Berita Terbaru

UNIVERSITAS HASANUDDIN

Webinar Diaspora Series 19: Acoustic Remote Sensing, Right Tool for Seabed Mapping

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Hasanuddin menyelenggarakan kuliah tamu pada Webinar Diaspora Series 19 dengan tema “Acoustic Remote Sensing: Right Tool For (Sub-) Seabed Mapping in Deep and/or Highly Turbid Water When Satelit Remote Sensing Becomes Incapable”.

Kuliah umum ini menghadirkan narasumber Dr. Justy Siwabessy (Geoscience Australia) yang terhubung secara virtual melalui aplikasi zoom meeting, berlangsung mulai pukul 11.00 Wita, Kamis (30/9).

Kegiatan resmi dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi dan Kemitraan Unhas, Prof. dr. Nasrum Massi, Ph.D., Sp.MK. Dalam sambutannya menyampaikan bahwa topik kali ini memiliki potensi untuk riset kolaborasi antara sivitas akademik FMIPA dengan mitra internasional.

“Kita berharap sivitas akademika Unhas khususnya FMIPA dapat mencanangkan riset inovasi yang diwujudkan dalam hasil riset melalui jurnal ilmiah yang terpublikasi internasional,” jelas Prof. Nasrum.

Dalam kesempatan tersebut, Dr. Justy menjelaskan mengenai Acoustic Remote Sensing atau pengindraan jarak jauh merupakan proses perolehan informasi digital yang mewakili karakteristik permukaan bumi atau properti sub-permukaan. Hal ini melibatkan pengamatan dan pengukuran suatu objek dari jarak jauh menggunakan satelit, pesawat terbang atau sistem berbasis darat.

Sementara dalam pemetaan dasar laut dilakukan dari berbagai platform, seperti kapal, kendaraan bawah air otonom, peralatan derek dalam, satelit, dan pesawat sayap tetap. Data tersebut digunakan untuk membuat produk seperti peta batimetri yang mengungkapkan topografi dasar laut yang menggambarkan kedalaman, bentuk, komposisi dan struktur dasar laut serta garis pantai.

“Acoustic Remote Sensing atau pengindraan jarak jauh yang menggunakan teknologi pendeteksi obyek di bawah air dengan instrumen akustik yang memanfaatkan suara gelombang tertentu lebih efektif digunakan dibandingkan dengan satelit Google Earth, karena tangkapan resolusi yang dihasilkan tidak cukup untuk memonitor keberagaman atau navigasi dan pengembangan infrastruktur, sehingga diperlukan resolusi yang lebih tinggi,” jelas Dr. Justy.

Lebih lanjut, Dr. Justy menambahkan bahwa pengindraan jauh akustik adalah satu-satunya teknik yang efektif untuk menyelidiki dasar laut dalam. Gema multibeam frekuensi tinggi modern mengirimkan dan menerima sinyal hamburan dan dapat menghasilkan data batimetri dan hamburan balik dengan resolusi spasial sekitar 2% dari kedalaman air, yang memungkinkan kita untuk memetakan dasar laut dengan sangat detail dan akurat.

Dalam pengoperasiannya, dilakukan dengan mengaplikasikan satu atau lebih alat-alat perekam tanpa kontak langsung secara fisik dengan benda-benda di bawah pengawasan. Teknik-teknik perekaman menggunakan radiasi elektromagnetik, medan gaya, atau energi yang ditangkap oleh kamera, radiometer, scanner, laser, penerima frekuensi radio, sistem radar dan perangkat lainnya.

Setelah pemaparan materi, kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi yang dipandu oleh Dr. Magdalena Litaay, M.Sc., (Kepala Laboratorium Ilmu Lingkungan dan Kelautan FMIPA Unhas) selaku moderator yang diikuti oleh kurang lebih 300 peserta. (*/dhs).

Editor : Ishaq Rahman, AMIPR

Berita terkait :

Share berita :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email

This post is also available in: Indonesia English

Skip to content