Berita Terbaru

UNIVERSITAS HASANUDDIN

Marcel Hendrapati: Abaikan Sipadan-Ligitan Demi Ambalat

ulai Sipadan dan Ligitan setelah lama dipersengketakan antara Indonesia dengan Malaysia, akhirnya berdasarkan Keputusan Mahkamah Internasional (International Couth of Justice – ICJ) pada tanggal 16 Desember 2002, jatuh ke tangan Malaysia. Indonesia dan Malaysia sesuai kesepakatan kedua pemimpin negara itu, Soeharto (Presieen RI) dan Mahathir Mohammad (PM Malaysia), enam tahun sebelum kedua pulau itu resmi ‘’terbang’’ ke negeri jiran, terlebih dulu sepakat, apa pun hasil keputusan JCI, kedua negara sepakat menerimanya sebagai keputusan yang memiliki kekuatan mengikat (binding force), sehingga putusan itu harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh kedua negara, guna mewujudkan kepastian hkum terkait kepemilikan atas kedua pulau yang telah lama dipersengketakan.

‘’Kepastian hukum itu ditegaskan oleh Indonesia dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) 37/2008 yang menetapkan titik pangkal bukan lagi Pulau Ligitan, melainkan Pulau Sebatik dan Karang Unarang,’’ kata Marcel Hendrapati ketika menyampaikan orasi ilmiah penerimaan jabatan Guru Besar tetap Bidang Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas, 18 April 2016 di ruang Senat Unhas.

Marcel Hendrapati, kelahiran Makassar 27 Oktober 1950 itu, mengatakan, Malaysia memenangkan sengketa kedua pulau itu berdasarkan atas alasan pengendalian dan penguasaan efektif (effective occupation). Selain berhasil menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan, Malaysia dan pendahulunya (Inggris) dianggap berhasil menjalankan administrasi pemerintahan di wilayah itu.   

‘’Penerapan prinsip effective occupation yang melandasi putusan ICJ bukan kejadian pertama, sebab prinsip seperti ini sudah sering digunakan oleh lembaga peradilan internasional yang menangani berbagai sengketa territorial, termasuk sengketa kepemilikan dan kedaulatan di atas satu pulau atau lebih, seperti Pulau Palmas (Pulau Miangas) antara Amerika Serikat dan Belanda pada tahun 1928 yang dimenangkan pemerintah Hindia Belanda atas dasar pengendalian efektif,’’ kata alumni Unhas tahun 1979 tersebut.

Ayah tiga anak yang meraih Magister Hukum di Unpad Bandung tahun 1993 tersebut mengatakan,klaim hak-hak berdaulat (souvereign rights) oleh Malaysia atas Ambalat harus dimaknai sebagai kelanjutan atas kemenangannya dalam kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan. Pasalnya, negara tersebut mencoba mengambil bagian tertentu  di Laut Sulawesi secara tidak proporsional dengan melakukan garis pangkal lurus kepulauan dari Pulau Sebatik dan Pulau Ligitan ke arah Pulau Sebatik, Sabah, dan Sarawak. Ini berakibat menimbulkan batas maritim, khususnya di wilayah Ambalat.

Sengketa delimitasi kedua negara muncul perpemukaan, kata doktor lulusan Unhas 2013 ini, ketika perusahaan minyak Malaysia (Petronas) 16 Februari 2005 memberikan lisensi eksplorasi untuk dua blok konsesi minyak di laut dalam (deep water all concession blocks), kepada anak perusahaannya Petronas Carigali yang bermitra dengan perusahaan Shell yang sebagian sahamnya dimiliki Kerajaan Belanda (Royal Dutch).

‘’Sebagian blok tambang yang diklaim Malaysia tumpang tindih (overlapping) dengan blok yang diklaim Indonesia (blok Ambalat dan blok Ambalat Timur), karena jauh sebelumnya Pemerintah Indonesia melalui Pertamina telah memberikan lisensi eksplorasi kepada perusahaan minyak Italia (ENI) dan perusahaan minyak Amerika Serikat (Unocal),’’ ujar suami  Elizabeth Maria Santosa ini.

Menurut Marcel Hendrapati, keberadaan Sipadan dan Ligitan digunakan Malaysia sebagai titik pangkal bagi penarikan garis pangkal (peta 1979 dan UU ZEE tahun 2007 Malaysia). Walaupun UU negara jiran itu hanya menggunakan nomenklatur atau istilah garis pangkal (baselines), namun istilah garis pangkal yang digunakan ternyata identical dan setali tiga uang dengan garis oangkal lurus  kepualauan (archipelagic straight baselines) yang sesungguhnya hanya bisa diterapkan oleh negara yang berstautus negara kepulauan.

‘’Malaysia bukan negara kepulauan, melainkan negara continental yang hanya dapat menerapkan garis air surut pada kedua pulau legendaris, Sebatik dan Sabah,’’ ujarnya kemudian menambahkan, Malaysia pun tidak berhak menerapkan garis pangkal lurus (straight baselines) yang menghubungkan titik pangkal kedua pulau dengan titik pangkal Pulau Sebatik dan Pulau Sabah, karena garis pantainya tidak berliku-liku tajam (deply incended). Sehingga, Malaysia tidak memunyai hak menerapkan straight baselines sebagaimana diatur dalam pasal 7 Konvensi Hukum Laut (KHL) 1982.

