Menghadirkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang kini digagas MPR tidak akan menguntungkan dalam pemerintahan presidensial, karena akan dijadikan alat untuk meminta pertanggungjawaban presiden. Ini akan mengacaukan sistem hukum kita yang menganut sistem presidensial. Ketika Orde Baru, MPR tidak diberi kewenangan membuat dan menetapkan GBHN.
‘’Yang penting adalah bagaimana MPR diberi kewenangan untuk menetapkan haluan pemerintahan yang diwujudkan Tap MPR. Kita memerlukan produk hukum MPR yang menetapkan misi presiden terpilih sebagai milik bersama komponen bangsa, sebagai wujud daulat rakyat yang menjadi pedoman pusat hingga ke daerah dalam konteks negara kesatuan,’’ kata Prof.Dr.Abd. Razak dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Model GBHN yang dilaksanakan Biro Pengkajian MPR dengan Pusat Kajian Konstitusi Unhas di Hotel Clarion, Rabu (16/3).
Menurut Razak, tidak ada keuntungan menghidupkan ala Orde Baru, karena dapat mengacaukan sistem pemerintahan yang dianut sekarang. Presiden tidak bertanggungjawab kepada MPR, bagaimana peran Mahkamah Konstitusi (MK), perkembangan demokrasi kita yang berbeda dengan masa Orde Baru yang otoriter.
Model GBHN (haluan pemerintahan), kata Razak, yang diperlukan berbentuk misi presiden terpilih yang ditingkatkan menjadi produk MPR (Tap MPR/Peraturan MPR). Tidak memerlukan model GBHN ala Orde Baru (pra-amandemen UUG 1945).
Jika diperlukan materi haluan pemerintahan (ala GBHN) sistematikanya adalah periodesasi hanya berlaku lima tahun. Sebab, sulit mengikat pemerintahan berikutnya dan bertentangan dengan asas perjanjian dan hak asasi manusia.
Ke depan, imbuh Razak, mungkin bukan GBHN yang hendak kita kembalikan, melainkan haluan pemerintahan yang dilaksanakan oleh eksekutif di daerah-daerah. Haluan pemerintah merupakan pedoman yang harus disertai sanksi. Karena kita menganut sistem presidensial maka presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen.
‘’Kita harus konsisten melaksanakan sistem itu, jangan setengah-tengah. Yang penting adalah apa misi presiden terpilih sebagai daulat rakyat.
Dengan adanya haluan pemerintahan yang merupakan misi presiden dan tidak ada alasan bagi daerah-daerah tidak menyesuaikan visinya dengan pusat . Sebab sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah pusatnya daerah dan daerah adalah pusatnya pemerintahan.
Kepala Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono mengatakan, secara simultan FGD juga dilaksanakan pada 15 perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, termasuk Unhas. Diskusi mengenai GBHN ini menjadi masalah yang banyak dikemukakan oleh masyarakat untuk dibahas oleh MPR, sehingga dengan melibatkan perguruan tinggi hasil pembahasan ini dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmiahannya.
Menurut Bambang Sadono, materi yang diharapkan masukannya adalah apakah sistem rencana pembangunan model GBHN dapat menjadi model. Bagaimana system dan materi GBHN disusun. Apa produk hukumnya dan apa akibat hukumnya jika itu dilaksanakan. Apa implikasinya jika MPR diberi kewenangan dalam melaksanakan sistem ini, GBHN harus diputuskan dengan Ketetapan MPR, sistematika sistem haluan pemerintahan.
Selain Abd. Razak, Kasman Abdullah, S.H., M.H. salah seorang anggota Panitia Pelaksana menjelaskan, bertindak sebagai narasumber adalah M. Alwy Rahman dan Agussalam. Sementara sejumlah pakar lainnya bertindak sebagai penyanggah di antaranya Prof. Kasmawati (UNM), Prof. Dr. A. Muin Fahmal, S.H., M.H. (UMI), Dr. Ruslan Ranggong (Unibos), Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.H. (Unhas), Rahman Umar, Marthen Ary (Unhas), Prof. Marwan Mas (Unibos) , Prof. Dr. SM Noor (Unhas), Dr. Hasbir, Dr. Mustafa Bola, Dr. Hamzah Halim, Dr. Zulkifli Aspan, dan Dr. Arwin Putra. MDA-HUMAS