasa, 5 Nopember 2019, FKM Unhas berusia 37 tahun. Dan puncak perayaannya dilakukan hari ini (minggu, 10/11). Usia yang tentunya tidak muda lagi. Namun menyatukan langkah pengabdian untuk masyarakat dan bangsa serta selalu mengedepankan semangat “promotif dan preventif” dalam meningkatkan taraf kesehatan bangsa adalah hal yang selalu melekat. Selamat Dies Natalis ke-37 FKM Unhas. Institusi Unggulan dalam bidang kesehatan masyarakat dan gizi yang handal, kompetitif dan berstandar internasional adalah tujuan bersama yang tidak ringan. Salah satu garda terdepan Unhas mewujudkan Humaniversity.
#Unhas
#Communiversity
#Humaniversity