Indonesia harus mengusahakan agar kedua pulau yang dimiliki Malaysia pascaputusan ICJ tidak memiliki efek hukum sama sekali (no effect) untuk penarikan garis pangkal lurus karena, (1) Semenanjung Timur Malaysia (Sarawak, Sabah, dan Sipadan-Ligitan) tidak memiliki se-deretan pulau (a fringe of islands) dan pantainya tidak berliku-liku tajam (deeply cut into) sebagaimana ditentukan dalam pasal 7 KHL 1982. (2) secara geografi, Malaysia adalah normal coastal atau continental state dan bukan archipelagic state, sehingga tidak ada alasan bagi negara tersebut menarik garis pangkal lurus kepulauan dari satu titik pangkal ke titik pangkal lain. Dari Pulau Sipadan ke Pulau Sebatik, Pulau Sabah, dan Sarawak.

Selain itu, Malaysia bukan negara kepulauan, karena tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam pasal 46 KHL 1982 yang menyatakan, negara kepulauan adalah negara yang wilayahnya terdiri atas satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain, Sedangkan pengertian kepulauan (archipelago), kata Marcel Hendrapati,  adalah kumpulan pulau-pulau, termasuk bagian-bagian pulau perairan di antaranya dan fitur-fitur alamiah lainnya yang sedemikian erat hubungannya satu sama lain. Sehingga, pulau-pulau, perairan, dan fitur-fitur alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki, atau secara historis dianggap sebagai kesatuan seperti itu.

Guna mengabaikan fungsi kedua pulau itu sebagai titik pangkal, Indonesia juga dapat mengajukan prinsip yang disebut special or relevant sircumstances, yang meliputi baik sektor geografis (konfigurasi pantai, keberadaan sebuah pulau, asas proporsionalitas) maupun sektor non-geografis (hak historis, faktor ekonomi, dalam hal ini kondisi perekonomian Malaysia yang lebih baik dari Indonesia). Faktor-faktor seperti ini.

‘’Faktor-faktor seperti ini sering digunakan dalam bebragai yurisprudensi dan perjanjian internasional dengan maksud mengabaikan peranan sebuah pulau sebagai titik pangkal bagi penarikan garus pangkal lurus kepulauan,’’ kata Marcel.

Dengan mengabaikan  peranan kedua pulau yang sudah dimiliki Malaysia itu sebagai titik pangkal penarikan garis pangkal ke Pulau Sebatik bagian utara, dengan sendirinya akan menghilangkan peranannya sebagai garis delimitasi  maritim di wilayah Ambalat.

Karang Unarang

Terkait Karang Unarang di lepas pantai Pulau Sebatik dapat disebut sebagai elevasi surut dan di tengah-tengah merebaknya kasus Ambalat, otoritas Indonesia dengan kehadiran marinirnya telah berhasil membangun mercusuar guna menegaskan identitas pemiliknya berikut tanggungjawabnya terhadap komunitas internasional. Kehadiran dan perlindungan dari Angkatan Laut Indonesia, kata Marcel, kiranya tidak boleh berhenti setelah berhasil mengamankan pembangunan mercusuar di Karang Unarang. Tetapi, harus terus mengawal dan menjaga garis batas maritim berbasis garis sama jarak di wilayah Ambalat, sebuah panggilan tugas dan pekerjaan yang cukup menyenangkan.

‘’Karang Unarang yang dijadikan titik pangkal lurus kepulauan menuju Pulau Sebatik bagian selatan tetap membutuhkan kehadiran kekuatan TNI AL demi mencegah penyusutan dan penggembosan wilayah laut Indonesia di Laut Sulawesi,’’ Marcel menjelaskan.

Ia menilai, keberadaan kedua pulau milik Malaysia (Sipadan dan Ligitan) dapat menciptakan ketidakseimbangan (disproportionality), karena perbandingan antara panjangnya garis pantai Malaysia dengan wilayah perairan yang tercipta ternyata tidak wajar, tidak patut, dan tidak adil. Perbandingannya melampauai 1:9.

Garis pangkal yang ditarik dari pulau menuju Sabah dan Sarawak, sebagaimana ditetapkan dalam UU ZEE Malaysia 2007 tidak seimbang dengan wilayah laut yang diklaim Malaysia sehingga undang-undangnya bertentangan dengan asas proporsionalitas (the proportionality princicple).

‘’Oleh sebab itu, diplomasi maritim Indonesia harus berfokus pada pengabaian atau pengenyampingan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai titik pangkal bagi penarikan garis pangkal. Penyesuaian equidistance line seperti yang dikehendaki Malaysia pascaputusan kasus Sipadan-Ligitan juga harus diabaikan, karena penyesuaian dan perubahan garis sama jarak dapat menghadirkan sesuatu yang bertentangan dengan the proportionality principle,’’ kata Marcel.

Mengingat Indonesia sudah mengakui dan menerima kemenangan Malaysia sebagai pemilik kedaulatan atas kedua pulau, Marcel Hendrapati berpandangan, dalam konteks keadilan distributif seharusnya Indonesia mendapatkan kesediaan Malaysia menghormati, mematuhi, dan mengimplementasikan isi putusan ICJ secara komprehensif, termasuk, dan terutama Deklarasi Judge Oda.  Malaysia sudah menikmati kedua pulau itu sebagai salah satu obyek wisata termahal di dunia, seharusnya negara tersebut taat dan patuh atas substansi putusan yang sama melalui pengabaian dan pengenyampingan peran kedua pulau itu sebagai titik pangkal sehingga kedua pulau tersebut tidak memiliki efek apa pun bagi Malaysia. Dengan demikian tidak perlu disesuaikan dan diubah equidistant line sebagai garis batas landas kontinen atau zona ekonomi ekslusif di wilayah Ambalat demi tercapainya keadilan bagi kedua negara. (*).    

 

Berita terkait :

Share berita :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email

This post is also available in: Indonesia

Skip to content